Demokrasi Pesta Para Oligarki, Rakyat yang Tak Dianggap

MUSTANIR.net – Salah satu kebohongan yang terbesar dalam demokrasi adalah jargon kedaulatan di tangan rakyat. Rakyat yang memilih pemimpinnya. Rakyat yang membuat UU untuk dijalankan penguasa.

Faktanya?

Mari kita teliti satu per satu.

Pertama, pemimpin dalam demokrasi sejatinya tidak dipilih rakyat. Pemimpin dipilih dan ditetapkan oleh oligarki. Rakyat hanyalah digeladak ke TPS seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, untuk melegitimasi calon pemimpin yang telah ditetapkan oligarki.

Coba kita tengok dalam pilpres kali ini (yang juga berlaku pada pilpres sebelumnya). Yang menentukan capres itu bukan rakyat, tapi parpol.

Nama-nama seperti Ganjar, Anies, Prabowo, Airlangga, Cak Imin, AHY dan yang lain, itu bukan capres pilihan rakyat. Melainkan capres pilihan parpol.

Yang menentukan seseorang menjadi capres atau tidak itu parpol, bukan rakyat. Rakyat hanya dijadikan cheerleaders (pemandu sorak), hanya sebagai penggembira.

Calon juga tak punya kuasa. Mereka akan menurut saja dipasangkan dengan siapa pun pilihan parpol.

Walau punya ide menentukan kriteria, tetap saja keputusan akhirnya ada pada parpol. Bukan pada calon.

Lihat saja, parpol semaunya berwacana memasangkan Anies dengan Ganjar tanpa mempedulikan pendukung Anies. Anies pun bungkam, tanpa bisa menolak wacana itu, karena kalau gagal diusung Koalisi Perubahan (PKS, Nasdem, dan Demokrat), Anies akan realistis mengambil pilihan dipasangkan dengan Ganjar karena PDIP sudah punya tiket sendiri untuk maju pilpres.

Sandi Uno tiba-tiba mengusulkan PPP, Demokrat, dan PKS bentuk poros baru jika pada akhirnya PDIP mengusung Ganjar-Anies. PPP yang sudah terlanjur kirim mahar hasil Munas Yogyakarta mendukung Ganjar, ternyata tidak diacuhkan oleh PDIP. Bahkan, PDIP mempersilakan PPP hengkang jika dukungannya tidak tulus, jika memaksa PDIP jadikan Sandi sebagai pendamping Ganjar.

PKS juga akan lebih realistis ikut mengawal Anies mendampingi Ganjar, karena PKS juga punya pengalaman banyak berkoalisi dengan PDIP pada sejumlah pilkada, ketimbang gabung koalisi baru usulan PPP. Apalagi, menempel ke Anies –meskipun harus berkoalisi dengan PDIP– lebih aman secara politik ketimbang membuat poros baru bersama PPP yang tidak jelas sosok yang akan diusung.

Demokrat besar kemungkinan akan hengkang dari koalisi perubahan mengusung Anies, jika AHY batal menjadi pendamping Anies. Demokrat, tentu saja akan lebih memilih bergabung dengan PDIP jika akhirnya PDIP mengambil AHY untuk mendampingi Ganjar, ketimbang berjibaku mendukung Anies tanpa kompensasi cawapres.

Prabowo juga lebih asyik dengan dirinya, walau telah terbukti meninggalkan pendukungnya tenggelam di Pilpres 2019 lalu. Mau Cak Imin atau Airlangga, bahkan dengan Gibran pun tak masalah asal bisa melaju ke Pilpres 2024.

Lalu, posisi kita sebagai rakyat di mana?

Apakah dipertimbangkan untuk memilih calon pemimpin? Apakah didengar untuk dijadikan pertimbangan menyusun pasangan capres-cawapres?

Jawabnya, tidak ada. Rakyat diabaikan!

Ke dua, setelah berkuasa, apakah pemerintah dan DPR menjalankan kedaulatan rakyat? Membuat dan menjalankan UU sesuai kehendak rakyat?

Jawabnya, tidak ada. Rakyat diabaikan!

UU Omnibus Law Cipta Kerja adalah bukti konkretnya. Tidak ada kedaulatan rakyat, yang ada kedaulatan kapital. Yang berdaulat bukan rakyat, melainkan oligarki.

Lalu, kita mau menyibukkan diri untuk sesuatu yang mengabaikan rakyat? Yang tak mengganggap rakyat? Sibuk dukung mendukung, hingga berkorban untuk oligarki?

Kalau Anda dapat cuan membela capres, ada alasan pembenarnya. Tapi kalau cuma kerja bakti, kenapa Anda begitu bodoh, mau menjadi budak oligarki?

Karena itu, kita harus menentukan jalan perubahan sendiri. Jangan menitipkan nasib pada partai atau capres. Kita harus menentukan dan memperjuangkan nasib kita sendiri.

Bergabunglah dalam perjuangan suci untuk menegakkan kalam ilahi. Bergabunglah dalam perjuangan penegakan syariat Islam dalam naungan daulah khilafah. Allahu akbar! []

Sumber: Ahmad Khozinudin

About Author

Categories