Demokrasi adalah Sistem Kufur, Tidak Ada Demokrasi dalam Islam

MUSTANIR.netDemokrasi adalah sistem kufur. Kenapa disebut kufur? Karena mengingkari Allah subḥānahu wa taʿālā sebagai Rab semesta alam, pemegang kedaulatan, yang memiliki hak untuk mengatur manusia. Demokrasi adalah sistem yang bukan berasal dari Islam.

Dalam demokrasi, keberadaan Allah subḥānahu wa taʿālā diingkari. Perintah dan larangan Allah subḥānahu wa taʿālā dikesampingkan. Perintah untuk tunduk, taat, dan patuh kepada Allah subḥānahu wa taʿālā diabaikan.

Dalam demokrasi, kedaulatan diletakan di tangan rakyat. Rakyatlah asas dari hukum dan perundangan, dasar adanya perintah dan larangan, bahkan menjadi sandaran legitimasi untuk memberikan sanksi dan hukuman.

Sementara dalam Islam, kedaulatan diletakkan di tangan syara’. Syara’lah asas dari hukum dan perundangan, dasar adanya perintah dan larangan, bahkan menjadi sandaran legitimasi untuk memberikan sanksi dan hukuman.

Tidak ada demokrasi dalam Islam. Ketika para sahabat bermusyawarah untuk memilih pemimpin pengganti Rasulullah ﷺ di Saqīfah Bani Sa’idah, kemudian membaiat Abu Bakar raḍiyallāhu ‘anhu sebagai khalifah, itu bukan praktik demokrasi. Apa yang dilakukan oleh sahabat ini adalah syuro (musyawarah) yang berbeda secara diametral dengan demokrasi.

Perbedaan syuro (musyawarah) dalam Islam dengan demokrasi adalah sebagai berikut:

Pertama, syuro dalam Islam mengacu pada hukum syara’.

Jika syara’ telah menetapkan halal dan haram, maka syuro dalam Islam tidak memiliki wewenang untuk mengubah yang haram menjadi halal, atau sebaliknya menghalalkan yang haram. Suara mayoritas tidak mengikat, bahkan tidak bernilai. Yang mengikat hanyalah dalil syara’.

Dalam Islam, riba, miras, dan zina haram. Status riba, miras, dan zina haram dasarnya adalah dalil syara’. Syuro dalam Islam tidak akan bisa mengubah status riba, miras dan zina menjadi halal.

Sementara dalam demokrasi, semua terserah suara terbanyak. Riba, miras, dan zina bisa menjadi halal ketika mayoritas menghendaki. Itulah esensi kekufuran demokrasi.

Dan hari ini demokrasi telah menghalalkan praktik riba, miras, dan zina dengan argumentasi kebebasan. Dalam Islam, tidak ada kebebasan. Setiap mukallaf terikat dengan dalil syara’.

Ke dua, dalam aspek perkara yang membutuhkan keahlian, suara ahli menjadi keputusan syuro dalam Islam.

Rasulullah ﷺ pernah melepaskan pendapatnya dalam sebuah syuro, dan mengambil pendapat Hubab bin Mundzir dalam strategi Perang Badar, yakni memindahkan lokasi perkemahan di dekat sumur Badar (di hulu), membendung sumur untuk menghalangi logistik air bagi pasukan musuh yang berkemah dihilir.

Dalam demokrasi, suara ahli dengan awam dipersamakan. Sehingga urusannya menjadi kacau karena suara kiai sama dengan suara pelacur. Suara ahli dikalahkan oleh orang bodoh, hanya karena banyaknya suara kebodohan.

Ke tiga, dalam Islam untuk mencari keridloan dalam aspek yang mubah, barulah suara mayoritas mengikat.

Misalnya, untuk memilih khalifah harus dengan akad keridloan umat. Maka, pemilihan khalifah didasarkan pada pendapat mayoritas. Karena mayoritas, menunjukkan ke mana arah keridloan umat.

Contohnya saat Khalifah Umar raḍiyallāhu ‘anhu meninggal, kaum muslimin memilih calon khalifah pengganti. Saat itu ada dua calon yang tersisa yakni Usman raḍiyallāhu ‘anhu dan Ali raḍiyallāhu ‘anhu.

Memilih Usman sebagai khalifah hukumnya mubah. Sebagaimana memilih Ali juga mubah. Namun, akhirnya Usman raḍiyallāhu ‘anhu terpilih menjadi khalifah, karena mayoritas umat Islam di Madinah lebih ridlo (memilih) Usman raḍiyallāhu ‘anhu sebagai khalifah.

Jadi, tak usah mencari dalih untuk melegitimasi demokrasi. Demokrasi itu dari Yunani, dikembangkan konsepnya oleh tokoh Yahudi. Tidak ada dalil dan nasabnya dengan Islam. Jadi, tak usah berjibaku mencari dalih untuk melegitimasi demokrasi. []

Sumber: Ahmad Khozinudin

About Author

Categories