HTI Ingin Indonesia Lebih Baik
HTI Ingin Indonesia Lebih Baik
MUSTANIR.COM – Indonesia adalah negeri dengan julukan gemah rimpah lok jinawe. Julukan ini bukanlah tanpa alasan. Sebab pada faktanya negeri ini berada dalam garis equator atau khatulistiwa. Sehingga Indonesia mendapat anugerah dengan berbagai macam kekayaan alam, flora, fauna serta dengan tanah yang subur. Namun apa daya ketika kekayaan yang dimiliki nyatanya belum mampu memberikan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya.
Begitulah Indonesia, negeri dengan seribu cerita ini masih menyimpan banyak masalah. Dan tidak hanya dalam masalah kesejahteraan, lebih dari itu jika dilihat Indonesia mempunyai banyak masalah dalam segala aspek kehidupan.
Moralitas
Dalam persoalan moral bangsa, khususnya anak-anak muda sepertinya sedang terjadi krisis begitu rupa. Kerusakan moral sudah menjadi tontonan setiap hari secara langsung di tengah masyarakat maupun dalam pemberitaaan. Pergaulan bebas, premanisme, geng-geng motor pengganggu, narkoba, aborsi, perilaku tidak sopan kepada orang lain, kriminalitas dan sebagainya. Dan ini menjadi pertanda akan mengkisnya nilai moralitas di tengah-tengah masyarakat.
Politik Pemerintahan
Dalam ruang politik di negeri ini, sistem pemerintahan seakan berjalan bukan untuk kepentingan, keadilan, kemakmuran, kesejahteraan dan kemandirian rakyatnya. Rezim berjalan untuk kepentingan asing, aseng maupun asong. Dalih-dalih berkedok hukum digunakan dalam rangka mempelancar proyek-proyek penyokong rezim. Kepentingan menjadi poros dalam roda pemerintahan. Saat kepentingan mereka harus mengorbankan rakyat, tanpa ragu itulah yang dilakukan dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan.
Politik berjalan dengan prinsip mencari kesempatan agar meraih keuntungan besar demi kepentingan pihaknya. Inilah politik oportunistik dan pragmatis yang sedang terjadi di negeri ini. Asal sama dalam kepentingan demi keuntungan, pihak-pihak yang dulu “perang” bisa lengket seakan tidak bisa terpisah. Juga sebaliknya, ketika saatnya berbeda kepentingan, komitmen politik yang dibangun bersama, bisa pecah dan menjadi seakan “musuh” dalam politik.
Saat menjadi oposisi, terlihat begitu sedihnya dengan tangisan air mata menuntut keadilan atas nama rakyat. Demontrasi terjadi di berbagai daerah demi membela kepentingan rakyat. “Kami menolak kenaikan BBM”, “Kami menolak kenaikan Tarif Dasar Listrik”, “Kami menolak ini, itu dan lainnya” begitulah yang terucap saat bukan menjadi penguasa. Namun, tatkala kekuasaan berhasil didapat, mereka seakan lupa dengan janji-janji kampanye, lupa dengan tangisan air mata dan lupa dengan demo-demo yang pernah dilakukan. Karena justru mereka lah saat berkuasa yang menaikan BBM dan berbagai kebijakan yang tidak pro dengan kepentingan rakyat. Begitulah politik saat ini, yakni bukan apa yang terlihat dalam media, serta bukan apa yang tertulis dalam secarik kertas. Namun politik adalah apa yang ada di balik itu semua.
Rasanya begitu kompleks masalah terjadi di negeri ini, sudahlah perilaku para pemangku kekuasaan tidak menunjukkan sikap negarawan sejati. Ditambah dengan sistem politik yang berlaku saat ini adalah demokrasi–liberal. Hasilnya bisa dilihat dari kombinasi politikus dan sistem politik yang berdasar kepentingan dan kebebasan ini, akan muncul kebijakan-kebijakan yang merusak seperti legalisasi miras, prostitusi dan lainnya. Semua muncul, sejatinya atas peran serta sistem politiknya, yakni demokrasi, selain dari pada perilaku orang di dalamnya.
Ekonomi
Dalam ruang ekonomi, saat ini negeri ini berkiblat pada neo-imperialisme dan neo-liberalisme dalam bingkai ideologi kapitalisme. Negeri ini sekarang berada dalam cengkeraman neo-liberalisme dan neo-imperialisme, yang menjadi penyebab terpuruknya perekonomian. Neo-liberialisme dengan gagasan dasar agar negara tidak mempunyai peran dalam mengatur masyarakat. Ekonomi diserahkan kepada mekanisme pasar bebas, negara hanyalah regulator, dan kedepannya mengarah kepada corporate state. Karena pada ujungnya pemenangnya adalah para pengusaha dengan adanya regulasi dari negara. Regulasi tersebut berupa undang-undang liberal yang tidak pro rakyat. Inilah kombinasi antara pengusaha dengan para politikus, dan kadang dibantu oleh pihak asing, aseng maupun asong.
Terbukti dengan adanya catatan pengamat Universitas Airlangga Surabaya Bambang Budiono MS, M. Sosio yang mengatakan 72 undang-undang di Indonesia diintervensi asing. Contohnya World Bank pada UU BOS, UU PNPM; IMF pada UU BUMN (No 19/2003), UU PMA (No 25/2007) dan USAID pada UU Migas (No 22/2001).
Kemudian neo-imperialisme atau penjajahan gaya baru, yang berbeda dengan dulu. Ketika dulu menjajah dengan penjahan fisik, serta rakyat sadar secara langsung jika dijajah. Maka neo-imperialisme saat ini sesungguhnya lebih berbahaya, karena banyak masyarakat yang belum sadar jika dijajah. Substansinya juga sama, jika dulu mengambil rempah-rempah (penguasaan sumber ekonomi/gold), menancapkan kekuasaaan (glory), penyebaran ajaran tertentu (gospel). Sedangkan sekarang juga terjadi eksploitasi kekayaan alam, menancapkan demokrasi, liberalisme, kapitalisme dan lainnya yang nyatanya menyesatkan dan menyengsarakan rakyat.
Dampaknya bisa terlihat, rupiah yang melemah, defisit luar biasa dalam neraca transaksi berjalan, kekayaan alam dirampok, utang menumpuk, daya beli rendah, PHK dan lain-lain. Ditambah dengan solusi hanya berkemungkinan menarik sebanyak-banyak investor, atau utang luar negeri. Wajar jika ada kemungkinan pajak akan kian bertambah, seiring dengan kondisi ekonomi yang kian menurun. Maka, alih-alih pemerintah menawarkan kebijakan sebagai stimulus ekonomi guna perbaikan ekonomi, justru hasilnya akan sama saja, dan bahkan kian parah, jika neo-liberalisme dan neo-imperialisme tetap bercokol di negeri ini.
Hukum
Dalam ranah hukum di negeri ini, orang akan mengatakan hukum seperti pisau, tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Ketika banyak orang mengatakan demikian, itu semua bukan berdasar asumsi belaka. Namun karena apa yang mereka rasakan dalam penegakkan hukum di negeri ini. Ketika orang-orang kecil dengan kesalahan karena keterpaksaan tuntutan ekonomi, atau bahkan karena ketidaktahuan. Dan kemudian dilaporkan sebagai pencuri, serta tidak peduli jika pelakunya adalah seorang nenek-nenek tua, segera hukum akan menindaknya. Bukan membenarkan tindakan pidana. Namun apakah tidak melihat aspek lainnya, sehingga keadilan benar-benar bisa dirasakan di negeri yang berdasar hukum ini.
Sosial Kemasyarakatan dan Pendidikan
Dalam persoalan sosial kemasyarakatan akan ditemukan bertumpuk masalah-masalah di dalamnya. Kerusakan moral, hilangnya budaya malu sehingga bebas berbuat semaunya, seks bebas, narkoba, premanisme, kriminalitas, pertikaian, perkelahian, hubungan sosial memburuk, terkikisnya kerukunan dalam bertetangga dan bermasyarakat. Dan berbagai jenis macam penyakit-penyakit sosial di tengah masyarakat yang jika disebutkan akan membuat hati teriris dan menangis. Hati seakan tersayat dengan problem-problem sosial yang kian mendera.
Di tengah-tengah masyarakat berkembang pesat apa yang disebut hedonisme, permisivme, dan liberalisme. Hedonisme adalah faham yang menjadikan kesenangan dan kebahagiaan dunia sebagiai tujuan utama. Sehinga apapun yang dilakukan semua ditujukan untuk meraih kesenangan dan kebahagiaan dunia. Dan permisivme adalah faham yang berpendapat bahwa bolehnya berbuat segala sesuatu. Sehingga batasan-batasan norma, etika dan agama tidak dipedulikan. Sedangkan liberalisme adalah kebebasan tiada batas yang jelas. Maka, manusia mempunyai kebebasan dalam berbuat dan batasannya adalah subjektifitas dari pelakunya. Jika semua itu menjangkiti kehidupan sosial dan kemasyarakatan, maka bisa ditebak apa yang akan terjadi. Kondisi kian memburuk
Persoalan-persoalan dalam masalah sosial dan kemasyarakatan sedikit banyak berhubungan dengan pola pendidikan yang ada. Baik pendidikan keluarga maupun pendidikan formal. Dan menjadi masalah adalah ketika dalam keluarga hanya mengandalkan pendidikan formal. Sedangkan pendidikan formal seringkali di dalamnya, hanya ditanam kepada peserta didiknya berkutat pada arus materialistik belaka. Maksudnya, orientasi pendidikan adalah untuk mengejar dan mencari materi sebagai prioritas utama. Lulus dari pendidikan yang difikirkan bukanlah perannya di masyarakat seperti apa.
Sehingga ketika pendidikan keluarga cenderung acuh, pendidikan formal berorientasi materi dan lingkungan masyarakat berbau hedonis, permisif dan liberalis. Bisa dipastikan sendi-sendi kehidupan masyarakat akan jauh dari kata baik.
HTI Memberikan Solusi
Dengan banyaknya masalah yang mendera di negeri Indonesia, di sinilah kemudian saya melihat Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menawarkan solusi. HTI ingin agar masalah-masalah di negeri ini khususnya bisa terselesaikan. Saya melihat HTI hadir dengan gagasan yang jernih sebagai penyelesaian atas segenap problem di Indonesia.
HTI tidak pernah berhenti menyuarakan gagasan-gagasan dalam setiap kegiatannya. HTI berusaha membangun kesadaran dan memberikan edukasi kepada masyarakat bahwa semua masalah di dalam negeri ini bisa untuk diselesaikan.
Di situlah HTI menawarkan Islam sebagai solusi. Islam adalah agama sekaligus ideologi dimana di dalamnya terdapat seperangkat aturan sempurna yang mampu menjawab segala persoalan manusia. Dalam persoalan ekonomi, Islam memiliki Sistem Ekonomi Islam yang jelas sangat berbeda dengan Kapitalisme ataupun Sosialisme. Dalam urusan politik pemerintahan, sosial kemasyarakatan, hukum dan seluruh bidang lainnya, Islam mempunyai aturan-aturan paripurna.
Oleh karena itu, saya melihat ketika HTI mengajak masyarakat untuk menerapkan Islam secara menyeluruh dalam kehidupan individu, keluarga, masyarakat serta negara adalah semata untuk menyelesaikan segala masalah di Indonesia. Karena HTI ingin Indonesia lebih baik dan mulia dengan Islam. []
Oleh : Lutfi Sarif Hidayat, SEI
Pemerhati Ekonomi Politik