Puasa Sudah Batal, Apakah Masih Wajib Menahan Diri Dari Makan & Minum?
Puasa Sudah Batal, Apakah Masih Wajib Menahan Diri Dari Makan & Minum?
Pertanyaan : Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Ada yang bilang bahwa seandainya kita batal dari berpuasa di siang hari, bukan berarti kita boleh untuk terus makan dan minum. Tetapi kita tetap diwajibkan untuk menahan diri dari makan, minum dan hal-hal yang membatalkan puasa seperti jima’. Apakah benar hal itu, ustadz?
Mohon penjelasan.
Wassalam
Jawaban :
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Pengertian imsak yang populer di tengah masyarakat memang agak sedikit berbeda dengan yang dituliskan para ulama salaf. Masyarakat kita terlanjur memahami istilah imsak sebagai ’10 menit lagi shubuh’. Padahal makna imsak yang sesungguhnya adalah menahan diri dari makan dan minum serta hal-hal yang membatalkan puasa.
Imsak dan puasa adalah dua istilah yang saling terkait, kadang saling tumpang tindih menjadi satu, tetapi kadang keduanya merupakan dua hal yang salling berbeda. Orang berpuasa sudah pasti berimsak, alias tidak makan dan minum. Tetapi orang berimsak belum tentu berpuasa.
Salah satu contohnya adalah kita dianjurkan untuk mulai tidak makan atau minum, beberapa menit sebelum masuknya waktu shubuh dan bukan pas masuknya waktu shubuh. Dan mulai tidak makan minum itu disebut imsak dan belum dianggap puasa.
Contoh lainnya adalah orang yang tidak puasa di siang hari karena satu udzur tertentu dan terlanjur batal puasa. Dalam keadaan tidak puasa itu, dia tetap melakukan imsak dalam arti tidak makan dan minum. Hukumnya ada yang sunnah dan ada pula yang wajib.
Para ulama berbeda pendapat dalam hukum berimsak bagi orang yang sudah terlanjur batal puasanya, apakah hukumnya wajib, sunnah atau lainnya. Dalam hal ini kita bisa bedakan sebagaimana masing-masing mazhabnya.
1. Al-Hanafiyah
Mazhab Al-Hanafiyah memandang apabila seseorang terlanjur batal puasanya di siang hari, dia tetap diwajibkan untuk berimsak, yaitu tetap menahan diri dari makan dan minum serta hal-hal lainnya yang sekiranya membatalkan puasanya.
Al-Kasani (w. 587 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah di dalam kitabnya Badai’ Ash-Shanai’ fi Tartibi As-Syarai’ menuliskan sebagai berikut :
فكل من كان له عذر في صوم رمضان في أول النهار مانع من الوجوب أو مبيح للفطر ثم زال عذره وصار بحال لو كان عليه في أول النهار لوجب عليه الصوم ولا يباح له الفطر كالصبي إذا بلغ في بعض النهار وأسلم الكافر وأفاق المجنون وطهرت الحائض وقدم المسافر مع قيام الأهلية يجب عليه إمساك بقية اليوم.
Setiap orang yang memiliki udzur dalam berpuasa Ramadhan di awal hari –dimana dia tidak wajib berpuasa dan boleh berbuka- kemudian udzur tersebut hilang, sehingga dia berada pada kondisi dimana jika kondisi ini dialaminya di awal hari maka dia wajib berpuasa dan dilarang berbuka, seperti : orang kafir yang masuk islam, orang gila yang sembuh, wanita haidh yang masuk masa suci, seorang musafir yang telah tiba, maka orang tersebut wajib menahan diri dari larangan puasa jika dia memenuhi persyaratan yang lain. [1]
2. Al-Malikiyah
Dalam pandangan mazhab Al-Malikiyah, orang yang membatalkan puasa Ramadhan atau puasa nadzar dengan sengaja, terpaksa atau lupa maka diwajibkan untuk tetap berimsak, meski puasanya sudah batal.
Sedangkan bila seseorang mempunyai udzur yang syar’i yang membolehkan tidak puasa, lalu di tengah hari udzur itu berlalu, maka tidak disunnahkan berimsak.
Misalnya seperti pada wanita yang berhenti haidh atau nifasnya di tengah hari bulan Ramadhan, atau musafir yang sudah sampai di rumah atau anak kecil yang mendapat mimpi keluar mani. Demikian juga berlaku pada orang gila yang sudah sembuh, atau orang sakit yang sudah pulih kesehatannya.
3. Mazhab Asy-Syafi’iyah
Sedangkan mazhab Asy-Syafi’iyah membagi masalah ini menjadi dua, yaitu ada yang hukumnya wajib imsak dan ada yang sunnah.
a. Wajib Imsak
Setidaknya ada tiga kasus dimana imsak menjadi wajib hukumnya dalam mazhab Asy-syafi’iyah.
Pertama : bila seseorang membatalkan puasanya di siang hari bulan Ramadhan tanpa udzhur yang sya’i, maka wajib baginya untuk tetap berimsak alias tidak boleh makan dan minum setelah itu.
Kedua : orang yang lupa berniat di malam harinya, maka puasanya tidak sah pada hari itu. Dan untuk itu dia tetap wajib berimsak, tidak boleh makan dan minum. Dan nanti seusai Ramadhan dia wajib mengqadha’ puasanya.
b. Sunnah Imsak
Sedangkan yang hukumnya tidak wajib imsak antara lain :
- Balighnya anak kecil
- Sembuhnya orang gila dari gilanya
- Islamnya ornag kafir
- Sudah tibanya musafir ke rumahnya
- Sembuhnya orang sakit
4. Mazhab Al-Hanabilah
Mazhab Al-Hanabilah mewajibkan bagi orang yang udzurnya telah berlalu untuk tetap berimsak, tanpa dibeda-bedakan sebagaimana dalam mazhab Asy-Syafi’iyah di atas.
Segala bentuk udzur baik sengaja membatalkan puasa tanpa udzur, lupa tidak niat puas sejak malam, anak kecil yang baligh di tengah hari, orang gila yang sudah sadar, orang kafir yang masuk Islam, musafir yang sudah tiba di rumah dan orang sakit yang sudah sehat, bila semua sudah berlalu maka tetap diwajibkan berimsak sampai matahari tenggelam. Dan mereka juga wajib mengqadha’ puasa yang ditinggalkan.
5. Mazhab Adzh-Dzharihiyah
Ibnu Hazm (w. 456 H) salah satu tokoh mazhab Azh-Zhahiriyah di dalam kitab Al-Muhalla bil Atsar menuliskan sebagai berikut :
ومن أسلم بعدما تبين الفجر له، أو بلغ كذلك، أو رأت الطهر [من الحيض] كذلك، أو من النفاس كذلك، أو أفاق من مرضه كذلك، أو قدم من سفره كذلك – فإنهم يأكلون باقي نهارهم ويطئون من نسائهم من لم تبلغ، أو من طهرت في يومها ذلك، ويستأنفون الصوم من غد – ولا قضاء على من أسلم، أو بلغ؛ وتقضي الحائض، والمفيق، والقادم، والنفساء
Jika ada orang yang masuk islam setelah terbitnya fajar (di bulan Ramadhan), orang haidh atau nifas yang memasuki masa suci, orang yang sembuh dari sakit dan orang yang telah tiba dari safar, maka dibolehkan bagi mereka untuk makan di sisa waktu di siang hari tersebut atau menggauli istrinya (bagi laki-laki) selama istrinya belum baligh atau suci dari haidh setelah melewati fajar juga. Dia harus melanjutkan puasa di hari berikutnya. Bagi orang kafir yang masuk islam atau anak kecil yang baligh tidak wajib mengadha puasa pada hari itu, namun bagi wanita haidh, orang yang sembuh dari sakit, musafir dan wanita nifas tetap memiliki kewajiban qadha. [2]
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA
[1] Al-Kasani, Badai’ Ash-Shanai’ fi Tartibi Syara’i, jilid 2 hal. 102
[2] Ibnu Hazm, Al-Muhalla bil Atsar, jilid 4 hal. 382