
Indonesia Globe 3D Render of the Planet Earth, Depth of field effect. Made with Natural Earth. URL of source data: http://www.naturalearthdata.com Relief texture SRTM data courtesy of NASA. URL of source image: http://reverb.echo.nasa.gov The source data is in the public domain.
Historiografi Umat Islam Indonesia: Subsistem dari Historiografi Dunia Islam
MUSTANIR.net – “Siapa yang menguasai masa lalu akan menguasai masa depan”
Historiografi Nasional Indonesia Bermula dari Abad ke-19
Para sejarawan Indonesia umumnya berasumsi bahwa historiografi Islam di Indonesia merupakan bagian yang integral dari historiografi Indonesia.
Pernyataan ini mendudukkan posisi Islam sebagai subsistem dari Indonesia. Padahal, Islam sebagai sebuah konsep dan dinamika interaksinya melampaui Indonesia sebagai salah satu kawasan periferal dari episentrum Islam di Timur Tengah, khususnya Madīnah-Makkah. Sedangkan menurut historiografi bahwa Indonesia sebagai sebuah konsep kawasan geopolitik dan antropolis baru muncul di awal abad ke 19.
Memang fakta ini tidak bisa dipungkiri bahwa asumsi tentang historiografi Islam di Indonesia sebagai bagian yang integral dari historiografi Indonesia, didukung oleh perspektif negara sebagai landasan pijak penulisan historiografi nasional. Hal ini tercermin dari dinamika historiografi nasional Indonesia sepanjang 60 tahun terakhir (1957-2017). Perspektif itu adalah:
• Pertama, sejarah Indonesia yang sesuai dengan cita-cita kemerdekaan dan nasionalisme.
• Ke dua, keinginan untuk mewujudkan suatu sejarah Indonesia yang ilmiah dengan masuknya pendekatan-pendekatan baru.
• Ke tiga, adanya usaha menyelenggarakan suatu program sejarah lisan.
Dinamika ini menurut sejarawan Dr. Kuntowijoyo bahwa keinginan pada adanya suatu sejarah nasionalistik merupakan pembaharuan dalam tingkat teori sejarah. Ada pun diskusi tentang sejarah ilmiah merupakan pembaharuan dalam pendekatan metodologi. Sedangkan sejarah lisan sendiri merupakan pembaharuan di bidang metode.
Sepanjang 60 tahun, historiografi nasional versi negara (Orde Lama) membangun narasi sejarah Indonesia sebagai hasil dari perbenturan antara kolonialisme dan imperialisme melawan nasionalisme Indonesia dengan Sukarno sebagai pusat. Maka versi negara Orde Baru melihat sejarah Indonesia sebagai hasil dari perjuangan antara pendukung dan penentang Pancasila dengan menempatkan militer sebagai faktor penentu. Orde Baru hanya menggantikan Sukarno dengan militer, sementara itu para penentang Pancasila telah menggantikan posisi kolonialisme dan imperialisme sebagai kambing hitam (Baca: Pandangan Dr. Bambang Purwanto. Lihat: Katharine E McGregor, ‘Ketika Sejarah Berseragam: Membongkar Ideologi Militer dalam Menyusun Sejarah Indonesia’. Yogyakarta: Syarikat, 2008).
Ciri dari historiografi nasional yang dibentuk selama masa Orde Baru adalah sentralitas negara yang diejawantahkan oleh militer. Sejarah nasional disamakan dengan sejarah militer dan produksi sejarah dikendalikan oleh negara dan militer. Sebagai contoh adalah historiografi versi militer tentang Madiun Affair (1948), DI/TII (1949-1962); PDRI (1948), PRRI dan Masjoemi (1954-1960), dan kejadian di tahun 1965 dan Supersemar (1966) mendominasi historiografi periode tersebut dan melegitimasi naiknya rezim Orde Baru (Baca: Pendapat Henk Schulte Nordholt, Kepala KITLV Leiden. Ibid).
Bagaimana posisi peran Islam dan umat Islam bangsa Indonesia dalam historiografi nasional Indonesia?
Seminar ‘Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia’ (Medan) 1963 telah mengambil kesimpulan di antaranya bahwa:
• Pertama, Islam untuk pertama kali masuk ke Indonesia pada abad 1 H (abad ke-7 M) langsung dari Arab yang dibawa oleh para pendakwah Islam yang berperan sebagai pedagang.
• Ke dua, daerah pertama yang didatanginya ialah pesisir Sumatra. Setelah terbentuk masyarakat Islam, maka raja muslim yang pertama berada di Aceh.
• Ke tiga, dalam proses pengislaman selanjutnya, orang Indonesia ikut aktif mengambil bagian dan penyiaran Islam berlangsung secara damai.
• Ke empat, Islam membawa kecerdasan dan peradaban yang tinggi dalam membentuk kepribadian bangsa Indonesia.
Kesimpulan tersebut merupakan upaya penguatan diri umat Islam secara internal.
Substansi kesimpulan hasil seminar tersebut dalam pandangan penulis perlu dikoreksi tentang penyebutan nama Indonesia, karena entitas Indonesia ini adalah fenomena abad ke-19, sehingga menjadi ahistoris ketika menyebutkan bahwa Islam masuk abad ke-1 (700-an) ke Indonesia. Hal ini sangat penting karena berbicara historiografi bersifat dinamis, kontekstual, dan ilmiah.
Orde Baru dalam Historiografi Indonesia
Orde Baru menjadi materi penting dalam kajian sejarah Indonesia kontemporer. Bukan saja karena lama waktu kekuasaan —yakni 32 tahun. Akan tetapi Orde Baru memberikan satu warisan sejarah, yang sampai sekarang masih dirasakan. Bahkan pada beberapa kasus warisannya malah diproduksi kembali pada masa reformasi —setelah Orde Baru tumbang. Meski begitu yang menjadi menarik bagi peneliti adalah bagaimana skema negara Orde Baru bekerja.
Sejarawan UGM, Farabi Fakih, dalam disertasinya menyebut Orde Baru adalah Managerial State. Suatu terminologi yang menunjukan bahwa Orde Baru bekerja layaknya korporasi.
Sebagai upaya menyediakan ruang dialektika perihal tema tersebut, Departemen Sejarah FIB UGM mengadakan kuliah umum dengan tema ‘Benevolent Bandits? Interest, Institutions, and Ideology in New Order’. Acara dilaksanakan pada Jum’at (17/2/2017) di ruang multimedia lantai II, Gedung Margono FIB UGM. Prof. David Henley dari Universitas Leiden menjadi pemateri tunggal.
Saat itu Prof. David Henley memulai presentasi dengan sebuah pertanyaan. Apakah Orde Baru bandit yang baik? Dalam risetnya, ia menggunakan perspektif politik dengan meminjam konsep stationary bandit. Secara sederhana, stationary bandit adalah elite politik (pusat) yang menggunakan kekuasaannya dengan tujuan kurang benar —yakni memperkuat jaringan dan kemudian memenuhi kepentingan pribadi— dengan cara membentuk kelompok di daerah lain suatu negara (dan pada beberapa kasus juga oligarki-keluarga).
Gadamer mengatakan, “Jangan kamu cari arti kata-kata, tapi pahami bagaimana kata-kata tersebut difungsikan.” Intinya, setiap karya sejarah, terlepas netral ataupun subjektif-ideologis, merupakan ‘kreasi zamannya’ —atau dalam istilah Benedetto Croce sebagai storia e storia contemporanea, memahami kebenaran sejarah itu sebagai reaksi zamannya.
Kita masih ingat dengan ungkapan filosof —sejarawan Italia, Benedetto Croce yang pernah mengeluarkan ungkapan terkenal ‘storia e storia contemporanea’. Artinya kira-kira, sejarah yang benar-benar sejarah adalah sejarah kekinian. Ungkapan ini bisa dipahami dalam dua perspektif:
Pertama, Croce ingin mengatakan bahwa penulisan sejarah yang baik haruslah berangkat dari kondisi atau realitas kekinian yang untuk kemudian dicari ‘akarnya’ ke dalam ‘relung panjang sejarah’ —meminjam istilah Taufik Abdullah.
• Pemahaman ke dua, Croce ingin menjelaskan posisinya dalam melihat sejarah. Baginya, sejarah tersebut sangat terikat dengan konteks masanya yang diistilahkannya sebagai contemporanea —kekinian atau kemasaan.
Kesimpulan ciri dari historiografi nasional yang dibentuk selama masa Orde Baru Suharto adalah sentralitas negara yang diejawantahkan oleh militer. Sejarah nasional disamakan dengan sejarah militer dan produksi sejarah dikendalikan oleh negara dan militer. Pada akhirnya versi militer tentang kejadian di tahun 1965 mendominasi historiografi periode tersebut dan melegitimasi naiknya rezim Orde Baru.
Jika rezim sebelumnya membangun sejarah Indonesia sebagai hasil dari perbenturan antara kolonialisme dan imperialisme melawan nasionalisme Indonesia dengan Sukarno sebagai pusat, maka Orde Baru melihat sejarah Indonesia sebagai hasil dari perjuangan antara pendukung dan penentang Pancasila dengan menempatkan militer sebagai faktor penentu. Orde Baru hanya menggantikan Sukarno dengan militer, sementara itu para penentang Pancasila khususnya komunisme dan Islam ekstremis telah menggantikan posisi kolonialisme dan imperialisme sebagai kambing hitam. []
Sumber: Nunu A Hamijaya