
Empat Hal yang Perlu Diwaspadai Umat Islam
MUSTANIR.net – Ketua LBH Pelita Umat, Chandra Purna Irawan, SH, MH mengatakan ada empat hal yang perlu diwaspadai oleh umat Islam di tahun 2023. “Setidaknya ada empat hal yang perlu diwaspadai oleh umat Islam yang memungkinkan terjadi pada tahun 2023,” lugasnya kepada tintasiyasi.com (9/1).
Ia mengatakan, tahun 2022 telah dilewati dan merupakan momen yang tepat bagi seluruh elemen masyarakat untuk merefleksikan apa saja yang telah dilakukan selama satu tahun ke belakang serta melakukan analisa kemungkinan yang akan terjadi pada tahun 2023.
“Hal tersebut penting dilakukan guna menyusun rencana ke depan agar lebih baik,” pesannya.
Kemudian ia menyebutkan kemungkinan yang akan terjadi pada tahun 2023, khusus yang berkaitan dengan politik yang menggunakan instrumen hukum dan berimplikasi terhadap Islam dan umatnya.
“Sebagai bahan analisa, sesuai data enam tahun ke belakang yaitu 2022, 2021, 2020, 2019, 2018, 2017. Dari data tersebut ditarik benang merah atas kesamaan peristiwa politik yang menggunakan instrumen hukum dan berimplikasi terhadap Islam dan umatnya,” jelasnya.
Lebih jauh ia menyebutkan peristiwa yang sering muncul yang berulang-ulang dari tahun 2022, 2021, 2020, 2019, 2018, 2017. “Pertama, narasi pecah belah, radikal, intoleran, dan anti kebhinekaan. Ke dua, moderasi beragama, ke tiga, kriminalisasi atau monsterisasi/alienasi ajaran Islam, seperti kata kafir, syariah, khilafah, jihad, cadar, hijab, celana cingkrang, konsep mata uang Islam (dinar/dirham), pernikahan beda agama, pandangan terhadap zina, dan poligami,” ungkapnya.
Ke empat, terdapat upaya yang tampak mengkaitkan terorisme dengan teologis.
“Narasi soal perang melawan radikalisme telah dibangun pemerintah, terlebih lagi menggunakan instrumen hukum. Isu radikalisme yang terus digiring pemerintah dan telah membuat situasi tidak nyaman di tengah-tengah masyarakat. Padahal, mengangkat isu radikalisme tidak produktif untuk kemajuan bangsa,” urainya.
Menurutnya, semestinya pemerintah mengedepankan ukhuwah bukan malah memecah belah bangsa dengan isu radikalisme.
“Pengarusan moderasi dilandaskan pada asumsi yang dipaksakan bahwa agama Islam yang dipahami hanya akan menjadi ancaman. Masalahnya, ancaman buat siapa?” tanyanya.
Sehingga, katanya, beberapa istilah ajaran Islam dipersoalkan, misalnya kata ‘kafir’, kepemimpinan dalam Islam yang menolak pemimpim di luar muslim, dan beberapa ajaran Islam lainnya disesuaikan dengan kondisi zaman.
“Pluralisme yaitu menganggap semua agama sama. Sama-sama mengajarkan kebaikan, tidak boleh fanatik terhadap agamanya. Inilah salah satu target dari moderasi beragama, dan pluralisme,” tegasnya.
Ia mengungkapkan, padahal Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyikapi hal ini pada tahun 2005 melalui Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/II/2005 tentang pluralisme, liberalisme, dan sekularisme agama. MUI mengeluarkan fatwa bahwa pluralisme, sekularisme, dan liberalisme agama adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.
“Begitu juga dengan isu terorisme, tampak seperti ada upaya mengaitkan agama dengan terorisme harus mulai dikoreksi. Hanya dalam konteks Indonesia ditengarai seakan ada skenario pada aksi-aksi tertentu. Pasca aksi selalu ditemukan dokumen yang berkaitan dengan teologis (bendera tauhid, iqra, al-Qur’an, buku jihad, dll), yang kemudian mengalihkan terhadap isu lainnya,” mirisnya.
Sementara, dalam penindakan terhadap terduga teroris, menurutnya, dalam proses penyitaan barang bukti, sebaiknya menghindarkan dari hal-hal yang beririsan dengan simbol-simbol agama atau yang dipersonifikasikan dengan agama yaitu penyitaan sejumlah buku yang bertema jihad, iqra, al-Qur’an, bendera tauhid, terlebih lagi kemudian dipublikasikan ke media dan publik.
“Hal ini dikhawatirkan berpotensi terjadi kriminalisasi terhadap istilah dan ajaran Islam yaitu jihad. Istilah jihad banyak dijelaskan di dalam al-Qur’an dan hadits. Sehingga, mendorong agar proses penegakan hukum dipisahkan dari politik,’ jelasnya.
Ia menegaskan bahwa menyita buku-buku bertema jihad dan menampilkan ke hadapan media dan publik adalah tampak seperti tindakan politik. Apa hubungannya antara tindakan pidana dengan buku tersebut. Maka, patut diduga sedang ada upaya membangun narasi “buku-buku jihad inspirator teroris”. Sehingga, berujung pada stigmatisasi-alienasi dan monsterisasi ajaran Islam tentang jihad.
“Begitu pula ketika umat Islam mengajarkan dan mempraktikkan politik Islam di kehidupan, dituduh sebagai politik identitas. Walhasil, dibangun berbagai narasi politik identitas sebagai politik yang menjijikkan, memecah belah, dan lainnya. Padahal mereka ketika menjelang pemilu tak ada rasa malu sedikit pun menggunakan atribut pakaian agama agar tampak Islami, mendatangi berbagai tempat yang menjadi berkumpulnya umat Islam,” lugasnya.
Ia mengatakan, lagi-lagi Islam dan umat Islam seolah-olah tampak seperti menjadi objek yang senantiasa dipersoalkan. “Oleh karena itu, umat Islam, tokoh-tokoh, pimpinan ormas Islam, alim ulama sangat perlu merumuskan langkah pemikiran dan tindakan konstruktif agar masa depan Islam dan umatnya di tahun 2023 menjadi baik,” tandasnya. []
Sumber: Nurmilati