Illustration and Painting

MUSTANIR.net – Ada sebagian dari umat ini meyakini bahwa demokrasi itu adalah wasilah (perantaraan) yang hukumnya jaiz atau mubah (boleh) dalam perjuangan mewujudkan perubahan masyarakat Islami dan dalam mewujudkan kekuasaan Islam.

Betulkah demikian?

Jawabannya tentu tidak demikian. Karena, faktanya wasilah (perantaraan) itu ada 2 jenis, yaitu: wasilah yang haram dan wasilah yang mubah (boleh).

Nah, demokrasi itu sendiri termasuk salah-satu wasilah yang haram, karena demokrasi faktanya dapat mengantarkan kepada keharaman lainnya dan juga dapat mengantarkan pada kekufuran.

Dalam kaidah ushul fiqh ditegaskan:

الوسيلة إلي الحرام حرام

“Wasilah (perantaraan) yang dapat mengantarkan kepada keharaman, maka hukumnya haram.”

Apatah lagi demokrasi itu bukan sekadar wasilah tok, namun demokrasi itu termasuk salah satu bagian dari hadharah kufur dan sistem kufur warisan kafir penjajah, yang haram hukumnya kita mengambil, mengadopsi, dan menyebarluaskan demokrasi tersebut.

Allah subḥānahu wa taʿālā berfirman:

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ.

“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS al-Maidah: 50)

Ada pun, kata demokrasi sendiri dan definisinya tersebut itu sendiri berasal dari bahasa Yunani δημοκρατία (dēmokratía) ‘kekuasaan rakyat’, yang terbentuk dari δῆμος (dêmos) ‘rakyat’ dan κράτος (kratos) ‘kekuatan’ atau ‘kekuasaan’ pada abad ke-5 SM untuk menyebut sistem politik negara-kota Yunani, salah satunya Athena. [id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi]

Dan intinya demokrasi itu adalah kebebasan atau kedaulatan (dalam memutuskan dan membuat hukum) ada di tangan rakyat (manusia) dan kekuasaan ada di tangan rakyat (manusia). Dan menjadikan suara rakyat sebagai suara Tuhan, sedangkan suara terbanyak hanya jargon politiknya saja.

Ada pun kekuasaan rakyat (manusia) di sini bersifat menyeluruh mencakup kekuasaan membuat hukum (legislatif), kekuasaan menjalankan hukum (eksekutif) dan kekuasaan mengadili (yudikatif). Oleh karena itu, dalam demokrasi kekuasaan tersebut dibagi menjadi tiga, yaitu trias politica (eksekutif, legislatif dan yudikatif).

Maka, dalam praktiknya kemudian kekuasaan tersebut diimplementasikan dan direpresentasikan melalui trias politica tersebut, yakni tiga lembaga (eksekutif, legislatif dan yudikatif) mengikuti bentuk kekuasaan tadi dalam bentuk perwakilan, mengingat jumlah rakyat yang sangat banyak amat mustahil menjalankan kekuasaan tersebut secara langsung.

Pembagian tiga kekuasaan dalam demokrasi tersebut itulah yang disebut trias politica —yang pada fakta perjalanannya secara historis dan empiris telah menjelma menjadi trias korupsia (tiga sarang korupsi). Dan Indonesia termasuk yang mengadopsi konsep trias politica tersebut.

Karena itu, demokrasi menjadikan kedaulatan rakyat sebagai harga mati dan absolut atau menempatkan kewenangan membuat hukum (hak tasyri’) di tangan rakyat (manusia) bukan Allah, dan menolak keras kedaulatan Allah sebagai asy-Syaari’ (Sang Maha Pembuat Hukum dan Pemilik Hukum).

Itu adalah adalah pandangan, pemikiran dan pemahaman atau pun paradigma dasar dan menjadi keyakinan atau keimanan (i’tiqadiyyah).

Ada pun secara praktiknya (amaliyyah) jelas tiga lembaga yang dibentuk membuat dan melegislasi hukum (legislatif), untuk menjalankan hukum (eksekutif) dan untuk mengadili (yudikatif), dibentuk semata-mata untuk menerapkan dan menjaga serta menyebarluaskan hukum rakyat atau hukum-hukum buatan manusia yang notabene adalah hukum jahiliyah dan kufur, bukan hukum Allah.

Oleh karena itulah, demokrasi sangat alergi dan antipati dengan aturan agama atau hukum-hukum agama khususnya hukum Islam (syariah Islam).

Dan demokrasi melarang keras formalisasi hukum-hukum agama apa pun khususnya Islam diterapkan secara totalitas dalam kehidupan umum (publik). Demokrasi hanya menempatkan aturan/hukum agama khususnya Islam hanya pada tataran wilayah privasi warganya saja dan di dalam tempat ibadah tok.

Sebab, asasnya demokrasi adalah akidah kufur dan ideologi kufur warisan kafir penjajah Barat, yaitu sekulerisme (fashluddin ‘anil hayah wad daulah: pemisahan agama dari kehidupan dan negara). Jadi, itulah realitas berbagai kekufuran dan kesesatan demokrasi tersebut.

Meskipun konsep dasar demokrasi lahir jauh sebelum Islam, tetapi konsep dan sistem politik ini yang telah popular di Eropa setelah revolusi Renaisans baru dikenal dan diterapkan di dunia Islam sekitar pada abad ke 20 M, pasca runtuhnya kekuasaan politik Islam yakni Khilafah Utsmaniyah yang berpusat di Turki pada 3 Maret tahun 1924 M. Sehingga jelas demokrasi adalah perkara baru di dunia Islam.

Tapi, apakah perkara baru dalam urusan agama?

Seorang mukmin tidak boleh beranggapan bahwa demokrasi termasuk urusan wasilah saja yang hukumnya boleh dan juga tidak boleh pula beranggapan bahwa demokrasi itu urusan dunia, bukan urusan agama, sehingga tidak berhubungan dengan pembahasan akidah dan bid’ah.

Jelas anggapan itu sangat keliru, sebab persoalan hak tasyri’ yakni kewenangan membuat hukum adalah persoalan pokok dalam agama (i’tiqadiyyah/keyakinan/keimanan) bukan perkara furuiyyah (cabang).

Di dalam Islam, hak tasyri’ (membuat hukum) mutlak pada Allah saja, bukan pada manusia (rakyat). Dalam hal ini, Allah subḥānahu wa taʿālā telah berfirman:

إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّه

“Tidaklah menetapkan hukum itu kecuali milik Allah.” (QS Yusuf: 40)

Di dalam Islam, pihak yang berwenang menjalankan hukum diperintahkan agar memutuskan perkara berdasarkan hukum Allah saja, bukan yang lain. Allah subḥānahu wa taʿālā berfirman:

وَأَنِ احْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ

“Dan putuskanlah perkara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah.” (QS al-Maidah: 49)

Maka, dengan demikian, jelaslah demokrasi wasilah yang haram selain hadharah kufur maupun pula bid’ah i’tiqadiyyah dan bid’ah amaliyyah.

Rasulullah ﷺ memperingatkan kita, dalam sabdanya:

وكل بدعة ضلالة

“Dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR Muslim)

Dalam riwayat yang lain, seperti pada riwayat an-Nasa’i terdapat tambahan:

و كل ضلالة في النار

“Dan setiap kesesatan di neraka.” (HR an-Nasa’i)

Jadi, walhasil demokrasi itu wasilah yang haram dan kufur, dan merupakan produk hadharah kufur serta menjadi mbahnya bid’ah dhalalah di zaman now saat ini, bahkan pula menjadi puncak kemaksiatan dan kejahatan di zaman now saat ini. Maka, haram hukumnya seorang mukmin mengadopsi, menerapkan, dan menyebarluaskan demokrasi tersebut meskipun dengan alasan hanya sekadar wasilah saja. Karena ini pun sudah masuk perkara pahala dan dosa serta perkara surga dan neraka.

Apatah lagi sejak Indonesia merdeka, sejak masa Orde Lama, Orde Baru, hingga Orde Reformasi dan Orde Gila saat ini, umat Islam sesungguhnya sudah kenyang memakai wasilah demokrasi tersebut. Nyatanya, justru umat Islam berulang kali faktanya bertubi-tubi dibohongin, ditipu, dan dikhianati oleh demokrasi, rezim demokrasi, parpol demokrasi serta para politisi demokrasi.

Terakhir yang masih hot sampai sekarang, yaitu buktinya Pilpres 2019 yang lalu, bagaimana umat Islam dalam pesta demokrasi (pemilu: Pileg dan Pilpres) 2019 tersebut, sudahlah dicurangi oleh rezim demokrasi secara sistematis, terstruktur, masif, dan brutal. Kini pula nyatanya dibohongi, ditipu, dikhianati dan dicampakkan oleh jagoannya paslon 02 yang kini menjadi menterinya rezim demokrasi yang sedang berkuasa dua jilid saat ini.

Juga, kenyataannya faktanya Rasulullah ﷺ dan para sahabat raḍiyallāhu ‘anhum tidak pernah mengadopsi, menerapkan, menyebarluaskan, mencontohkan, dan mewariskan demokrasi tersebut.

Jadi, demokrasi itu bukan wasilah yang shahih (benar) justru sekali lagi itu adalah wasilah yang haram, dan mencampuradukkan antara haq dan bathil. Serta demokrasi pun juga banyak melahirkan keharaman lainnya dan berbagai bentuk kekufuran serta kerusakan di muka bumi dan di negeri ini.

Seperti: melahirkan berbagai produk UU dan UUD dan hukum serta peraturan-peraturan yang sangat liberal-sekuleristik-kapitalistik dan pro kepada oligarki dan kapitalis global asing-asing serta tidak berpihak kepada rakyat; melahirkan rezim ruwaibidhah trias politica (eksekutif, legislatif dan yudikatif) yang khianat, opurtunis dan zalim yang menjadi boneka dan proxy war kapitalis global asing-aseng; menyebabkan 2/3 wilayah Indonesia dan sekitar 86% SDA-Migas Indonesia dikuasai asing-aseng, Freeport AS kuasai puluhan tahun berton-ton gunung emas Papua bahkan diperpanjang hingga tahun 2040-an, dan menyebabkan makin naiknya utang ribawi luar negeri negara Indonesia hingga tembus lebih dari 7.000 triliun.

Juga seperti: melahirkan liberalisasi di seluruh aspek kehidupan baik politik, ekonomi, sosial, pendidikan, agama, dan lain-lain; memicu degradasi moral dan karakter; menyuburkan korupsi dan narkoba; dilegalkannya minuman keras (khamer); menyuburkan kenakalan remaja; pergaulan bebas, prostitusi, LGBT, dan seks bebas serta aborsi; menyuburkan pornografi dan pornoaksi; menyuburkan kriminalitas dan bunuh diri; membuat harta hanya beredar pada orang kaya saja sehingga memicu kian meningkatnya kemiskinan dan pengangguran; dan memicu berbagai konflik dan perpecahan sosial antar anak bangsa.

Dan seperti juga: menyuburkan penistaan agama; menyuburkan makin banyaknya bermunculan paham komunis, aliran sesat dan bid’ah serta berbagai kemaksiatan lainnya kecil maupun besar; membuat hukum makin tumpul ke atas dan hanya tajam ke bawah yang berujung pula makin tumpul ke kafir dan hanya tajam ke Islam; makin meningkatkan persekusi dan kriminalisasi terhadap ulama, rakyat dan aktivis yang kritis terhadap penguasa dan penjajahan; melahirkan kerusakan muka bumi di darat maupun di laut; dan juga menyebabkan terjadinya pemanasan global dan polusi terhadap bumi.

Bahkan pula, menyebabkan kian makin sistemik dan masifnya serta brutalnya penjajahan gaya baru kapitalis asing-aseng; memicu kian makin banyaknya bermunculan penyakit-penyakit baru hingga menjadi pandemi seperti Covid 19 (Coronavirus) yang telah menewaskan lebih dari 100.000 nyawa rakyat, hingga makin memicu krisis dan bencana multidimensi seperti krisis sosial-politik, krisis ekonomi, krisis kesehatan, krisis kemanusiaan, krisis pangan; bencana alam, dan lain-lain.

Jadi, masihkah percaya demokrasi? Mikir!

Karena itulah, rasanya tidak layak dan tidak pantas kita sebagai seorang muslim ataupun mukmin terjatuh ke dalam lubang yang sama berkali-kali. Keledai saja tidak akan jatuh ke dalam lubang yang sama untuk ke dua kalinya apalagi sampai berkali-kalinya.

Dari Abu Hurairah raḍiyalāhu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda:

لاَ يُلْدَغُ الْمُؤْمِنُ مِنْ جُحْرٍ وَاحِدٍ مَرَّتَيْنِ

“Tidak selayaknya seorang mukmin dipatuk ular (terperosok/jatuh) dari lubang (ke dalam lubang) yang sama sebanyak dua kali.” (HR Bukhari no. 6133 dan Muslim no. 2998)

Imam Nawawi menyatakan bahwa al-Qadhi Iyadh berkata, cara baca “yuldagu” ada dua cara.

Pertama: Yuldagu dengan ghain-nya di-dhammah. Kalimatnya menjadi kalimat berita. Maksudnya, seorang mukmin itu terpuji ketika ia cerdas, mantap dalam pekerjaannya, tidak lalai dalam urusannya, juga tidak terjatuh di lain waktu di lubang yang sama. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa ia tergelincir dalam urusan agama (akhirat).

Ke dua: Yuldagi dengan ghain-nya di-kasrah. Kalimatnya menjadi kalimat larangan. Maksudnya, janganlah sampai lalai dalam suatu perkara. [Syarh Shahih Muslim, 12: 104]

Ibnu Hajar berkata, “Seorang muslim harus terus waspada, jangan sampai lalai, baik dalam urusan agama maupun urusan dunianya.” [Fath Al-Bari, 10: 530]

Kesimpulannya, muslim yang cerdas ataupun mukmin yang cerdas tidak mungkin berbuat dosa yang sama untuk ke dua kalinya atau sampai berkali-kali dan tidak akan membiarkan dirinya jatuh terperosok ke dalam lubang yang sama untuk ke dua kalinya atau pun sampai berkali-kalinya. Ketika ia sudah berbuat kesalahan, maka ia terus hati-hati jangan sampai digigit lagi di lubang yang sama dan jangan lagi jatuh ke dalam lubang yang sama untuk ke sekian kalinya.

Oleh sebab itulah, sudah terbukti secara historis dan empiris berkali-kali wasilah dan jalan (thariqah) demokrasi itu dibuat oleh penjajah kafir untuk menjebak, melemahkan dan menghancurkan umat Islam dan Islam. Serta untuk mematikan kebangkitan Islam, dan juga untuk kian mengokohkan hegemoni penjajahan kapitalisme global kafir penjajah asing-aseng yang terlaknat tersebut di negeri-negeri Islam khususnya di Indonesia.

Jadi, mengapa kita masih tetap ngeyel dan keukeuh harus berulang kali menjatuhkan diri kita terjun bebas ke dalam lubang kubangan lumpur comberan hitam dan najis serta busuk wasilah dan jalan demokrasi yang sesat dan kufur serta haram tersebut? Mikir!

Wallahu a’lam bish shawab. []

Sumber: Zakariya al-Bantany

About Author

Categories