Demokrasi Tidak Cocok di Indonesia
Demokrasi Tidak Cocok di Indonesia
MUSTANIR.COM – Dalam banyak media online khususnya, kita disuguhi berita-berita tentang pernyataan Ketua MUI, KH. Ma’ruf Amin bahwa sistem Khilafah tidak cocok di Indonesia. Salah satu potongan berita yang saya kutipkan sebagai berikut.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Maruf Amin mengatakan Khilafah tidak cocok di Indonesia karena sudah berbentuk republik.
“Indonesia kan sistemnya republik, pilar kebangsaan yang disepakati. Kita tak perlu bicara khilafah, sudah tak ada lagi,” kata Maruf Amin usai pembukaan Kongres Ekonomi Umat tahun 2017 di Jakarta, Sabtu, 22 April 2017.
Ketua MUI itu menegaskan bahwa tokoh Indonesia dari mahzab apapun telah menyepakati sistem yang dipakai saat ini dan munculnya sistem baru justru akan menimbulkan gejolak baru.
“Sudah selesai kesepakatannya, sudah selesai. Ini kan gaduh karena ada kelompok baru yang inginkan sistem lain,” kata Maruf Amin menanggapi rencana penyelenggaraan “International Khilafah Forum” di Jakarta, Ahad 23 April 2017. (tempo.co, 22/04/2017)
Saya menulis bukan dalam rangka membantah pernyataan beliau secara mendalam. Hanya saja tentang pendapat tersebut saya berbeda dengan beliau, terlepas dalam konteks seperti apa kemudian beliau mengatakan demikian.
Menurut saya, jika dipertanyaan tentang Khilafah dan Indonesia, persoalannya bukanlah cocok atau tidak cocok. Namun lebih dari itu, jika berbicara konteks ke-Indonesiaan dan dikaitkan dengan Khilafah maka harus melihat dari banyak aspek, seperti aspek normatif dan aspek empiris.
Baik secara normatif maupun secara empiris sebenarnya Khilafah bukan saja sekedar cocok dan memungkinkan diterapkan di Indonesia. Namun Khilafah sesungguhnya menjadi keniscayaan dan kebutuhan mendesak untuk diterapkan di Indonesia.
Selain itu, yang perlu di kritisi dari pernyataan dalam berita tersebut adalah pernyataan bahwa “munculnya sistem baru justru akan menimbulkan gejolak baru”. Tentu pernyataan tersebut adalah kesimpulan yang prematur atau terlalu dini. Sebab persoalan Khilafah bukanlah hal baru dalam khazanah keilmuan dan sejarah Islam. Dalam banyak hadits dan berjilid-jilid kitab karya ulama mu’tabar dari ulama klasik hingga kontemporer sudah selesai membahas tentang status hukum dari kewajiban Khilafah. Sehingga ini bukan sistem baru, namun justru sistem orisinil dari Islam.
Kemudian persoalan gejolak baru yang akan ditimbulkan maka tidak hanya ketika Khilafah tegak di muka bumi ini. Gejolak bisa datang dari mana saja dan kapan saja. Jika pun dalam penerapan Khilafah muncul gejolak dan problem maka itu adalah kesalahan manusia dalam menerapkannya, bukan kesalahan dari ajaran Islamnya.
Demokrasi dalam Sorotan
Saat berbicara persoalan Khilafah, masyarakat akan disajikan dengan sistem lain yakni demokrasi. Memang kedua sistem memiliki perbedaan mendasar satu dengan yang lainnya. Dimana perbedaan tersebut menyababkan kedua sistem ini bertentangan dan tidak mungkin untuk diterapkan secara bersama-sama dalam satu waktu dan negara. Khilafah adalah sistem Islam, sedangkan demokrasi adalah sistem dari manusia. Sehingga demokrasi sudah pasti bertentangan dengan Islam
Namun, banyak orang melakukan kesalahan dalam melihat persoalan demokrasi. Ada yang menganggap bahwa Islam tidak bertentangan dengan demokrasi. Demokrasi adalah Islam itu sendiri. Ada juga yang melihat bahwa demokrasi memang bukan dari Islam, namun dalam realitasnya mampu untuk dikompromikan. Dari kedua pandangan ini saya tidak sependapat dengannya. Pandangan saya sangat jelas, dan itu adalah pandangan Islam bahwa demokrasi bertentangan dengan Islam dan tidak bisa untuk dikompromikan sama sekali.
Munculnya dua pandangan tersebut disebabkan salah satunya karena mereka melihat demokrasi tidak secara mendalam hingga ke akar-akarnya. Mereka hanya mengartikan demokrasi sebagai salah satu sistem atau bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi—baik secara langsung atau melalui perwakilan—dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara. Sehingga seakan demokrasi bagi mereka adalah baik, karena keterlibatan penuh dari rakyat.
Lebih jauh lagi saya akan kutipkan beberapa pandangan tokoh-tokoh barat terhadap demokrasi yang sesungguhnya tidaklah mendalam dan tidak memberikan esensi penting dari sistem demokrasi itu sendiri.
“Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.” (Abraham Lincoln)
“Demokrasi adalah sistem sosial dan politik pemerintahan diri dengan kekuasaan-kekuasaan pemerintah yang dibatasi hukum dan kebiasaan untuk melindungi hak-hak perorangan warga negara.” (Charles Costello)
“Demokrasi pada dasarnya adalah kekuasaan dari dan untuk rakyat. Oleh karenanya, semuanya berhak untuk berpartisipasi, baik terlibat aktif maupun mengontrol kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Selain itu, tentu saja lembaga resmi pemerintah terdapat pemisahan yang jelas antara unsur eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.” (John L. Esposito)
“Demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat dan untuk rakyat. Yang melaksanakan kekuasaan Negara ialah wakil-wakil rakyat yang terpilih. Di mana rakyat telah yakin, bahwa segala kehendak dan kepentingannya akan diperhatikan di dalam melaksanakan kekuasaan Negara.” (Hans Kelsen)
“Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa.” (Sidney Hook)
“Demokrasi adalah Suatu sistem pemerintahan di mana mayoritas anggota dewan dari masyarakat ikut serta dalam politik atas dasar sistem perwakilan yang menjamin pemerintah akhirnya mempertanggungjawabkan tindakan-tindakannya pada mayoritas tersebut.” (C.F. Strong)
“Kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana di mana terjadi kebebasan politik.” (Hannry B. Mayo)
“Demokrasi dapat didefinisikan sebagai pemerintahan oleh rakyat; khususnya, oleh mayoritas; pemerintahan di mana kekuasaan tertinggi tetap pada rakyat dan dilakukan oleh mereka baik langsung atau tidak langsung melalui sebuah sistem perwakilan yang biasanya dilakukan dengan cara mengadakan pemilu bebas yang diadakan secara periodik; rakyat umum khususnya untuk mengangkat sumber otoritas politik; tiadanya distingsi kelas atau privelese berdasarkan keturunan atau kesewenang-wenangan.” (Merriem)
“Demokrasi ada jika para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat dalam sebuah sistem dipilih melalui suatu pemilihan umum yang adil, jujur dan berkala dan di dalam sistem itu para calon bebas bersaing untuk memperoleh suara dan hampir seluruh penduduk dewasa dapat memberikan suara.” (Samuel Huntington)
Dari pandangan-pandangan di atas, banyak orang terjebak dan menyimpulkan bahwa sesungguhnya demokrasi adalah baik. Jika dalam penerapannya banyak masalah-masalah maka itu timbul karena orang-orang di dalamnya. Sehingga hanya berputar-putar pada personalnya saja. Bahwa para politikus harusnlah yang berintegrasi, berakhlak karimah, amanah dan lain sebagainya. Maka jika terpenuhi kemudian akan menjamin baiknya penerapan demokrasi dalam sebuah negara.
Baiknya politikus atau elit politik adalah mutlak adanya. Namun dalam rangka memenuhi tujuan dalam bernegara baiknya orang tidaklah cukup. Harus ditopang dengan baiknya sebuah sistem. Dan sistem yang baik bukan berasal dari demokrasi, namun berasal hanya dari Islam semata.
Ringkasnya ada beberapa aspek yang membuat demokrasi adalah sistem yang rusak dari akarnya. Dan karena itu sesungguhnya umat Islam khususnya di Indonesia yang menjadi mayoritas penduduknya, haram untuk mengambil, menerapkan dan menyebarluaskan sistem demokrasi ini.
Pertama karena demokrasi adalah sistem buatan akal manusia, bukan berasal dari Allah SWT. Demokrasi tidak bersandar kepada wahyu dari langit dan tidak memiliki hubungan dengan agama mana pun dari agama-agama yang diturunkan Allah kepada para rasul-Nya.
Kedua karena demokrasi lahir dari aqidah pemisahan agama dari kehidupan (sekulerisme), yang selanjutnya melahirkan pemisahan agama dari negara. Sehingga agama dilarang masuk dalam wilayah politik, yang selanjutnya agama akan benar-benar hilang dan tidak mewarnai perpolitikan sebuah negara.
Ketiga karena demokrasi mempunyai asas yang sangat khas yaitu kedaulatan ada di tangan rakyat, bukan di tangan Allah SWT. Ini artinya aturan, hukum, kebijakan dan undang-undang yang dihasilkan demokrasi berasal dari manusia, bukan Islam.
Keempat karena demokrasi adalah sistem pemerintahan mayoritas. Pemilihan penguasa dan anggota dewan perwakilan diselenggarakan berdasarkan suara mayoritas para pemilih. Semua keputusan dalam lembaga-lembaga tersebut diambil berdasarkan pendapat mayoritas. Dan mekanisme ini berbeda dengan sistem pemerintahan dalam Islam.
Terakhir yang kelima bahwa demokrasi menyatakan adanya empat macam kebebasan, yaitu Kebebasan Beragama (freedom of religion), Kebebasan Berpendapat (freedom of speech), Kebebasan Kepemilikan (freedom of ownership) dan Kebebasan Bertingkah Laku (personal freedom). Dan kebebasan tersebut tidak memliki batasan jelas dan pasti. Bisa dikatakan terlampau bebas, sehingga batasan Hukum Syara’ terbiasa untuk diabaikan.
Demokrasi Harus Ditolak
Indonesia sebagai negara yang ber-Ketuhanan sudah semestinya menghilangkan segala hal termasuk sistem negaranya jika mengacak-acak dan melanggar ketentuan Tuhan. Nyatanya bagi umat Islam demokrasi sangatlah bertolak belakang dengan prinsip mendasar dari Islam. Maka umat Islam Indonesia khususnya wajib menolak sistem demokrasi ini untuk diyakini, diterapkan dan disebarluaskan.
Secara faktual, kerusakan-kerusakan yang terjadi di Indonesia adalah turunan atau lahir dari penerapan sistem demokrasi. Kerusasakan dalam politik, kerusakan dalam ekonomi, kerusakan dalam sosial kemasyarakatan dan lain sebagainya semua disebabkan karena sistem demokrasi. Inilah alasan kuat bagi umat selain Islam untuk menolak demokrasi diterapkan. Sebab pada kenyataannya mereka tidak memiliki pandangan hidup atau ideologi yang murni berasal dari agama mereka. Sehingga dalam urusan bernegara, aturan-aturan dan sistem-sistem yang diterapkan, mereka hanya memilih mana yang baik bagi mereka. Dan itu tidak akan didapatkan selain dari Islam, dengan Khilafahnya.
Maka, sudah sangat jelas bahwa Indonesia dengan kondisi heterogennya sesungguhnya membutuhkan sebuah sistem yang bisa mengakomodasi segala kebutuhan dan keperluan rakyatnya. Dan sistem tersebut bukanlah demokrasi, karena sejatinya demokrasi dari segala macam aspek tidak cocok bagi umat Islam, dan tentunya di Indonesia.[]
Lutfi Sarif Hidayat, SEI
Direktur Civilization Analysis Forum (CAF)