Eufemisme dalam Politik

MUSTANIR.netEufemisme dalam tataran politik ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan.

Hakikatnya, politik merupakan suatu media yang digunakan oleh para politikus untuk mensejahterakan rakyatnya. Bukan malah sebaliknya, justru menjadikan para pemangku kekuasaan memanfaatkan jabatannya guna meraih kekuasaan hingga melupakan hakikat politik.

Dalam politik demokrasi, praktik persaingan semacam persaingan meraih kursi kekuasaan memang merupakan keniscayaan. Sistem politik yang tidak mengenal halal dan haram.

Politik bahkan hanya didefinisikan sebagai cara meraih kursi kekuasaan. Kursi kekuasaan adalah puncak kebanggaan sekaligus sarana meraih materi keduniawian.

Partai-partai politik dan elite yang lahir dari dan dengan spirit demokrasi cenderung abai terhadap nilai-nilai moral. Segala cara bisa dilakukan demi memenangkan persaingan.

Perjuangan bisa berubah sesuai kepentingan. Posisi kawan dan lawan politik bisa saling bergantian.

Tidak ada lawan dan kawan abadi, yang ada hanyalah kepentingan yang abadi. Inilah tabiat dalam sistem politik demokrasi.

Ideologi kapitalisme-sekulerisme yang masih diemban menjadi sebuah keniscayaan buruknya realitas politik demokrasi. Sistem kapitalisme-sekulerisme yang meletakkan hukum Tuhan (Allāh subḥānahu wa taʿālā) jauh di bawah hukum konstitusi, hingga hal tersebut melahirkan para penguasa yang tak sungguh-sungguh menginginkan rakyatnya sejahtera.

Kepentingan diri, pribadi, dan kelompok justru menjadi hal yang diutamakan. Berbagai kebijakan cenderung menguntungkan pribadi, kelompok, atau partai pengusung yang berjasa mengenalkannya hingga berhasil duduk di kursi kekuasaan.

Sementara, posisi rakyat tetap menjadi pihak yang terpinggirkan. Penguasa dalam hal pengurusan terhadap rakyat terlihat tidak serius serta berusaha mencerdaskan dan mengikatkan visi partai agar menjadi visi masyarakat secara keseluruhan, kecuali yang terpenting hanya bagaimana bisa menang.

Para elite politik melakukan berbagai hal yang menyakiti hati rakyat. Hingga perubahan ke arah yang lebih baik semakin jauh dari harapan rakyat.

Akhirnya, fakta ini meniscayakan secara alami pemahaman masyarakat bahwa politik itu kotor. Kotornya perpolitikan turut ditopang oleh penggunaan eufemisme.

Eufemisme benar-benar menjadi senjata paling ampuh untuk mencapai segala kepentingannya. Termasuk memanipulasi realitas, menyembunyikan kebenaran, guna mendapatkan kepentingannya.

Berdasarkan keterangan di atas, ranah politik sangat erat kaitannya dengan penggunaan bahasa verbal maupun bahasa non-verbal sebagai pemicu dan mengubah pola pikir masyarakat akan sesuatu. Begitu pula kecenderungan yang terjadi saat ini.

Eufemisme sudah menjadi komoditas politik bagi para elite politik sebagai media untuk memanipulasi realitas atau bermaksud menyindir elite politik tertentu. Hingga pada akhirnya terkadang sulit membedakan manakah suatu kenyataan dan manakah suatu kebohongan, sebab piranti bahasa yang digunakan oleh kalangan birokrat sering bernuansa politis dan sungguh tidak mencerminkan kehidupan politik yang didambakan masyarakat.

Hal tersebut secara tidak langsung akan membuat masyarakat kebingungan dalam menyerap arus informasi yang berkembang. Sampai akhirnya akan menimbulkan berbagai permasalahan sosial.

Di sisi lain, terkadang akibat seringnya bahasa eufemisme digunakan maka sudah dianggap sebagai hal yang biasa dan wajar. Padahal, hakikat eufemisme adalah alternatif ungkapan yang dipakai untuk menghindari rasa malu dan ketidakberterimaan.

Eufemisme tersebut ditandai dengan dua hal; penghindaran bahasa-bahasa yang tidak berterima, dan penggunaan bahasa yang berterima sebagai ganti. Penutur dalam eufemisme memakai kata atau frasa sebagai pelindung terhadap kata atau frasa yang bermakna tidak berterima atau menyakiti.

Ada pun tujuan utama penggunaan eufemisme bahasa dalam kebijakan politik adalah untuk mengatur suatu keadaan masyarakat sehingga memudahkan bagi para elite politik untuk menjalankan agenda mereka. Akhirnya, setiap permasalahan yang terjadi di masyarakat sering kali dipolitisir sedemikian rupa oleh para pemangku kepentingan melalui penguasaan wacana dan opini publik sehingga terkesan kondisi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat selalu dalam keadaan baik.

Termasuk darinya sebuah kebijakan yang tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) untuk disahkan tidak jarang penggunaan eufemisme dilakukan guna semakin mempercepat proses legalisasi RUU tersebut. []

Sumber: Dina Muhibbah

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories