
Moderat atau Kompromi
MUSTANIR.net – Sesungguhnya istilah kompromi atau jalan tengah tidak tampak pada kaum muslim, kecuali pada masa kini setelah runtuhnya Khilafah Islamiah. Tujuannya adalah mengambil jalan tengah dan meniadakan keekstreman. Lafaz dan maknanya merupakan istilah asing, serta muncul dari Barat dan ideologi kapitalisme.
Akidah ideologi kapitalisme dibangun di atas kompromi atau jalan tengah yang muncul sebagai hasil dari konflik berdarah antara gereja dan raja-raja pendukungnya dari satu sisi dengan para pemikir dan filsuf Barat dari sisi lain. Golongan pertama berpendapat bahwa Nasrani adalah agama yang layak untuk memecahkan semua urusan kehidupan. Lain halnya dengan golongan ke dua, mereka berpendapat sebaliknya, yaitu bahwa agama ini tidak layak untuk memecahkan semua urusan kehidupan.
Agama adalah sebab kezaliman dan keterpurukan. Mereka mengingkari agama sekaligus kelayakannya, lalu mereka mengganti agama ini dengan akal. Menurut pendapat mereka, akallah yang berkapasitas membuat sistem yang layak untuk mengatur urusan kehidupan.
Setelah konflik itu berjalan lama antara dua kubu, mereka sepakat atas kompromi atau jalan tengah. Mereka mengakui esensi agama sebagai sarana interaksi antara manusia dan al-Khalik, tetapi agama ini tidak boleh memasuki pengaturan urusan kehidupan. Mereka mengadopsi pemikiran “pemisahan agama dari kehidupan” sebagai akidah bagi ideologi mereka yang telah memancar darinya sistem kapitalisme. Atas dasar sistem kapitalisme ini, mereka telah bangkit, lalu mengembannya kepada manusia di dunia dengan metode penjajahan.
Sesungguhnya akidah “pemisahan agama dari kehidupan” ini tidak dibangun di atas akal. Sebabnya, dengan akal mereka, para pembesar agama dan para raja telah mengerti bahwa agama Nasrani ini berasal dari sisi Allah dan layak untuk mengatur kehidupan manusia. Sedangkan para filsuf dan intelektual, dengan akal mereka memahami bahwa agama ini tidak layak untuk mengatur kehidupan.
Berarti pemisahan agama dari kehidupan ini tidak dibangun di atas landasan akal. Akan tetapi ia merupakan kompromi atau jalan tengah di antara dua kubu dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan kebenaran.
Pengaruh jalan tengah ini sangat menonjol pada setiap pembuatan hukum atau setiap tingkah laku penganut ideologi kapitalisme. Dalam membuat hukum, mereka bersandar pada pendapat mayoritas tanpa memandang pendapat minoritas yang ahli atau tanpa memandang ketakbenaran dan ketaklayakan pendapat mayoritas.
Sikap mereka dalam menghadapi masalah-masalah politik dibangun di atas jalan tengah tanpa memandang benar atau salahnya. Contohnya Palestina, orang Arab muslim menuntut bahwa semua Palestina adalah negeri mereka. Akan tetapi pada waktu yang sama, orang Yahudi mengeklaim bahwa Palestina adalah tanah yang dijanjikan Allah kepada mereka. Kemudian negara-negara Barat kapitalis pada 1947 sepakat bahwa penyelesaian problem Palestina adalah dengan mendirikan dua institusi di Palestina, yakni untuk orang Arab muslim dan untuk orang Yahudi.
Penyelesaian kompromistis seperti itu sangat menonjol dalam banyak masalah, seperti masalah Siprus, Sudan, Kasmir, Bosnia, dan lain-lain. Kompromi yang akidah mereka dibangun di atasnya—selanjutnya sistem kehidupan mereka–sangat dominan dalam sikap dan pembuatan hukum mereka. Juga dalam sikap-sikap mereka, baik secara individu atau negara. Bagi mereka, politik selalu berlandaskan kebohongan dan penipuan, bukan untuk tercapainya hak semuanya.
Bahkan untuk memperoleh sesuatu dari haknya, banyak atau sedikit seperti terlihat dalam berbagai perundingan di antara mereka atau dengan mereka. Dengan demikian, setiap kelompok berkehendak bisa memperoleh manfaat yang lebih banyak. Telah tertanan dalam benaknya kemungkinan menyerahkan apa yang dituntutnya supaya bisa memperoleh haknya, baik sedikit atau banyak.
Dengan begitu perundingan berlangsung lama, bahkan sampai bertahun-tahun. Ini bukan supaya setiap kelompok memperoleh haknya, karena bagi mereka hak itu tidak ada batasannya. Akan tetapi agar mereka bisa sampai pada jalan tengah yang menyenangkan kedua belah pihak, bukan karena sesuatu itu benar. Semua sesuai dengan kondisi setiap kelompok, kuat dan lemahnya. Yang kuat bisa mengambil apa saja yang disenanginya asalkan ia mampu, sedangkan yang lemah bisa menyerahkan apa saja yang ia tidak mampu mencapainya.
Oleh karena itu, harus ada usaha untuk menyelamatkan kaum muslim dari ide jalan tengah dan menjelaskan kekeliruan serta kepalsuannya. Mereka telah mengambilnya dan mengeklaim bahwa ide jalan tengah itu ada dalam Islam. Bahkan menurut mereka, Islam berdiri di atas landasan jalan tengah, yaitu antara spiritual dan materialistis, individual dan kolektif, pragmatis dan idealistis, antara kemapanan dan dinamis, sehingga tidak berlebih-lebihan dan tidak mengurangi.
Untuk membuktikan mazhabnya, mereka telah mengadakan penelitian terhadap segala sesuatu. Kemudian mereka menemukan bahwa sesungguhnya setiap sesuatu itu memiliki dua sisi dan daerah tengah. Daerah tengah adalah daerah aman di antara keduanya, ketika sewaktu-waktu wilayah pinggir menghadapi bahaya dan kerusakan.
Daerah tengah adalah pusat kekuatan serta daerah kesamaan dan keseimbangan bagi dua kutub. Selagi daerah tengah itu memiliki semua kelebihan seperti di atas, maka bukan perkara aneh apabila semua kelebihan itu tampak menonjol dalam setiap sisi Islam. Islam adalah bagian tengah dalam keyakinan dan ibadah, serta bagian tengah dalam pembuatan hukum, akhlak, dan seterusnya.
Mereka juga telah meneliti nas-nas syarak, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya karena merasa menemukan keselarasan mazhab mereka dengan nas-nas itu. Mereka berkata tentang firman Allah Swt., “Dan demikian (pula) kami telah menjadikan kalian (umat Islam), umat yang adil dan pilihan (wasaton) agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian.” (QS al-Baqarah: 143)
Mereka mengatakan bahwa sesungguhnya (sifat) jalan tengah atas umat Islam itu hanya diambil dari tengah-tengahnya metode dan sistem umat Islam. Dengan demikian, tidak ada pada umat Islam sikap berlebih-lebihan seperti pada orang Yahudi dan meremehkan seperti pada orang Nasrani. Kata wasath ini bermakna adlun.
Sedangkan adlun menurut anggapan mereka adalah pertengahan di antara dua tepi yang kontradiktif. Kemudian mereka menjadikan adlun bermakna as-sulhu (damai). Semua itu adalah agar mereka dapat memelihara pemikiran yang diadopsinya dari para penganut sistem kapitalistisme sekaligus untuk melekatkannya dengan Islam. Makna yang benar bagi ayat tersebut adalah sesungguhnya umat Islam adalah umat yang adlun (adil), sedangkan adil ini termasuk dari syarat-syarat menjadi saksi dalam Islam.
Jadi, umat Islam ini kelak akan menjadi saksi yang adil atas umat-umat lain bahwasanya umat Islam ini telah menyampaikan Islam kepada umat-umat selain Islam. Ayat tersebut walaupun datang dengan memakai bentuk berita, tetapi merupakan tuntutan dari Allah kepada umat Islam agar menyampaikan Islam kepada umat-umat lain.
Apabila umat Islam tidak melaksanakan tuntutan (menyampaikan Islam), maka ia berdosa. Semua itu telah ditunjukkan oleh sesuatu yang datang dalam ayat, “Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang menyembunyikan syahadat dari Allah yang ada padanya?” (QS al-Baqarah: 140). Begitu pula yang ditunjukkan di akhir ayat, “Dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian.” (QS al-Baqarah: 143)
Allah subḥānahu wa taʿālā telah menuntut kalian agar mengemban Islam kepada semua manusia. Mereka juga telah berdalil dengan firman Allah subḥānahu wa taʿālā, “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan harta, mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS al-Furqan: 67)
Mereka telah menjadikan dua sisi bagi infak harta, yaitu berlebih-lebihan dan kikir. Mereka juga telah menjadikan di pertengahan, yaitu pertengahan antara berlebih-lebihan dan kikir. Apabila ada orang menyuguhkan satu domba kepada seorang tamu, ini dinamakan berlebihan. Namun apabila ia tidak menyuguhkan apa-apa kepada tamunya, ini adalah kikir. Apabila ia menyuguhkan sesuatu yang cukup untuk tamunya, inilah pertengahan.
Allah subḥānahu wa taʿālā mengharamkan berlebihan dan menghalalkan pertengahan, yaitu infak harta dengan cara pertengahan. Maknanya adalah bahwa Allah subḥānahu wataʿālā telah menetapkan kompromi atau jalan tengah dalam infak. Mereka telah mengadopsi pemahaman yang salah ini untuk modal berdalil bahwa sesungguhnya pada Islam terdapat kompromi atau jalan tengah.
Mereka tidak mengerahkan kesanggupannya dalam memahami hukum syar’i tentang infak. Sedangkan sesuatu yang telah ditunjukkan oleh ayat tersebut beserta nas-nas lain dari al-Qur’an dan sunah bahwa infak ada tiga macam, yaitu isrof, taqtir, dan qawam. Ada pun satu darinya, yaitu qawam yang bermakna infak sesuai hukum-hukum Islam, sedikit atau banyak adalah yang dikehendaki oleh syarak.
Oleh karenanya, siapa saja yang memotong unta untuk seorang tamunya atau ia menyuguhkan sepotong roti kepada tamunya, baik tamu itu orang kaya atau orang melarat, hal tersebut boleh, tidak ada yang haram. Sedangkan isrof, yaitu infak dalam perkara haram, maka siapa saja yang menafkahkan sedirham untuk membeli khamar, berjudi, atau menyuap, maka hukumnya adalah haram. Ada pun taqtir, yaitu mencegah berinfak dalam sesuatu yang wajib, maka apabila ada seseorang yang mencegah dari menyerahkan sedirham yang terkena hak dari zakat hartanya atau ia melarang memberi nafkah kepada orang yang wajib dinafkahinya, maka yang demikian ini adalah haram.
Lafaz qawam ini sama sekali tidak menunjukkan kepada jalan tengah, baik secara tartib atau tempatnya. Lafaz itu hanya menunjukkan bahwa di sana terdapat tiga macam infak, yaitu isrof, taqtir, dan qawam. Sedangkan yang satu dari tiga macam itu, yaitu qawam, adalah halal dan dituntut oleh syarak. Ini karena Allah subḥānahu wa taʿālā telah berfirman, “baina dzalika“, tidak berfirman, “baina dzalikum“ untuk menunjukkan kompromi atau jalan tengah di antara dua orang/perkara yang berseberangan.
Di dalam Islam tidak ada kompromi dan tidak pula ada jalan tengah. Allah subḥānahu wa taʿālā telah menciptakan manusia dan telah mengajarkan ilmu tentang realitas. Manusia tidak akan bisa mengetahuinya. Allah subḥānahu wa taʿālā yang mempunyai kapasitas mengatur kehidupan manusia dengan peraturan yang mendetail sehingga tidak akan ada seseorang yang sampai kepadanya.
Hukum-hukum-Nya telah datang dengan batas-batas tertentu yang tidak ada pengaruh sedikit pun untuk kompromi atau jalan tengah. Jadi, di manakah letak kompromi atau jalan tengah pada firman-Nya ini? Allah subḥānahu wa taʿālā berfirman, “Dan siapa saja mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya.” (QS Ali Imran: 85). Juga pada firman-Nya, “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.” (QS al-Maidah: 49).
Demikian pula dalam sabda Rasulullah ﷺ: kepada pamannya, yaitu Abu Thalib, ketika kaumnya menawarkan kedudukan, harta, dan kemuliaan kepada beliau. Nabi ﷺ: bersabda, “Demi Allah, wahai pamanku, seandainya mereka meletakkan/memberikan matahari di tangan kananku dan rembulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan perkara agama ini hingga Allah menampakkannya atau aku mati karenanya, aku tidak akan pernah meninggalkannya.”
Begitu pula sabda Nabi ﷺ. kepada kabilah Bani Amir ibnu Sha’sha’ah ketika mereka menuntut Nabi agar mereka mendapat kekuasaan setelah Nabi meninggal ketika mereka telah menolongnya. Beliau ﷺ bersabda, “Kekuasaan itu milik Allah. Dia meletakkannya di mana saja yang dikehendaki-Nya.”
Di manakah kopromi atau jalan tengah dalam sanksi atas orang murtad, orang yang zina, atau pencuri? Dalam nas-nas Islam, sama sekali tidak ada kompromi dan tidak pula ada jalan tengah. Juga tidak ada kompromi pada hukum-hukum Islam. Bahkan nas-nas dan hukum-hukum Islam itu sangat mendetail, jelas, dan terperinci hingga Allah subḥānahu wa taʿālā telah menyebutnya dengan hudud-Nya sebab kedetailan dan kekonsistenannya.
Allah subḥānahu wa taʿālā berfirman, “Itulah hukum-hukum (hudud) Allah, diterangkannya kepada kaum yang mengetahui.” Juga firman-Nya, “Dan siapa saja yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar hukum-hukum/ketentuan-ketentuan (hudud)-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka, sedangkan ia kekal di dalamnya.” (QS an-Nisa’: 14)
Oleh karena itu, tidak dibolehkan melanggar hukum-hukum ini. Jadi, kompromi atau jalan tengah itu adalah pemikiran yang asing dalam Islam. Orang-orang Barat dan orang-orang muslim yang berkasih sayang dengan mereka berupaya melekatkan pemikiran itu dengan Islam untuk menggiringnya kepada kaum muslim dengan slogan pertengahan dan toleransi. Sesungguhnya tujuannya hanyalah memalingkan kita dari ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum Islam yang terang.
Kaum muslim harus sadar terhadap berbagai persekongkolan pemikiran yang keji untuk melawan mereka dan agama mereka. Kaum muslim juga harus menjelaskan hukum syarak untuk setiap masalah dengan bersandar kepada dalil syarak, tidak bersandar kepada jalan tengah. Sesungguhnya tetap berpegang kepada dalil-dalil syarak, baik yang bertalian dengan solusi-solusi dan perbuatan individu atau yang bertalian dengan metode dan mendirikan Negara Khilafah, merupakan tali keselamatan bagi kaum muslim dari realitas buruk mereka.
Allah subḥānahu wa taʿālā berfirman, “Dan berpeganglah kalian kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai-berai. Ingatlah akan nikmat Allah kepada kalian ketika kalian dahulu (masa jahiliah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hati kalian, lalu menjadikan kalian karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara dan kalian telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian darinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian agar kalian mendapat petunjuk.” (QS Ali Imran: 103)
Jadi, berpegang dengan tali Allah yang kuat, yaitu agama Islam, dapat menunjukkan kepada kebenaran dan menyatukan kaum muslim dalam satu negara. Juga dapat menyelamatkan mereka dari azab neraka. Bukan dengan kompromi, jalan tengah, atau pertengahan seperti yang dikehendaki oleh musuh-musuh Islam kepada kaum muslim. []
Sumber: Muhammad Husain Abdullah, Mafahim Islamiyyah.