
Dampak Sekularisme dalam Perkembangan Sains Sosial
MUSTANIR.net – Sekularisme muncul di dunia Barat dan membawa dampak yang cukup signifikan di dalam perkembangan ilmu serta kehidupan sosial manusia secara meluas di dunia. Namun perlu kiranya menelaah kembali dampak yang ditimbulkan oleh arus sekularisasi tersebut, karena terdapat pengaruh yang dinilai berbahaya di dalam pola sekularisasi yang dikembangkan saat ini. Peran ilmu yang mencerahkan berubah menjadi ilmu yang menunjukkan pada kebutuhan manusia sesaat, bahkan menjauhkan manusia dari sebuah sikap kearifan dan kebijaksanaan.
Sekularisme merupakan sebuah paham yang menjadi salah satu biang dari terjadinya permasalahan di atas. Peran agama yang dikesampingkan dan dipisahkan dari konsepsi keilmuan membuat ilmu itu bersikap lepas dan bergerak bebas. Salah satu perkembangan ilmu yang dinilai terdampak oleh arus sekularisasi saat ini adalah perkembangan di dalam sains sosial. Sains sosial berbicara mengenai sikap serta hubungan antar manusia di dalam setiap tindakan dan pola kehidupan dengan lingkungan sosial mereka.
Pola pikir yang disebarkan oleh sekularisme muncul dan mencuat sebagai dasar berpikir manusia modern saat ini, tentunya dengan karakteristiknya tentang pemarginalan peran agama dan ajarannya di dalam sains sosial tersebut. Sehingga agama di Barat menjadi suatu hal yang berpisah dari konsep sains sosial yang membuatnya bebas dari sebuah acuan nilai yang jelas. Ilmu di Barat dianggap sebagai sebuah hal yang netral, sehingga tidak boleh berada di bawah hegemoni apapun, baik dogma ataupun ajaran agama, budaya dan kultur.
Sekularisme merupakan sebuah aliran filsafat yang banyak dipahami sebagai paham yang mengarahkan manusia pada pemisahan antara unsur agama dan hal-hal di dunia. Aliran ini benar-benar telah menjelma menjadi fenomena yang bersifat universal dan menyeluruh dan mengakibatkan pengaruh besar dalam perjalanan proses modernisasi (Muammar M. A, 2007). Dalam sebuah majalah, Syamsudin Arif menyatakan bahwa arus sekularisasi di zaman modern ini sudah sulit bahkan tidak bisa lagi untuk dibendung dan dihentikan, menurutnya sekularisasi seperti telah menjelma menjadi suatu kewajiban bagi setiap individu pada zaman ini (Syamsuddin A, 2007).
Hasil dari proses tersebut dapat diamati melalui keadaan hidup manusia sekarang, bagaimana banyak orang yang bersikap dan bertindak sesuai tuntutan agama hanya pada ranah keagaaman saja, namun sebaliknya jika ia keluar dari ritual-ritual beragama tersebut. Agama seperti termarginalkan dan tidak lagi sakral pada aspek-aspek kehidupan manusia secara menyeluruh.
Pada awal sejarahnya, paham ini muncul di Barat. Namun cukup menarik perhatian di mana paham tersebut mampu dengan cepat berkembang dan dianggap sebagai hal yang membahayakan, karena paham ini sangat bertolak belakang dengan ajaran dan nilai Islam (Armas, Adnin, 2003). Di mana banyak tokoh-tokoh yang mendukung pemisahan agama dengan sains, atau secara kasat ingin mendahulukan sains sosial yang sekuler digunakan untuk penelitian dalam Islam (Madjid N, 1999).
Akibatnya banyak konsep-konsep dalam Islam yang rusak dan tidak terarah tujuannya dalam peningkatan iman dan taqwa (Rasjidi, HM, 1980). Selain merasuk pada internal Islam, paham ini memiliki banyak sekali permasalahan dan ancaman pada perjalanan manusia terutama masalah iman amal dan ilmu.
Definisi Sekularisme
Membahas tentang definisi sekularisme terlebih dahulu akan dipaparkan tentang makna etimologi sekular tersebut. Sekular berasal dari bahasa Latin yang disebut “saeculum” (Arif Hasan, 2008) yang memiliki dua arti sekaligus yaitu waktu (time) kemudian tempat atau ruang (location). Dalam hal ini waktu diartikan sebagai hal yang terjadi sekarang (now or present), sedangkan ruang diarahkan pada dunia dan segala yang ada di dalamnya (al-Attas, SMN, 1993).
Sekular dalam sudut waktu dianggap sebagai masa kini, dan sebagai ruang dianggap sebagai peristiwa masa kini. Sehingga dari penjelasan di atas dapat ditarik sebuah definisi bahwa sekular adalah zaman kini yang merujuk pada peristiwa masa kini. Jika menelaah pada pemaknaan kata tersebut sekilas tidak ada yang menarik dari definisi sekular di sini, namun jika ditinjau dari asal kata tersebut merupakan sebuah pengalaman dan kesadaran yang lahir dari adonan tradisi Yunani-Romawi dan tradisi Yahudi di dalam Kristen Barat.
Ketidaksinambungan antara sudut pandang helenik dan Ibrani menjadi dasar kekacauan dan kekeliruan epistemologi dalam perkembangan Kristen Barat dan menjadi suatu hal yang terus menerus berkembang dalam kesalahannya. Kata sekuler berkembang menjadi sekularisasi (secularization), sekularisasi didefinisikan sebagai pembebasan manusia dari beberapa aspek, mulai dari kungkungan agama sampai pada kungkungan metafisika yang menjadi inti pola berpikir akal dan bahasanya (al-Attas, SMN, 1993).
Ada beberapa unsur yang kemudian menjadi titik pembebasan dalam ranah sekularisasi tersebut. Beberapa di antaranya adalah:
Pertama, disenchantmen of nature (penghilangan pesona dari alam tabi’i).
Dalam hal ini paham sekularisasi mengambil pemikiran Weber yang menjadikan agama beserta seluruh unsur dewa-dewa dan makna rohani hilang dari kehidupan manusia. Sehingga timbullah suatu harapan bahwa manusia akan memahami alam sebagai suatu kejadian biasa dan tidak ada unsur kudus atau suci di dalamnya.
Ke dua, desacralization of politics (peniadaan kesucian dan kewibaan agama dalam politik).
Maksud dari pengertian tersebut adalah paham sekularisme menyebarkan pandangan bahwa syarat perubahan politik di dunia adalah menjadikan unsur-unsur di dalamnya lepas dari otoritas keagamaan apapun. Sehingga tidak ada lagi keikutsertaan agama dalam perkembangan politik tersebut.
Ke tiga, deconsecration of values (penghapusan kesucian dan kemutlakan nilai agama dari kehidupan) (al-Attas, SMN, 1993).
Tujuan akhir dari paham ini adalah menjadikan nilai-nilai kehidupan yang berada di dalam konsep agama hilang dan bersifat bebas. Selain itu, makna sekularisme secara terminologi bisa diartikan sebagai faham atau gagasan yang hanya melihat kepada kehidupan saat ini saja dan di dunia ini. Tanpa ada perhatian sama sekali kepada hal-hal yang bersifat spiritual dan religius seperti adanya kehidupan setelah kematian yang merupakan salah satu inti dari ajaran agama (Taqiyuddin an-Nabhani, 2001).
Selanjutnya masuk pada kata sekularisme, dalam hal ini sekularisme telah menjadi sebuah paham dan gagasan baru yang ada di dunia modern, sekularisme sendiri memiliki arti yang tidak jauh berbeda dengan sekularisasi. Jika sekularisasi adalah konsep yang ditawarkan maka ketika konsep tersebut diterapkan ia telah menjelma menjadi suatu paham baru dan ideologi baru bernama sekularisme. Menurut mereka, ideologi sekularisme adalah proses sekularisasi yang juga memiliki tiga unsur yang telah dijelaskan sebelumnya (al-Attas, SMN, 1993).
Melalui penjelasan tiga kata di atas, dapat dilihat bahwa makna yang terkandung dalam kata sekuler cukup komplek dan memiliki perkembangan yang cukup besar. Ketiga kata di atas menjadi bukti bahwa melanar definisi sekularisme tidak bisa terlepas dari dua kata lainnya, ketiganya memiliki keterkaitan yang jika disimpulkan adalah ideologi tentang penghilangan unsur agama dalam bidang kehidupan sosial manusia, sehingga agama tidak ikut campur melainkan hanya faktor religius semata.
Paham sekularisme muncul di Barat, mengenai hal tersebut kemunculan paham ini sangat berkaitan pada keadaan Kristen saat itu. Kekhawatiran akan krisis besar yang dihadapi Kristen Barat dikemukakan oleh seorang filsuf Kristen terkemuka, Jacques Maritain, ia menggambarkan terdapat sebuah krisis besar dan nyata yang dihadapi Kristen dan dunia Barat, hal ini kemudian mendapat banyak dukungan lewat tulisan-tulisan teolog Kristen lainnya (al-Attas, SMN, 1993).
Krisis tersebut kemudian mereka sebut dengan sekularisasi. Hal ini serasi dengan pendapat yang dikemukakan Auguste Comte, ia telah meramalkan suatu hal tentang masa kebangkitan sains dan keterpurukan agama di Barat. Dalam hal ini Comte berpendapat bahwa telah terjadi pergeseran dari ranah teologi ke otonomi sains di Barat.
Dalam pendapat yang lebih kontroversial lainnya, Friedrich Neitzsche seorang filsuf Jerman menyatakan bahwa Tuhan telah mati khususnya pada peradaban dan perkembangan di Barat (JH Bridges, 1880). Hal ini menjadi penguat pernyataan Maritain sebelumnya, anggapan bahwa peran agama benar-benar telah hilang dari Barat seakan telah benar-benar nyata dan terjadi.
Jika menelaah pada latar belakang terjadinya krisis tersebut, hal ini dipicu oleh banyak faktor, di antaranya adalah perkembangan dan kebangkitan akal rasional, empiris serta kemajuan sains teknologi di Barat setelah terjadinya masa Reinansance (masa pencerahan) sebagai wujud kemerdekaan pemikiran dari masa kegelapan (dark age) di Barat.
Pada akhir abad ke-19, paham sekularisme ini semakin mencuat dalam sistem kehidupan Barat. Faktor agama dan teologis semakin terlihat pudar dan ditinggalkan pada mayoritas aspek kehidupan manusia serta kemunculan sekularisasi sebagai bentuk paham dan gagasan baru yang dianggap mampu menjadi jawaban dan angin baru dalam kehidupan. Hal ini tertulis dalam sebuah buku,
“Since the end of the 19 century there has been a growing recognition among students of religion that the theologies and institutions embodying religion have been transformed by the process of secularization.” (Kosmin, Barry A. and Keysar. A).
Secara garis besar gagasan sekularisasi ini menyerang ke arah eksistensi Kristen di Barat, maka menanggapi krisis ini teolog Kristen Barat cenderung menerima keruntuhan yang dihasilkan sehingga mereka mencoba membuat asumsi baru dan rencana baru pada teologi mereka sehingga bisa disesuaikan dengan krisis yang terjadi ini. Bagi teolog Kristen Barat, sekularisasi yang muncul memiliki akar pada penafsiran ajaran Injil Gospel, sehingga daripada melawan arus sekularisasi tersebut, agama lebih baik menerima kenyataan yang terjadi di dalamnya (al-Attas, SMN, 1993).
Keadaan tersebut dibenarkan oleh banyak teolog dan tokoh di Eropa dan Amerika seperti Karl Barth, Friedrich Gogarten, Aren van Leeuwen, dsb. Seperti seorang tokoh bernama Harvey Cox yang mengemukaan pendapat bahwa sekularisme merupakan proses pemisahan antara agama dan dunia.
Sekularisme dianggap pertama kali muncul di Eropa, gagasan tersebut mulai diperhitungkan eksistensinya secara politis bersamaan dengan lahirnya sebuah revolusi di Prancis tahun 1798 M. Selanjutya seperti penjelasan sebelumnya gagasan serta paham sekularisme berkembang secara menyeluruh di Eropa pada abad ke-19 M, kemudian setelah itu mulai berkembang semakin global di dunia pada abad ke-20 M di bawah peran penjajah dan misionaris Kristen.
Demikianlah perkembangan sekularisme secara singkat di Barat, kemudian setelah melihat latar belakang yang terjadi bahwa munculnya gagasan tersebut adalah berdasarkan pada ketidakmampuan agama dalam menjawab masalah kehidupan di Barat, sudah selayaknya kalau ancaman dan krisis yang terjadi di Barat itu tidak akan mampu memengaruhi kehidupan muslim.
Karena agama Islam jelas lebih lengkap dan mampu menjawab seluruh permasalahan dalam kehidupan. Namun al-Attas berpendapat bahwa ide-ide yang tertuang dalam sekularisme banyak mengambil simpati ilmuwan-ilmuwan muslim sehingga banyak menimbulkan kekeliruan dalam kalangan umat Islam, yang terpesona akan bentuk kesuksesan Barat yang semakin terlihat di mata mereka (al-Attas, SMN, 1993).
Oleh karena itu, sekarang sekularisme tidak hanya menjadi krisis yang ada di belahan bumi Barat, namun benar-benar menjadi ancaman yang nyata pada dunia secara global. Perkembangan ilmu dan peradaban sedikit demi sedikit telah mampu dipisahkan dari agama sebagai landasan, maka penting kiranya pembahasan mengenai ancaman-ancaman tersebut.
Wacana Pengembangan Sains Sosial
Sains sosial secara kebahasaan terdiri dari dua suku kata yang memiliki konsep di dalamnya. Sains merupakan serapan dari bahasa Inggris “science” yang artinya pengetahuan. Kata science juga berakar pada bahasa latin “scientia” yang artinya tahu atau mengetahui dan perkataan latin lainnya “scire” yang artinya belajar.
Pengertian sains sebagai pengetahuan atau bagian dari pengetahuan tampaknya merupakan pengertian paling dasar. Hakikat sains tidaklah hanya sebuah pengetahuan melainkan lebih dimaknai sebagai sebuah proses aktif daripada sekedar kumpulan pengetahuan, sementara saintifik bermakna melahirkan pengetahuan (Charles Singer, 1941).
John Arthur Thomson, menyebutkan banyak definisi tentang sains, dan menyimpulkan bahwa sains itu menawarkan dua ide besar, yaitu bahwa sains bukanlah hal yang terpisah dari pengetahuan atau terbatass pada urutan tertentu dari fakta-fakta, dan sains memiliki keterkaitan dengan makna kata terorganisir atau sistematis (Thomson J. A, 1908).
Kata sains dalam konteks modern mengarah pada upaya studi sistematis tentang alam dunia menggunakan metode observasi, eksperimen, pengukuran dan verifikasi. Pada awalnya, secara bahasa terma sains dalam bahasa Inggris hanya digunakan dalam wilayah pengetahuan alam dan mengeluarkan studi-studi kemanusiaan, seperti bahasa, ekonomi, dan sejarah politik (William C. D, 1994).
Akan tetapi, sains juga dapat melihat fakta empiris dalam eksperimennya. Fakta empiris tersebut adalah fakta ilmiah yang bersifat self-explanatory, dalam arti menjelaskan dirinya sendiri, termasuk manusia. Dari sinilah muncul istilah sains sosial, yaitu merujuk pada objeknya masyarakat (Soekanto. S, 2012).
Pemaknaan secara leksikal dapat disederhanakan bahwa ilmu sosial merupakan sebuah ilmu pengetahuan yang mengkaji tentang masyarakat. Munurut Hobson, dalam sudut pandang yang lebih luas, studi kritis dan sistematis terhadap area apa saja yang terukur bisa disebut sebagai sains, tema bahasan sepeti filologi, etika, psikologi, ekonomi, antropologi dapat disebut sains.
Di sisi lain hal ini kemungkinan besar karena pokok bahasannya yang terlalu universal dan mencakup seluruh pengalaman eksistentsi (Hobson, EW, 1923). Dengan demikian semua hal yang dapat diukur menggunakan metode observasi, eksperimen, dan verifikasi masuk dalam kategori sains, termasuk masyarakat. Russel M Lawson menjelaskan bahwa sains sosial secara harfiah merupakan studi ilmiah masyarakat dalam segala bentuknya; keluarga, masyarakat, kerabat, bangsa, institusi, hukum dan norma-norma, kelompok etnis budaya manusia dan sebagainya (Russell ML, 2004).
Bentuk tunggal sains sosial menunjukkan sebuah komunitas dan pendekatan yang memberikan perhatian penuh terhadap disiplin-disiplin ilmu sosial, namun bentuk pluralnya merupakan bentuk yang lebih tepat, yaitu yang mencakup sosiologi, antropologi, psikologi, ilmu ekonomi, geografi, ilmu politik, bahkan ilmu sejarah, walaupun di satu sisi ia termasuk ilmu humaniora (Supardan. D, 2011).
Diskursus mengenai sains sosial dalam sosiologi misalnya, sering diupayakan agar selalu objektif. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Berger, ilmu sosial terutama sosiologi merupakan usaha sistematis untuk memahami dunia sosial tanpa orang harus dipengaruhi oleh berbagai harapan dan kecemasan (Berger, P).
Weber menyebutnya dengan value freeness, dalam memandang realitas sosial mementingkan penjelasan dan interpretasi. Ia mengambil alih metode ilmu alam ke ilmu sosial dengan mengusahakan pemahaman, pengertian, dan menjelaskan sekaligus (Susan. N, 2009).
Persoalan nilai ini adalah persoalan yang rumit karena untuk menjadi sosiolog tidak harus menjadi propagandis atau pengamat yang mati rasa. Nilai-nilai subjektif akan mengalami ketegangan dialektis dengan kegiatan ilmiah yang obyektif.
Persoalan sains sosial yang bebas nilai, secara historis dipelopori oleh August Comte dengan gagasan positivismenya. Melalui positivism, ia mencoba menerapkan metode sains alam ke sains sosial. Mengandaikan suatu ilmu yang bebas nilai, objektif, terlepas dari praktik sosial; dan moralitas. Semangat ini ingin menyajikan pengetahuan yang bersifat universal, artinya tidak terikat oleh ruang dan waktu.
Usahanya membersihkan pengetahuan dari kepentingan berujung pada pemisahan antara teori dan praktis. Dengan terpisahnya teori dan praktis, sains menjadi universal, layaknya sains alam yang mampu berkembang dan digunakan di mana saja (Victor Kraft, 1979). Namun ia lupa, dengan mengadopsi metodologi sains alam yang prosedurnya mengabaikan unsur subjektifitas, akan berdampak pada perubahan sains sosial dari ilmu menjadi teknis.
Usaha Comte ini dilanjutkan oleh Durkheim yang mencoba mencari dasar-dasar positivistik dalam menjelaskan masyarakat. Durkheim sangat memperhatikan persoalan moralitas dan solidaritas sosial yang positivistic yaitu, dari mana sumbernya moralitas dan bagaimana moralitas itu dibangun. Menurutnya adalah kewajiban dalam suatu percobaan untuk memperlakukan fakta dari kehidupan norma menurut metode ilmiah yang positivistis. Moralitas harus mempunyai dasar acuan yang jelas positivis (Maliki. Z, 2012).
Dengan usaha ini, Durkheim ingin mengajukan landasan atau sumber moralitas yang lebih jelas dari pada Comte Moralitas harus dibangun dengan landasan yang mutlak agar dapat menilai kebenaran dalam sebuah realita. Dalam bukunya The Division of Labor Society, Durkheim menjelaskan bahwa moralitas atau etika tidak bisa dianggap hanya menyangkut ajaran yang bersifat normatif tentang baik dan buruk, melainkan suatu sistem fakta yang diwujudkan yang terkait dalam keseluruhan sistem dunia. Moralitas bukan saja terkait dengan sistem perilaku yang sewajarnya, melainkan juga sistem yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan tertentu. Ketentuan itu adalah sesuatu yang berada di luar diri si pelaku (Durkheim. E, 2014).
Jika dikatakan moralitas sebagai fakta sosial maka haruslah dicari di antara fakta-fakta sosial yang mendahuluinya dan bukan dalam suasana kesadaran pribadi. Dengan kata lain, suatu fakta haruslah terpisahkan dari psikologi, sebab komunitas antara sosiolog dan psikolog terputus seperti halnya antara biologi dan ilmu-ilmu fisiokimia.
Dampak Sekulerisme dalam Sains Sosial
Melalui pembahasan tentang pengertian dan perkembangan gagasan sekulerisme sebelumnya, maka terlihat bahwa gagasan itu akan berdampak pada banyak aspek kehidupan yang ada di Barat dan Timur. Salah satu efek yang ditimbulkan adalah hilangnya peran nilai dalam kehidupan sosial manusia dan pergeseran fondasi keilmuan yang berkembang.
Ilmu dan nilai adalah dua hal penting yang sulit untuk dipisahkan dalam kehidupan manusia, sedangkan salah satu konsep yang paling komprehensif dan memiliki pembahasan yang mendalam dalam al-Qur’an adalah konsep ilmu. Melalui bukti tersebut, Islam mengajarkan bahwa posisi ilmu dalam kehidupan amatlah penting, serta menjadi ciri kebudayaan dan peradaban dalam sejarah perkembangan Islam (Anees, MA, 2000).
Peran ilmu dalam kehidupan adalah penting dan memiliki role atau aturan dalam bentuk nilai-nilai dan moral, sepatutnya ilmu tidak berkembang secara bebas dan menghilangkan nilai kearifan didalamnya. Namun dalam perkembangan ilmu di Barat, terutama semenjak masa Renaisans yang dianggap sebagai awal munculnya paham sekularisme di Barat, ilmu mengalami peralihan dan pergeseran yang signifikan.
Sebelum masa itu, Barat benar-benar tunduk dalam hegemoni gereja Kristen dalam ranah keilmuwan, terlihat beberapa ilmu dan teori yang dikemukakan ilmuwan Barat harus sesuai dengan keputusan dan persetujuan gereja. Namun berbeda sejak terjadinya Renaisans, hampir seluruh aspek kehidupan manusia dipisahkan dari keberadaan dan aturan agama, khususnya di Barat agama dianggap sebagai hal yang sudah kuno dan tidak lagi harus ikut campur pada urusan modern baik dalam bidang keilmuan atau politik. Hal ini dapat terlihat dari pendapat kaum secular humanists yang menyatakan bahwa kebaikan didunia dalam seluruh aspek sosial cukup baik dan relevan tanpa kehadiran Tuhan di dalamnya (Robert K. G and Nathan L. K, 2009).
Sebagai contoh, bagi mereka ketika suatu permasalah hadir dalam diri manusia secara individual ataupun universal maka bagaimana seruan kepada Tuhan tersebut mampu menjadi solusi dan jawaban atas permasalahan tersebut. Hal ini diyakini oleh Barat sebagai wujud bahwa peran agama tidaklah penting dan utama dalam aspek kehidupan, karena tidak mampu menyelesaikan masalah yang ada didalamnya secara empiris.
“If, for example, a person is trapped in an unhappy marriage and is faced with the option of a divorce , or if a society is embroiled in a heated debate of going to war –let’s say with Iraq– how does it help the participants to solve these quandaries by locating ‘the ontological grounds’? How is the appeal to God going to resolve the dispute between Muslims (whether Sunni or Shiite), Jews, and Christians in the Middle East? The appeal to the ontology of theism –differently interpreted– only seems to exacerbate the conflict.” (Robert K. G and Nathan L. K, 2009).
Contoh di atas dianggap Barat menjadi bukti bahwa keberadaan agama dengan segala bentuk ajarannya justru menimbulkan celah konflik yang berkepanjangan dan tidak berakhir. Selain dari anggapan di atas terdapat pernyataan lainnya dari Barat, di mana mereka mempertanyakan posisi agama yang dianggap sebagai faktor utama di dalam masyarakat dalam menjalankan tugas agama itu sendiri. Bagi mereka, jika agama tidak mampu menjalankan tugasnya maka ia tidak layak dipertahankan dalam kehidupan manusia tersebut (Nadon C, 1992).
Pendapat ini benar-benar menunjukkan rasa kekecewaan Barat terhadap agama yang selama ini mereka yakini, sikap rasional mereka memperdayai fakta yang sebenarnya terjadi. Sementara di sisi lainnya doktrin sesat sekulerisme benar-benar telah berkembang dan mampu menarik simpati mereka dalam bidang kepercayaan akan aqidah maupun ilmu serta aspek kehidupan lainnya.
Seorang tokoh bernama Charles Taylor menyatakan bahwa kemunculan ilmu pengetahuan sejak masa pencerahan menjadi letak dasar dan awal bagi penurunan sebuah doktrin agama yang kemudian menjelma menjadi paham dan gagasan sekuler, dalam hal ini ia menyebutkan sebagai “Subtraction Theory” (Nadon C, 1992).
Hal ini sesuai dengan sejarah perkembangan sekularisme yang telah dipaparkan di atas, di mana peralihan peran gereja dan Kristen pada keilmuwan Barat telah terganti dengan gagasan tersebut. Agama sudah tidak lagi dijadikan sebagai landasan dalam sebuah ilmu, sedangkan perkembangan ilmu itu sendiri harus bebas dari segala bentuk doktrin agama yang ada. Mengutip salah satu pendapat tentang sekulerisme, Paul Carus berpendapat bahwa sekuler bertentangan langsung dengan hal-hal keagamaan yang ada.
“In 1896, when Open Court Publishing Company printed Holyoake’s English Secularism, the redoubtable Paul Carus (publisher of Open Court) portrayed secularism as directly opposed to religion. What is secularism? Secularism espouses the cause of the world versus theology; of the secular and temporal versus the sacred and ecclesiastical.” (Nadon C, 1992).
Dalam penerapan nilai kehidupan, sekulerisme pun telah merasuk pada hilangnya nilai agama yang ada dalam kehidupan manusia. Seperti dirilis dalam sebuah artikel CNN dengan judul yang kontroversial “Why I Raise My Children without God.” (Nancy Pearcy). Dalam artikel tersebut tertulis bahwa mayoritas orang tua di Barat berpendapat untuk tidak mengajarkan agama di dalam kehidupan anaknya, mereka beranggapan bahwa jika belajar tentang agama maka hal tersebut akan mengajarkan anak menjadi berpikiran keras dan terkungkung dalam satu paham.
Tidak sampai di situ, para orangtua kemudian berpendapat bahwa jika anak didekatkan pada pengajaran tentang Tuhan maka akan mendapat doktrin tentang kebebasan dan kejahatan, hal ini disampaikan dalam makalah tersebut oleh seorang ibu bernama Deborah Mitchell. Sebuah pendapat yang jelas-jelas terpengaruh atas tawaran menjanjikan sekularisme pada penjelasan sebelumnya.
Dalam bukunya Islam and Secularism, al-Attas menyatakan bahwa tantangan terbesar yang dihadapi umat pada zaman ini adalah tantangan ilmu, dalam hal ini al-Attas tidak berasumsi tentang tantangan kejahilan akan ilmu tersebut. Namun seperti pada penjelasan di atas, peran ilmu telah jauh tergelincir dari porosnya yang hakiki. Menurutnya, ilmu yang seharusnya menciptakan perdamaian dan keadilan justru menghasilkan hal-hal sebaliknya, mulai dari perpecahan dan pembodohan mendasar masyarakat pada umumnya (al-Attas, SMN, 1993).
Ilmu yang dikembangkan di Barat tidak mampu menjadi solusi yang lebih baik, ia hanya mengarahkan manusia pada kekeliruan dan skeptisisme, dengan menjadikan dugaan atau hipotesa awal sebagai salah satu hal penting yang menentukan sebuah metodologi, serta menganggap keraguan sebagai sarana epistemologis yang paling tepat menuju kebenaran.
Dampak sekularisme telah jelas membahayakan cara pandang muslim terhadap ilmu pengetahuan, khususnnya sains sosial. Agama di mata sains menjadi termarginalkan dan tidak lagi sakral pada aspek-aspek kehidupan manusia secara menyeluruh. Tiga pembahasan dalam sekularisasi berusaha menghilangkan jati diri agama dalam ilmuwan, dengan dalih-dalih agar penelitiannya bersifat objektif, bebas nilai ataupun universal.
Padahal setiap ilmu itu memiliki paradigma, memiliki cara pandang (worldview) tersendiri yang memengaruhi hasil dari penelitiannya. Dalam konteks agama, sains sosial pun berperan penting dalam meneliti hal-hal yang berkaitan tentang keagamaan.
Kaca mata ilmu-ilmu sosial mencoba untuk mengukur kebaikan dan keburukan di setiap agama. Islam yang sudah lengkap ajarannya sejak masa tanzil, hakikatnya tidak bisa mengikuti metode yang digunakan Barat. Namun bisa juga diintegrasikan dengan penalaran yang benar.
Pengembangan ilmu atau sains bukan hanya problem keilmuan semata, tetapi juga problem kemasyarakatan dan problem keislaman, terkait pola pemahaman masyarakat dan umat beragama mengenai apa itu ilmu dan apa itu agama. Maka membangun pola kesadaran keislaman baru mesti terus dilakukan, agar pengembangan sains sosial berjalan maksimal, sebab sudah diletakkan pada konteks yang benar, yaitu konteks agama. []
Sumber: Mohammad Djaya Aji Bima Sakti, Syamsul Badi, Harits Mu’tasyim