
Historiografi Islam Jawa dalam Kritik Pascakolonial
MUSTANIR.net – Mengomentari konsep ‘politik’ kolonial India yang ditulis oleh para sejarawan Cambridge dan nasionalis untuk merujuk hanya pada domain politik formal pemerintah dan institusi negara, Ranajit Guha (1984: 3-4) mengatakan bahwa dalam hampir semua tulisan tentang ‘politik kolonial’ (yang ia sebut sebagai historiografi elitis) itu, politik India hanya diasumsikan sebatas politik negara dan lembaga-lembaga yang berada di bawah kolonial Inggris.
Akibatnya, istilah ‘masyarakat’ dan ‘rakyat’ dibedakan sebatas perbedaan demografis antara warga dan pemerintah, padahal menurut Guha (1988: 4-5) ada ranah politik lain yang dimobilisasi oleh sekelompok orang yang berbeda dari domain politik elite, yang ia sebut sebagai —meminjam konsep Spivak (1994)— politik subaltern.
Hal ini tampaknya juga berlaku bagi Islam Jawa, di mana konsep ini terus direproduksi sebagai (a) ranah diskursif yang semata didasarkan pada universalitas sejarah politik kolonial untuk mendeskripsikan (b) peristiwa masa lalu yang seolah-olah lahir dari rahim nasionalisme, sehingga muncul (c) narasi-narasi sejarah (nasional) Islam Jawa yang ditulis dalam kerangka atau ‘dikuasai’ oleh dominasi diskursif kolonial Belanda.
Untuk itu, melihat narasi sejarah Islam Jawa secara kritis dalam tiga persoalan di atas tampaknya menjadi suatu keniscayaan tersendiri, dan hal ini hanya mungkin dilakukan jika kita mulai melakukan pergeseran paradigma (paradigm shift) dari historiografi kolonial Islam Jawa menuju historiografi pascakolonial Islam Jawa; dari sejarah yang ditulis oleh kaum ‘elitis’ kolonial ke sejarah yang melihat ‘yang lain’ sebagai peristiwa sehari-hari yang penting.
Historiografi pascakolonial, menurut Gyan Prakash (1992: 8), ditujukan untuk ‘memikirkan ulang dan merumuskan ulang secara radikal bentuk pengetahuan dan identitas sosial yang ditulis atau didominasi oleh kolonialisme/dominasi Barat’ (… to force a radical re-thinking and re-formulation of forms of knowledge and social identities authored and authorized by colonialism and Western domination).
Terinspirasi dari gagasan Spivak dalam esainya “Deconstructing Historiography” (1988: 3-32), Prakash —yang memberi pengantar editorial atas buku Selected Subaltern Studies yang memuat esai itu— mengatakan bahwa historiografi pascakolonial atau subaltern historiografi berupaya: (a) mempertanyakan dominasi sejarah universal yang didominasi oleh politik kolonial; (b) menerapkan kritik secara radikal atas segala bentuk sejarah bangsa; dan (c) menggugat hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan di mana sejarah diposisikan sebagai bentuk narasi pengetahuan tertentu.
Pertanyaannya adalah bagaimana sumbangsih historiografi pascakolonial ini bagi kajian atas Islam Jawa? Ia berkontribusi sejauh dalam usahanya untuk mempertanyakan segala bentuk dominasi kolonial dalam narasi sejarah, baik yang ditulis oleh para Sarjana Barat maupun sarjana Indonesia. Di bawah ini kita akan segera melihat bahwa ideologi kolonial itu muncul sebagai bentuk suatu proyek epistemologis yang hegemonik tidak hanya dalam historiografi kolonial itu sendiri, melainkan juga dalam historiografi tradisional, nasional, hingga modern sekali pun.
Sejarah tanpa bangsa (history without people), yang selalu menjadi jargon kebesaran historiografi nasional, pada hakikatnya tak bisa lepas dari definisi kolonial sentris atas apa yang disebutnya sebagai ‘bangsa’ (people/nation) itu sendiri. Nasionalisme, kebangsaan, atau kerakyatan hakikatnya merupakan jebakan epistemologis dari suatu ‘orientalisme gaya baru’ (new orientalism) yang menjadikan negara sebagai pintu masuk bagi narasi kolonial. Definisi kebangsaan pada hakikatnya adalah definisi negara yang dengan demikian mengasumsikan adanya ‘politik negara’ untuk terlibat dalam menuliskan, menarasikan, dan mereduksi rakyat ke dalam semata-mata perspektif negara itu sendiri. []
Sumber: Achmad Fawaid dalam Buku Suluk Kebudayaan Indonesia: Menengok Tradisi, Pergulatan dan Kedaulatan Diri (2021)
Daftar Bacaan:
• Guha, Ranajit (1984). “On Some Aspects of Historiography of Colonial India,” Subaltern Studies 1: Writings on South Asian History and Society (hlm. 3-47). Delhi: Oxford University Press.
• Prakash, Gyan (1992). “Postcolonial Criticism and Indian Historiography,” Social Text (hlm. 8-19. Durham: Duke University Press.
• Spivak, Gayatri C. (1988). “Can the Subaltern Speak?” dalam Cary Nelson and Lawrence Grossberg (eds), Marxism and the Interpretation of Culture (hlm. 273-313). Chicago: University of Illionois Press.