Ekonomi Liberal: Rusak dan Menyengsarakan
Ekonomi Liberal: Rusak dan Menyengsarakan
Mustanir.com – Demokrasi dan sistem ekonomi kapitalisme memiliki hubungan sangat erat. Keduanya seperti dua sisi mata uang. Pasalnya, keduanya lahir dari akidah yang sama. Itulah sekularisme. Sekularisme melahirkan demokrasi di bidang politik dan kapitalisme-liberal di bidang ekonomi.
Demokrasi akan berjalan bila didukung oleh dana yang besar. Karena itu demokrasi kemudian ditopang oleh sistem ekonomi kapitalisme-liberal. Sistem ekonomi kapitalis liberal akan tumbuh subur dalam iklim kebebasan yang membolehkan orang memiliki segala sesuatu dengan cara apapun.
Kebebasan itu diberikan oleh demokrasi. Sistem politik demokrasi dijalankan oleh penguasa. Sistem ekonomi kapitalis digerakkan oleh pengusaha. Dengan demikian secara praktis kolaborasi demokrasi dengan kapitalisme meniscayakan adanya persekutuan penguasa dengan pengusaha, atau penguasa sekaligus sebagai pengusaha.
Kekayaan untuk Asing
Bahaya terbesar yang dihasilkan dari kerjasama keduanya adalah hadirnya negara korporasi. Negara korporasi adalah negara yang dihela oleh persekutuan kelompok politikus dan kelompok pengusaha. Dalam negara korporasi, negara dijadikan sebagai instrumen atau kendaraan bisnis. Keputusan-keputusan politik akhirnya lebih mengabdi pada kepentingan para pemilik modal dan pihak asing. Adapun kepentingan rakyat mereka abaikan.
Contoh negara korporasi terbesar di dunia adalah Amerika Serikat. Pengaruh korporasi dalam pemerintahan negara adidaya ini bukan saja terhadap politik dalam negeri, namun juga terhadap politik luar negerinya. AS melakukan penjajahan atau imperialisme demi keuntungan perusahaan-perusahaan besarnya.
Salah satu korban kejahatan negara korporasi AS adalah Irak.Ketika AS menginvasi Irak, sesungguhnya itu tidak berdasarkan satu pun alasan rasional yang bisa diterima. Ketika para pejabat keamanan AS mengatakan bahwa invasi diperlukan untuk menghancurkan senjata pemusnah massal, faktanya Irak ketika itu tidak memiliki senjata yang dimaksud. Begitu juga ketika dikatakan bahwa invasi diperlukan untuk menumbangkan Presiden Saddam Hussein, sebenarnya untuk menumbangkan Saddam tidak perlu sampai harus melakukan invasi karena toh Saddam adalah boneka AS. Dia dulunya adalah agen CIA ketika Bush senior menjadi direkturnya.
Jelas sekali, invasi itu dilakukan tidak lain demi memuaskan ambisi kaum pebisnis yang ada di sekitar Presiden Bush, yaitu pebisnis senjata, minyak dan infrastruktur. Keluarga Bush sendiri adalah pebisnis minyak. Dengan invasi yang dibiayai negara, senjata yang diproduksi oleh pabrik-pabrik senjata yang dimiliki oleh para pejabat pemerintahan Bush tentu menjadi laku.
Ketika Irak sudah hancur, pemenang tender rekonstruksi Irak adalah Bechtel. Ini adalah perusahaan konstruksi penyokong utama Presiden Bush. Lalu dari mana biaya ratusan miliar dolar AS untuk rekonstruksi? Gampang saja. Semua diambil dari hasil minyak Irak yang sangat melimpah itu. Jadi ini adalah bisnis besar. Sangat besar, sekaligus sangat jahat. Irak dihancurkan oleh AS. Lalu perusahaan AS juga yang memperbaiki, tetapi dengan duit dari Irak. Irak porak-poranda. Perusahaan AS tertawa dan dapat menguasai minyaknya.
Negara korban lainnya adalah Indonesia. Misalnya, dalam kasus blok kaya minyak Cepu. ExxonMobil, perusahaan minyak raksasa dunia, bisa memaksa pemerintah AS untuk ikut campur tangan agar perusahaan minyak asal AS itu ditunjuk oleh Pemerintah Indonesia sebagai pengelola Blok Cepu. Tidak tanggung-tanggung, campur tangan dilakukan oleh pemimpin tertinggi ExxonMobil, Duta Besar Ralph Boyce dan Presiden Bush. Menteri Luar Negeri AS Condoleezza Rice langsung datang ke Indonesia untuk urusan itu. Pemerintah pun akhirnya menyerahkan Blok Cepu kepada Exxon, bukan kepada Pertamina sebagai perusahaan Indonesia. Hingga saat ini, Exxon Mobile tetap menguasai Blok Cepu. Minyak pun dikuasai pihak asing.
Skenario yang hampir sama diulangi lagi dalam persoalan pengelolaan Blok Mahakam. Perusahaan minyak Prancis, TOTAL, telah menguasai blok kaya minyak tersebut sejak 1967, beberapa pekan setelah Soeharto menjadi presiden. Beberapa bulan sebelum Presiden Soeharto lengser, kontrak itu diperpanjang selama 20 tahun sehingga akan berakhir 31 Maret 2017.
Kini, menjelang Pemilu Presiden 2014 yang menandai berakhirnya Pemerintahan Presiden SBY, perusahaan migas dari Perancis ini bisa jadi memainkan beragam jurus demi tetap mencengkeram Blok Mahakam agar tetap dalam genggaman. TOTAL pun masih mengelola beberapa blok migas mereka yang lain di wilayah Indonesia.
Namun, seperti apa sikap sikap pemerintahan SBY? Melalui Menteri ESDM Jero Wacik dikatakan bahwa kontrak Blok Mahakam baru berakhir 2017 mendatang. Jadi tidak terlalu penting diputus oleh pemerintahan sekarang. “Daripada saya dicurigai cari dana kampanye, ya sudah, biar diputuskan pemerintah baru. Biar mereka yang pusing,” ungkap Jero Wacik, kepada pers di Jakarta, 11 April 2013 lalu.
Tak lama setelah dikeluarkannya sikap pemerintah atas Blok Mahakam, seperti yang ditegaskan Jero Wacik, pada 10 Juli lalu Wakil Presiden Senior Total E&P Asia Pasifik, Jean Marie Guillermou, terbang ke Jakarta untuk menemui Menteri ESDM Republik Indonesia. Kedatangan Guillermou menemui Jero adalah untuk meminta kepastian perpanjangan Blok Mahakam. Padahal Menteri ESDM sudah mengatakan sebuah kepastian sebelumnya, melalui pernyataan 11 April 2013 lalu. Sebuah upaya melobi untuk mendesak?
Lalu berubahkah sikap Jero Wacik? Memang pernyataan Jero bisa menimbulkan spekulasi bahwa Pemerintah condong akan kembali memperpanjang kontrak TOTAL dan partnernya, Inpex, di Blok Mahakam. Pasalnya, keputusan akhir tentang blok itu memang ada Kementerian ESDM.
Yang jelas, suara-suara yang meragukan kemampuan Pertamina mengelola blok Mahakam terus disuarakan. Salah satunya oleh Ari Sumarno, mantan Direktur Utama Pertamina yang pada masa kepemimpinannya Blok Cepu diserahkan kepada ExxonMobil, Maret 2006.
Ari Sumarno menyatakan bahwa PT Pertamina (Persero) dinilai belum mampu mengelola Blok Mahakam tanpa bantuan operator lain. Pasalnya, dengan aset yang dimiliki saat ini, Pertamina belum juga mampu meningkatkan cadangan minyak dan gas bumi di lapangan milik mereka sendiri.
Ari Sumarno mengatakan Blok Mahakam merupakan lapangan migas yang secara teknis sulit dikelola lantaran terdiri dari dua jenis lapangan, yaitu di darat (onshore) dan di laut (offshore). Dengan begitu, diperlukan teknologi yang lebih rumit dibanding lapangan migas di darat. Demikian ujar Ari kepada wartawan di Jakarta Senin (25/2/2013).
Rudi Rubiandini, mantan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Migas (SKK Migas) yang sekarang menjadi tersangka korupsi dan gratifikasi, juga menyebut pengelolaan blok Mahakam seperti makan bubur ayam. Pertamina diharuskan belajar ‘makan’ blok Mahakam dari pinggir dan selanjutnya ke tengah.
Kepala BP Migas R Priyono (Juli, 2013) mengatakan, “Jika Pertamina ingin mengelola Blok Mahakam, harus ada masa transisi dulu. Pertamina sementara transisi dulu, biar TOTAL yang jalan.”
Sikap Pemerintah yang mendahulukan perusahaan asing daripada Pertamina menunjukkan kuatnya pengaruh korporasi asing dalam menentukan kebijakan di Indonesia, bahkan dalam pembuatan undang-undang. UU no 22 tahun 2001 tentang Migas menempatkan Pertamina perusahaan milik negara ini sama seperti perusahaan-perusahaan minyak lainnya, yang harus melakukan tender agar bisa mengelola sumur minyak di bumi Indonesia.
Banyak sekali kekayaan negeri Muslim terbesar ini yang diserahkan kepada pihak asing. Penguasa berkolaborasi dengan pengusaha merampas kekayaan rakyat, lalu menyerahkannya kepada pihak asing. Lebih dari 80 persen ladang migas di Indonesia dikuasai oleh pihak asing! Adapun rakyat sebagai pemilik kekayaan alam tersebut tetap dalam kesengsaraan.
Kapitalisasi Kesehatan
Tak cukup menjarah kekayaan alam Indonesia, korporasi dan penguasa di negeri Muslim terbesar ini berusaha mendapatkan uang dari rakyat melalui kapitalisasi kesehatan. Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang mengadopsi jaminan kesehatan kapitalistik mulai diberlakukan di Indonesia sejak 1 Januari 2014.
JKN ini membawa seperangkat konsep-konsep yang membius dan menyesatkan, dibangun di atas logika berpikir yang batil. Beberapa prinsip yang dianut program ini di antaranya:
- Pelayanan kesehatan harus dikomersialkan.
Konsep ini telah dipaksakan World Trade Organization (WTO) untuk diadopsi dunia, khususnya negara-negara anggota WTO. Layanan kesehatan dimasukkan ke dalam salah satu layanan dasar yang termaktub dalam kesepakatan perdagangan General Agreements Trade in Services (GATS), tahun 1994.
- Pembatasan peran Pemerintah sebatas regulator dan fasilitator.
Konsep ini berangkat dari pandangan bahwa institusi penyelenggara asuransi sosial lebih kapabel daripada Pemerintah dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan. German Technical Cooperation Agency (GTZ), sebuah organisasi layaknya perusahaan swasta yang dimiliki oleh Pemerintah Federal Jerman yang aktif membidani kelahiran JKN, menjelaskan, “Ide dasar jaminan kesehatan sosial (Indonesia, JKN) adalah pengalihan tanggung jawab penyelenggaraan pelayan kesehatan dari pemerintah ke institusi yang memiliki kemampuan tinggi untuk membiayai pelayanan kesehatan atas nama peserta jaminan sosial.”
Dalam konteks JKN, institusi yang dimaksud adalah BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan. Tertuang dalam ayat 1 pasal 1, UU No. 24 Tahun 2011, tentang BPJS: “Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang selanjutnya disingkat BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial.”
Kewenangan BPJS Kesehatan sangat luar biasa, mulai dari menagih (baca: memaksa) pembayaran dari masyarakat, mengelola dana masyarakat tersebut, sampai dengan mengelola pelayanan kesehatan itu sendiri.
Terkait BPJS Kesehatan, meskipun badan hukum publik, prinsip-prinsip korporasi tetap dijadikan dasar tata kelolanya (Lihat: bunyi butir b Pasal 11 tentang wewenang BPJS). Intinya, BPJS dikehendaki untuk menjadi pengelola finansial dan pelayan publik (kesehatan) sekaligus dengan tetap mengedepankan prinsip korporasi, yaitu mendapatkan profit yang memadai.
UU No. 24 tahun 2011 tentang BPJS membuktikan bahwa Pemerintah Indonesia secara terbuka telah mengadopsi konsep Public Private Partnership/Kemitraan Pemerintah dan Swasta (KPS) sebagai konsep pembangunan dan tata kelola sistem kesehatan dan pelayanan publik pada umumnya.
Di sinilah kita secara gamblang menyaksikan bagaimana negara korporasi mengambil manfaat dan keuntungan yang besar dari dana masyarakat yang dihimpun melalui iuran JKN. Siapa yang diuntungkan? Tentu para pengusaha yang mencukongi para penguasa. Bagaimana dengan kondisi rakyat? Rakyat tetap sengsara.
Apa penyebab kerusakan dan persoalan ini? Semua kerusakan dan persoalan ini terjadi karena penerapan sistem ekonomi liberal di Indonesia.
Berharap pada Pemilu 2014?
Dalam Pemilu 2014, tidak ada satu partai pun yang memandang bahwa sistem ekonomi kapitalis sebagai problem yang membuat rakyat Indonesia menderita. Bahkan kolaborasi politikus dan pengusaha makin menonjol pada Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Golkar, Gerindra, Nasdem, Hanura dan PKB.
Santer dibicarakan, pencalonan Jokowi dari PDIP didukung oleh 9 taipan/konglomerat Cina. Elite PDIP bertemu dengan Dubes Amerika Serikat (AS), Robert Blake, di rumah pengusaha Jacob Soetoyo. Mereka juga bertemu dengan Dubes Vatikan. Jika PDIP berada di puncak kekuasaan maka kolaborasi pengusaha dengan penguasa akan makin kokoh. Jokowi sendiri seorang pengusaha. Dengan demikian negara korporasi di Indonesia akan makin kokoh. Selama ini ekonomi Indonesia sudah dikuasai oleh kelompok Cina perantauan/overseas, dan kini pengaruhnya langsung ke bidang politik.
Bagaimana bila Prabowo yang menjadi RI-1? Prabowo juga memiliki jaringan usaha. Di belakang dia ada pengusaha yang juga adiknya, Hashim Djojohadikusumo.
Partai lain juga tidak jauh berbeda. Sekadar contoh: Aburizal Bakrie, Ketum Golkar; Hary Tanoe, Bos MNC Grup, Wakil Ketua Umum Hanura; Rusdi Kirana, pemilik Lion Grup, Wakil Ketua Umum PKB; Surya Paloh, Bos Grup Metro, Ketua Umum Partai Nasdem. Pimpinan PPP, PKS, PAN, PBB dan PKPI memang bukan pengusaha, namun tidak berarti partai-partai itu steril dari pengaruh para pengusaha.
Jelas, semua parpol makin pragmatis, miskin ideologi (less ideology) dan makin menampakan wajah dan sifat kapitalis liberalistik. Lihatlah bagaimana koalisi dibentuk hanya berdasarkan pragmatisme politik, bagi-bagi kekuasaan dan jabatan, serta berkoalisi untuk calon presiden yang peluang menangnya besar.
Oleh karena itu, alih-alih mengatasi kerusakan, hasil Pemilu 2014 menegaskan bahwa perwujudan Indonesia sebagai negara korporasi akan makin nyata. Kelak, keputusan-keputusan politik dibuat bukan demi kepentingan rakyat, tetapi untuk kepentingan para pebisnis. Kader partai di parlemen hanya akan menjadi alat legitimasi bagi pemuasan syahwat politik-ekonomi elit partai. UU yang sangat liberal-kapitalistik akan lebih banyak lagi bermunculan. Muaranya, rakyatlah yang akan menanggung akibatnya berupa pemiskinan struktural dan kesenjangan kaya-miski yang makin menganga.
Ilusi Perubahan
Siapa pun yang menganalisis kekuatan-kekuatan politik dan ekonomi yang terlibat dalam proses Pemilu tahun ini akan memahami, bahwa kemungkinan campur tangan asing secara politik dan ekonomi semakin besar. Khususnya jaringan Tiongkok perantauan (Overseas China) yang berkolaborasi dengan jaringan AS. Peran AS di Indonesia tetap besar. Semua orang tahu, dukungan AS mutlak untuk bisa duduk dikursi kekuasaan.
Setelah sekian lama Indonesia dijarah oleh kekuatan korporasi yang berkolaborasi dengan penguasa, setelah sedemikian parah masalah yang diderita bangsa ini, masihkah kita berharap pada demokrasi dan sistem ekonomi kapitalisme? Tidak! Satu-satunya yang bisa mengatasinya hanyalah Khilafah. Khilafah itulah sistem yang berasal dari Allah SWT Khairul Hâkimîn. Itulah sistem peninggalan Rasulullah Muhammad saw.
Kini saatnya kita meninggalkan demokrasi dan sistem ekonomi kapitalis liberal! Mari berjuang menegakkan syariah dalam naungan Khilafah! []