Imam Aḥmad bin Ḥanbal dan Standarisasi Majelis Ulama di Zamannya
MUSTANIR.net – Saudaraku, seandainya saja Imam Aḥmad bin Ḥanbal (w. 241 H) mau mengikuti standarisasi majelis ulama di zamannya, yang mayoritas berpaham jahmiyah Mu’tazilah, tentu beliau tidak akan mengalami persekusi, dipenjara, dan menjalani siksaan pedih yang sangat menyakitkan.
Atau seandainya saja Imam Aḥmad mau mencontoh Abdulloh bin Said bin Kullab yang hidup sezaman dengannya, yang memiliki tulang lunak dengan konsep tawashuth versinya yang menjadikannya bisa bermain di dua kaki.
Berasaskan madzhab jahmiyah Mu’tazilah, namun bisa tampak menyerupai ahlus Sunnah dengan mengusung teori kalam nafsinya, yang di permukaan mengatakan bahwa al-Qur’an adalah kalamulloh bukan makhluk akan tetapi sejatinya tetaplah memakhlukkan al-Qur’an juga, yaitu dengan mengeluarkan suara dan huruf dari cakupan kalam. Sehingga redaksi al-Qur’an dengan bahasa Arab yang kita baca, dengarkan, dan hafalkan itu disebut makhluk karena dianggap hudust dan berasal dari makhluk sebagai representasi kalam nafsi yang tanpa huruf dan suara.
Maka niscaya beliau akan aman, karena pada akhirnya masihlah tetap memakhlukkan al-Qur’an jug sama dengan keyakinan yang dianut oleh mayoritas ulama kala itu.
Ya, memang perilaku bermain di dua kaki ini terlihat sangat menjijikkan karena tampak seperti manhaj banci yang melambai-lambai ke kanan dan ke kiri, tapi yang penting bisa hidup enak, aman, dan nyaman untuk berkembang biak.
Atau seaindainya saja beliau cukup diam sajalah, tak usahlah berbicara menyampaikan kebenaran, meski beliau tidak sejalan dengan pendapat-pendapat dan keyakinan menyimpang mayoritas ulama kala itu. Tapi cobalah untuk bertoleransi dengan segala perbedaan yang ada. Jangan berbicara dan mendakwahkan aqidah ahlus Sunnah yang haq. Jangan juga membantah dan mengingkari mereka apalagi sampai mengkafirkan mereka yang mengatakan bahwasanya al-Qur’an adalah makhluk.
Kalaupun mau berbicara, maka bicara tentang hal lainnya saja yang sekiranya tidak menimbulkan kontra dan pertentangan dari mayoritas ulama kala itu. Maka niscaya beliau akan aman dari persekusi. Bahkan dengan kapasitas dan keluasan keilmuan beliau, tentu beliau akan bisa menikmati hidup enak, aman, nyaman bergelimang harta, dan kesenangan dunia.
Namun tentu saja Imam Aḥmad tidak akan melakukan itu semua. Beliau tahu tidak akan mungkin bersatu antara yang haq dan yang bathil. Maka dengan tegas dan teguh, beliau mengatakan dan mempertahankan aqidah ahlus Sunnah yang haq, yang berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman salaful ummah. Meski beliau tahu hal itu akan sangat pahit bagi beliau, sudah menjadi sunnatulloh akan selalu ada yang menentang kebenaran.
Maka akhirnya beliau pun dimusuhi dan dipersekusi dengan keji, lalu dipenjara dan disiksa dengan siksaan yang sangat menyakitkan. Tentunya tujuan Imam Aḥmad dipersekusi, dipenjara, dan disiksa itu adalah agar Imam Aḥmad menyerah dan menarik ucapan dan keyakinannya serta mengakui aqidah menyimpang mereka itu.
Barangkali ada yang berkata seperti ini kepada Imam Aḥmad, “Makanya jangan sombong dan keras kepala, wahai Aḥmad. Kita lihat sampai mana kamu akan bertahan. Kamu pasti akan segera menyerah dan akan segera pudar dan membusuk.” Barangkali ada juga yang berkata seperti ini, “Makanya berdakwah itu yang bijak, wahai Aḥmad. Pahami medan dakwah. Jangan seenak perutmu sendiri saja. Toleransilah dengan pendapat-pendapat yang lainnya juga. Memangnya negara ini punya bapak kamu apa?”
Mereka itu ibarat sekelompok lalat yang menempel di tubuh anjing. Tentu saja sang anjing tidak akan merasa terancam dengan keberadaan mereka hanya lalat-lalat kecil yang sok merasa hebat dan merasa suci, merasa paling bijak dan benar. Di antara lalat-lalat tersebut pastinya ada juga lalat betina.
Lain halnya dengan Imam Ahmad yang ibarat seperti singa. Tentu saja si anjing akan merasa terancam dengan keberadaanya. Makanya dengan segala cara berusaha untuk menghilangkan ancaman tersebut.
Dan apakah tubuh Imam Aḥmad terbuat dari baja, ataukah beliau memiliki ilmu kebal sehingga sanggup bertahan dari siksaan-siksaan yang diterimanya? Tentu saja tidak. Beliau sangatlah kesakitan. Kala itu tubuh beliau yang sudah renta termakan oleh usia yang itu semakin menambah berkali lipat rasa sakit yang beliau derita. Hanyalah keimanan beliau yang kuat saja, sehingga beliau mampu untuk bertahan
Ada seseorang yang beliau temui di penjara yang bahkan beliau tidak sempat melihat wajahnya karena dalam penjara tersebut gelap gulita, namanya Abul Haitsam. Dia bukan seorang alim ataupun ulama, melainkan seorang perampok dan penjahat. Namun kata-katanya membuat Imam Aḥmad termotivasi untuk menjadi lebih kuat dan mampu untuk lebih bertahan lagi.
Dirinya menceritakan kepada Imam Aḥmad bahwa dirinya masih bisa bertahan meski sudah lebih dari ribuan kali dicambuk dan disiksa atas kejahatan-kejahatan yang dilakukannya. Sedangkan dirinya itu di jalan syaiton. Lalu dia berkata kepada Imam Aḥmad, “Maka bersabarlah engkau, wahai Aḥmad. Karena engkau di jalan Allah.”
Maka setiap kali cambukan menerpa tubuh Imam Aḥmad, beliau selalu teringat ucapan Abul Haitsam tersebut, sehingga itu menjadikan beliau semakin semangat untuk bertahan. Maka setelah Imam Aḥmad dibebaskan dari penjara, beliau selalu berdoa memintakan rahmat dan ampunan dari Allah atas Abul Haitsam. Kisah lengkapnya bisa Anda baca di Manaqib Imam Ahmad karya Ibnu Jauzi.
Lalu, apakah setelah semua itu kemudian Imam Aḥmad menjadi pudar dan dakwahnya pun membusuk? Tentu saja tidak. Justru nama beliau semakin harum mewangi dikenal sebagai imam agung yang mulia, yang menjadi panutan umat, yang senantiasa dikenal dalam sejarah dari masa ke masa.
Sedangkan orang-orang yang mencela, nyinyir, memfitnah, memusuhi, dan mmpersekusi beliau, hilang punah tak dikenal dalam sejarah. Ataupun jika dikenal, maka dikenal akan kejahatan, kesesatan, dan kezindikannya.
Bahkan sampai saat ini sekte Kullabiyah yang kemudian berganti nama menjadi Asy’ariyah dengan mencatut nama Imam Abu Hasan al-Asy’ari, tidak ada satu pun dari mereka yang berani mencela Imam Aḥmad secara terang-terangan. Meski Imam Aḥmad sangat memusuhi dengan keras oleh nenek moyang mereka, yaitu Abdulloh bin Said bin Kullab atau yang disebut Ibnu Kullab. Karena hal itu akan menampakkam kesesatan dan kezindikan mereka. []
Sumbet: Adimas Raden al-Asy’ari
NB: Semoga kita semua bisa mengambil ibroh dari sepenggal kisah Imam Aḥmad tersebut. Semoga kita semakin bisa istiqomah di atas al-haq tanpa takut dengan apa pun dan menjadi bagian dari thaifah al-mansuroh. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa kita dan menerima amal ibadah kita semua. Aamiin… Barokallohu fiikum.