Demokrasi Bukan Islam, Islam Bukan Demokrasi

MUSTANIR.net“Monyet makan pisang, manusia makan pisang. Tetapi monyet bukan manusia, dan manusia bukan monyet, meskipun sama-sama makan pisang.” (Anonim)

Ada semacam sikap hipokrit, inlander, dan inferior putra Islam dan umat ini terhadap peradaban Barat. Seolah semua kebajikan, keunggulan, dan keagungan wajib dinisbatkan Barat. Segala hal yang berasal dari Barat seolah wajib menjadi acuan.

Dalam konteks sistem politik misalnya, seolah demokrasi adalah sistem terbaik. Kebajikan yang ada dalam sistem Islam dianggap sejalan dengan demokrasi. Atau sebaliknya, demokratis sebagai sistem politik yang lahir dari rahim sekularisme Barat, dianggap mencomot dari substansi nilai-nilai kebajikan Islam.

Muncullah klaim-klaim menyesatkan, misalnya yang benar itu demokratis. Yang adil harus demokratis. Jika tidak demokratis, maka batil dan otoriter.

Padahal secara filosofis Islam berbeda bahkan bertentangan dengan demokrasi secara epistemologi dan akar kesejarahan. Islam telah meletakkan kedaulatan (asy-siyadah) di tangan syara’ (Allah subḥānahu wa taʿālā). Benar dan salah, terpuji dan tercela, halal dan haram, wajib bersandar dan mendapatkan legitimasi syariat.

Sementara demokrasi telah meletakkan kedaulatan di tangan rakyat (manusia). Benar dan salah, terpuji dan tercela, bahkan halal dan haram, wajib bersandar dan mendapatkan legitimasi hukum rakyat. Meskipun syariat berkehendak akan suatu urusan, jika rakyat tak menghendaki, maka syariat Islam akan ‘dipreteli’ sesuai dengan kehendak (nafsu) rakyat (manusia).

Adanya musyawarah dalam demokrasi, dianggap sejalan dengan Islam. Padahal metode pengambilan pendapat dan keputusan dalam musyawarah Islam berbeda dengan demokrasi.

Misalnya, saat musyawarah itu membahas tentang bunga bank. Maka forum musyawarah (syuro’) dalam Islam membahas fakta bunga bank, menggali dalil syara’ baik al-Qur’an maupun as-sunnah, dan ditemukan dalil haramnya riba. Sebab, fakta bunga bank adalah riba. Dalam musyawarah Islam tak akan keluar keputusan riba menjadi halal apalagi wajib, dengan dalih untuk menggerakkan roda perekonomian. Riba tetap haram, sementara demokrasi menghalalkan.

Keputusan seperti ini harus bersandar pada wahyu, persis ketika Rasulullah ﷺ menandatangani perjanjian Hudaibiyah. Meski mayoritas sahabat menolak bahkan merasa terhina dengan isi perjanjian, tapi Rasulullah ﷺ mengabaikan pendapat sahabat, karena perjanjian Hudaibiyah merupakan perintah wahyu.

Saat bermusyawarah tentang realitas virus Covid-19, Islam menyerahkan pada ahlinya. Keputusan musyawarah akan mengikuti pendapat ahli. Ini seperti keputusan Rasullullah ﷺ yang mengikuti pendapat Hubab bin Mundzir tentang posisi strategis pasukan Badar, atau pendapat Salman al-Farisi tentang strategi pertahanan benteng parit.

Ada pun soal teknis, seperti pilihan untuk mengambil satu maslahat dibandingkan maslahat yang lain, diserahkan pada suara mayoritas. Demikianlah, Rasulullah ﷺ mengikuti pendapat mayoritas sahabat muda dan mengabaikan pendapat sahabat senior, pada peristiwa perang Uhud. Dalam syuro’, Rasulullah ﷺ memutuskan ikut pendapat mayoritas sahabat yang menginginkan jihad menyongsong pasukan musuh di bukit Uhud, di luar kota Madinah.

Sementara musyawarah demokrasi tak ada panduannya. Semua persoalan dibahas dan diputuskan dengan suara terbanyak. Sampai urusan syariat, halal-haram pun, dimusyarawahkan dan diputuskan dengan suara terbanyak. Suara rakyat diposisikan lebih tinggi dari suara (wahyu) Allah subḥānahu wa taʿālā.

Karena itu, keliru jika umat Islam menyeru keadilan, persaudaraan, kesejahteraan, sebagaimana diseru demokrasi. Islam memiliki pandangan tersendiri.

Adil misalnya, dalam Islam didefinisikan sebagai menetapkan suatu urusan sesuai dengan kehendak syariat. Kebalikan dari adil adalah zalim, yakni menetapkan suatu urusan yang menentang hukum syariat.

Pelaku zina dirajam, itu adil. Sebaliknya jika hanya dipenjara apalagi dibebaskan, itu zalim. Demokrasi tidak demikian. Demokrasi justru membebaskan zina, dan menganggap hukum rajam sebagai zalim.

Waris menurut Islam, laki-laki dua bagian dari bagian perempuan. Inilah hukum yang adil. Jika ada qadli (hakim) membagi waris secara sama rata, berarti dia telah zalim karena menyelisihi syariat.

Contoh lain, syariat Islam telah menetapkan kekayaan alam yang terkategori milik umum (milkiyatul ammah) haram dimiliki individu, swasta, apalagi asing. Kekayaan seperti tambang yang depositnya melimpah, hutan, padang gembalaan, laut, sungai, wajib dikelola oleh negara sebagai wakil umat.

Demokrasi tidak begitu. Atas dalih kebebasan kepemilikan, demokrasi menghalalkan individu, swasta dan asing menguasai tambang dan harta milik umum. Adagiumnya, siapa yang punya modal, bebas menambang. Akibatnya, kepentingan masyarakat banyak dirugikan.

Sudah saatnya umat ini kembali kepada Islam dan meninggalkan demokrasi. Sejarahnya, demokrasi berasal dari Yunani dan dikembangkan oleh Prancis. Demokrasi tidak bersumber dari akar kesejarahan Islam. []

Sumber: Ahmad Khozinudin

About Author

Categories