
Ijtima’ Ulama Dan Masa Depan Politik Islam Di Indonesia
Ijtima’ Ulama II. foto: rol
MUSTANIR.COM – Ijtima’ Ulama II yang dilaksanakan di Hotel Grand Cempaka, Jakarta (16/9/2018) menjadi penanda sekaligus mempertegas era politik baru di negeri ini. Sebelumnya, kutub politik dan arah preferensi politik publik ada dalam kemudi partai. Pasca gelaran aksi Bela Islam 212, ada corak politik baru yang terjadi di negeri ini.
Pertama, ada kendali politik yang bermigrasi dari politik kepartaian menjadi politik keormasan. Partai memang masih memiliki kendali otoritatif untuk menentukan calon, tetapi arah pilihan publik khususnya preferensi politik umat Islam sangat dipengaruhi agitasi politik ormas dan lembaga non parpol.
Realitas politik ini meniscayakan partai untuk menjalin hubungan baik dengan ormas jika ingin menang dalam suksesi politik, baik Pilkada, pemilu kegislatif dan Pilpres. Salah mengambil pilihan politik, alih-alih mendapat dukungan politik, partai justru bisa celaka karena akan mendapat sanksi politik dari ormas yang secara karakter dan kultur, lebih dekat dan membaur dengan umat.
Menjalin hubungan baik dengan ormas ini tidak saja dilakukan oleh kubu Prabowo, dimana Prabowo lebih memilih pilihan bersahabat dengan ormas yang kontra rezim. Jokowi, juga melakukan hal yang sama. Karenanya, Pilpres kali ini bukan saja pertarungan partai, tetapi juga pertarungan ormas.
Melalui sejarah Pilkada DKI Jakarta, dikuatkan dengan aksi bela Islam 212, tipologi partai terbelah menjadi partai pro penista agama dan partai anti penista agama. Karakteristik partai pendukung rezim, pasca dukungan terhadap ahok di Pilkada DKI Jakarta, diklasifikasikan sebagai partai pro penista agama. Sementara partai yang menjadi rival ahok, yang mengusung calon penantang ahok, dianggap sebagai partai kontra penista agama.
Dikotomi partai ini juga merembet pada pembelahan ormas, akibat pilihan dukungan politiknya. Ormas yang mendukung partai penista agama dianggap inklud sebagai ormas pro penista agama. Sedangkan ormas yang kontra penista agama, tidak akan berhimpun dengan rezim dan partai yang Pro pada penista agama.
Polaritas politik keormasan juga akan semakin terbuka dan terlihat kontras. Sebab, ormas yang dahulu memilih pilihan untuk netral dalam politik, saat ini diketahui justru aktif melakukan manuver politik, bahkan dianggap sampai masuk mengintervensi nama-nama tertentu dalam pencalonan wakil Presiden. Dalam konteks itulah, kendali politik untuk mengarahkan preferensi politik umat akan banyak ditentukan dan berada dibawah kendali ormas.
Kedua, diskursus Islam, syariat dan para pengembannya, akan semakin mengental dan mewarnai dinamika politik khususnya dalam Pilpres 2019. Forum ijtima ulama, adalah salah satu parameternya. Forum ijtima’ jelas dibuat karena dilatarbelakangi kerisauan kalangan ulama atas kondisi kepemimpinan nasional.
Dalam pertimbangannya, ijtima ulama banyak mempertimbangkan nas dan koridor syara’ dalam mengambil keputusan dan penetapan hasil ijtima’. Tentu, dinamika ini mewakili suasana kebatinan ulama yang dekat dan cinta terhadap ajaran dan syariat Islam. Ijtima’ dibuat dan dilakukan tidak lepas dari semangat dan kesadaran Islam.
Diskursus Islam ini akan mempengaruhi corak kampanye, pilihan pola pengambilan dukungan, bahkan model pertarungan opini di sosial media. Diskursus ajaran Islam khilafah misalnya, akan menjadi bahasan yang bisa berakibat dukungan sekaligus penolakan publik.
Bagi partai dan ormas pro penista agama, khilafah akan dijadikan model kampanye negatif untuk meraih dukungan. Khilafah, akan digambarkan sebagai momok, penyakit, yang harus dibumi hanguskan. Partai dan ormas pro penista agama, akan mengklaim diri sebagai penjaga kesatuan bangsa dengan terus menebar teror dan tuduhan terhadap khilafah.
Sebaliknya, partai dan ormas kontra penista agama akan mengambil pilihan membela khilafah sebagai ajaran Islam, atau setidaknya mengambil pilihan mendiamkan. Sebab, jika partai berani lancang menyudutkan ajaran Islam khilafah, pastilah partai akan dianggap pro pada penista agama, dan ini akan berakibat tergerusnya elektabilitas.
Khilafah adalah ajaran Islam, menentang khilafah tentu saja akan berakibat pada penentangan umat Islam yang tidak Ridlo ajaran agama Islam dilecehkan. Apalagi, aktivis Islam yang telah paham dan memperjuangkan khilafah, tentu akan membuat agitasi masif untuk mengajak umat yang terbiasa berkhalwat, bercengkrama, berbaur dengan para aktivis Islam ini, untuk tidak memilih partai atau pasangan capres yang menentang ide khilafah.
Ketiga, adanya proses peleburan alamiah antara Islam politik intra parlemen dan ekstra parlemen. Harus disadari, tidak mudah untuk menyatukan visi Islam politik, meski dikalangan aktivis pergerakan Islam. Perbedaan pandangan dalam hal rincian dan teknis perjuangan, kadangkala menjadi hambatan psikologis untuk membangun sinergi.
Ijtima ulama ini menjadi pelopor pembagian fungsi politik secara terbatas. Meskipun secara keseluruhannya, keseluruhan aktivitas politik dapat dijalankan baik oleh partai maupun ormas. Hanya saja, pasca forum ijtima ini realitasnya menunjukan dua hal. Pertama, partai memiliki otoritas penuh menentukan calon, meskipun ormas dapat mengajukan syarat sebagai sebuah rekomendasi. Kedua, ormas yang memiliki peran otoritatif dalam mengarahkan preferensi politik publik, khususnya umat Islam, meskipun partai juga mampu melakukan hal yang sama.
Dalam konteks pergerakan Islam, nantinya akan terbangun kesadaran kolektif bahwa umat Islam wajib bersatu, baik didalam maupun diluar parlemen. Yang wajib dijadikan sarana menyatukan adalah Islam itu sendiri, bukan kepentingan politik.
Interaksi yang masif akan meleburkan seluruh visi pergerakan Islam pada satu visi besar melanjutkan kehidupan Islam dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah. Interaksi yang intens dan alamiah ini akan memahamkan masing-masing elemen pergerakan, dan akhirnya akan mengerucut pada satu visi dan mekanisme yang paling rajih -berdasarkan tinjauan dalil- untuk selanjutnya akan dijadikan visi bersama dan dijadikan agenda dengan menjalankan misi kolektif yang sinergis.
Akhirnya, untuk menyatakan ijtima’ ulama sebagai tonggak kebangkitan Islam politik memang masih jauh. Tetapi, forum ini dapat menjadi pemicu interaksi yang masif antar partai, ormas, pergerakan Islam intra maupun ekstra parlemen, untuk membangun sinergi dalam rangka merealisasi visi politik 2019, dan visi politik yang sesungguhnya, yakni demi tegaknya syariat Islam di bumi Allah.
Wallahua’lam [].
Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.