
Javanologi dan Berakhirnya Kepujanggaan Jawa
MUSTANIR.net – Berakhirnya Perang Jawa tahun 1830, di mana pihak kolonial Belanda keluar sebagai pemenang, diakui sebagai penanda runtuhnya kekuasaan politik raja-raja Jawa. Peristiwa ini juga sekaligus menandai permulaan kolonialisme secara penuh terhadap kesultanan di Jawa. Ini juga menandai awal permulaan kesarjanaan kolonial, dari apa yang disebut dunia tradisional Jawa menuju modernitas Barat.
Dalam situasi dan kondisi seperti inilah sang pujangga panutup Jawa (Ranggawarsita) hidup. Ia dengan tegas menolak untuk masuk ke dalam modernitas Barat, sekaligus juga tidak mau membiarkan dirinya terbujur kaku dalam suatu tradisi Jawa yang mulai membeku.
Mengikuti leluhurnya, dari kakek buyutnya sampai ayahnya, awalnya Ranggawarsita mendapat pendidikan dari lingkungan keluarganya. Kemudian menjadi santri di Pesantren Gebang Tinatar, Tegalsari, Ponorogo. Juga diikuti menjadi santri kelana di sepanjang pulau Jawa. Sebelum akhirnya memasuki masa nyantrik kesusasteraannya di Keraton Surakarta.
Selama 45 tahun kariernya ia dedikasikan di Keraton Surakarta dan telah menghasilkan karya yang luar biasa banyak dan beragam. Ia juga bekerja sebagai informan pribumi yang sering direndahkan oleh para filolog Belanda yang tidak tahu diri.
Ranggawarsita dewasa, banyak menyaksikan bagaimana keganasan penjajah saat terjadi Perang Jawa. Dia melihat bagaimana ayahnya dan juga rajanya (Pakubuwono VI) menjadi korban sapu bersih yang dilakukan oleh kolonial Belanda, yang ingin membersihkan sisa-sisa kekuatan Diponegoro di tanah Jawa.
Ia juga merasakan dan menyaksikan dengan getir posisi kepujanggaan Jawa yang mulai digerogoti oleh para Javanolog Belanda. Dan di akhir hidupnya, Javanologi, yang ikut dirawatnya menjadi pemangsa dan menelan semua yang ada pada kebudayaan Jawa. Dan akhirnya harus mengakui superioritas para Javanolog Belanda.
Javanologi yang berikhtiar untuk menggali kembali masa lalu pra-Islam, yang sebenarnya telah lama terkubur, benar-benar akan mengubah lanskap Jawa di masa depan. Dengan cara pengumpulan manuskrip-manuskrip Jawa kuno dan dimulainya penggalian arkeologi, kolonial ingin membawa orang Jawa kepada masa yang disebut oleh mereka sebagai era adiluhung Jawa. Yang pada intinya adalah era Jawa yang belum terinterupsi oleh datangnya Islam.
Di akhir hidup Ranggawarsita, superioritas bahasa Belanda terhadap Jawa mulai terjadi. Ini dikarenakan bahasa Belanda mampu meresap ke dalam bahasa Jawa. Proses meresapnya bahasa Belanda ke dalam bahasa Jawa, salah satunya melalui ekspansi birokrasi. Di sinilah arti penting hadirnya Javanologi di Jawa.
Bagaimana pun dunia akademik memang membuat bahasa Belanda tetap memegang kekuatannya untuk tetap superior. Ketika orang menulis apa pun tentang sejarah Jawa atau tentang sejarah budaya, maka orang pun harus pertama-tama menggunakan semua tulisan dalam bahasa Belanda (masih berlaku sampai sekarang).
Berjilid-jilid buku tentang Jawa di Belanda pun memunculkan tradisi Javanologi, dan tiap orang Jawa yang ingin ikut dalam tradisi itu haruslah membaca banyak sekali bahan sejarah di bawah bimbingan para ahli Javanologi Belanda. Mereka juga harus menempuh studi di Universitas Leiden dan mengajukan sebuah tesis dalam bahasa Belanda tentang temuannya terkait kebudayaan Jawa. Artinya bahwa, orang Jawa yang ingin belajar tentang bahasa dan kebudayaan Jawa, justru harus belajar kepada orang Belanda. Di sinilah akhirnya corak Jawa yang baru akan muncul.
Begitulah akhirnya nasib para pujangga Jawa, termasuk Ranggawarsita. Awalnya mereka dijadikan informan oleh para Javanolog Belanda tentang semua hal yang terkait dengan kebudayaan Jawa. Namun yang terjadi kemudian adalah bahwa para Javanolog sudah menggantikan keraton dalam hal menjadi patron bagi pujangga. Perubahan patron ini menimbulkan perubahan mendasar bagi penting tidaknya pujangga. Para pujangga Jawa yang dulunya adalah guru pengetahuan jawa atau bahkan penasihat Raja, akhirnya hanya dijadikan sebagai informan Javanologi.
Serat dan naskah kuno yang disimpan di keraton sebagai sumber pengetahuan esoterik pun, satu persatu ditambahkan ke dalam gudang simpanan javanologi. Museumisasi keraton telah membawa keuntungan, kemasyuran, dan kehormatan bagi Javanolog Belanda, tetapi tidak bagi para pujangga, mereka justru mulai terpinggirkan. Kondisinya kemudian justru berbalik, para Javanolog menjadi pihak yang paling otoritatif mengenai hal ihwal sastra dan budaya Jawa, bahkan bahasa Kawi.
Di masa akhir hidup Ranggawarsita, para pujangga Jawa mulai diperiksa terkait pengetahuan Jawanya dengan kacamata tradisi akademis Javanologi. Begitulah kurang ajarnya disiplin ilmu Javanologi, mereka justru mengadili para pujangga Jawa yang dulu dijadikan informan untuk diserap keilmuannya.
Mulai tahun 1860, Cohen Stuart mengatakan bahwa pengetahuan dan pemahaman Ranggawarsita tentang bahasa Kawi tidak benar. Maka tidak heran, para Javanolog pribumi di abad 20 juga melakukan hal yang sama, mereka ikut mengkritik keras karya-karya Ranggawarsita. Bahkan dengan nada olok-olok, Poerbatjaraka, seorang Javanolog pribumi, mengatakan karya Ranggawarsita (Pustaka Radja) sebagai entut berut (omong kosong). Menurutnya, satu-satunya buku sejarah yang benar adalah buku sejarah yang ditulis oleh akademisi Belanda.
Di masa akhir kehidupannya, Ranggawarsita dengan dunia ke pujanggaannya mulai tidak diacuhkan. Tradisi pujangga yang awalnya menjadi objek penelitian para Javanolog terkait sastra dan sejarah kuno, kemudian terserap ke dalam dunia pemikiran Barat kontemporer. Keraton pun betul-betul menjadi museum, dan tradisi pujangga pun berangsur mati.
Berakhirnya tradisi pujangga, digantikan oleh disiplin Javanologi, berakhir pula apa yang disebut oleh Ricklefs dalam Mystic Synthesis in Java-nya, bahwa masyarakat Jawa, setidaknya dari masa Demak hingga Mataram pada akhirnya menerima Islam sebagai identias kejawaannya. Dalam istilah Ricklefs, orang Jawa telah diikat dalam kesatuan bingkai pandangan dunia Islam, dan tidak lagi bisa membayangkan kejawaannya di luar Islam.
Berakhirnya tradisi pujangga Jawa, juga menandai sebuah era di mana pihak kolonial mulai mengarahkan bahkan mendiktekan orang Jawa untuk kembali ke agama dan ajaran lamanya. Karena hanya dengan itu, penjajah kolonial bisa tidur nyenyak. Jawa yang jinak, sebagaimana Nancy K Florida menyebut, Jawa yang belum terinterupsi oleh datangnya agama padang pasir yang selalu merongrong kuasa kolonial, akan bisa terwujud. Diharapkan, dengan terpisahnya Jawa-Islam, kolonial penjajah dapat mempertahankan kuasanya dalam jangka panjang. []
Sumber:
• Kenji Tsuchiya; Javanologi di Zaman Ranggawarsita.
• Nancy K Florida; Jawa-Islam di Masa Kolonial.
• Irfan Afifi; Saya, Jawa, dan Islam.