Indonesia Negeri Prostitusi?
Indonesia Negeri Prostitusi?
Oleh Abu Fikri
Dipicu oleh tewasnya seorang pelaku prostitusi online bernama Tata Chuby yang dibunuh pelanggannya pada bulan Maret lalu terungkaplah bisnis prostitusi online kelas elit yang melibatkan para artis dan model. Tidak tanggung, prostitusi ini memasang tarif Rp 80-200 juta untuk setiap kali kencan. Muncul berbagai inisial nama-nama artis yang diduga terlibat dan dikenal sebagai publik figur oleh media. Melibatkan juga sebagian kalangan pejabat, anggota DPR maupun DPRD. Fenomena ini sebetulnya sudah lama terdengar namun tiba-tiba meledak setelah kasus pembunuhan itu. Sebuah fenomena yang sebagian kalangan menyebut sebagai pengalihan isu pelemahan KPK. Tak ayal Jokowi diminta tegas tangani masalah ini.
Secara global maka diiperkirakan saat ini terdapat 40 juta pelacur di dunia. Diprediksi pelacuran itu tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa saja, namun juga melibatkan 10 juta pelacur anak. Dari sekian banyak jumlah itu, sebanyak 2,5 juta orang adalah korban perdagangan manusia. Pelacuran dianggap legal di 109 negara. Sementara di 11 negara prostitusi sangat dibatasi dan 5 negara tidak jelas karena tidak ada ketetapan hukumnya. Dan di 77 negara, pelacuran dianggap legal. (Liputan 6, By Karmin Winarta on 11 Mei 2015 at 10:47 WIB)
Di Indonesia, sebuah riset tahun 2012 yang dilakukan oleh aktivis peduli AIDS pernah merilis ada kurang lebih 214 ribu pelacur berbagai daerah di Indonesia. Riset itu juga menyebut ada sekitar 3 juta yang mengunjungi sejumlah pelacur tersebut (Tempo.co.id, Senin, 23 Juli 2012 | 03:23 WIB). Ini baru temuan untuk fenomena pelacur konvensional dan kita tidak bisa prediksikan lagi berapa akumulasi pertambahannya hingga saat ini. Di sisi lain dalam kerangka penegakkan hukum, sebagaimana disampaikan oleh Kasubdit Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Metro Jaya AKBP Hilarius Duha mengatakan, fenomena bisnis prostitusi online semakin menjamur, bahkan bisnis jenis ini tidak memiliki konstruksi hukum yang kuat. “Konstruksi hukumnya tidak ada. Apa yang dilakukan para penjaja seks online ini tidak diatur dalam undang-undang kita, baik dalam KUHP maupun UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik),” kata Hilarius, di Jakarta, Jumat 17 April 2015. Hilarius menjelaskan, dengan tidak adanya konstruksi hukum tersebut maka para penyedia jasa prostitusi online tersebut tak bisa terkena dengan jerat hukum. Namun dia menjelaskan akan berbeda jika prostitusi online tersebut terdapat mami atau germo. “Soal Itu (mucikari atau germo) ada undang-undangnya,” tegas Hilarius. Selain itu, penyedia jasa prostitusi online dapat dikenakan sanksi hukum jika ada salah satu pihak yang menggunakan jasa PSK yang sudah berkeluarga. Misal sang istri melaporkan PSK tersebut karena suaminya bermain ‘serong’ “Untuk hal ini Masuknya ke dalam perzinahan atau kumpul kebo,” jelas Hilarius. (Indopos.co.id, Jumat, 17 April 2015 – 18:52)
Penggalan statement yang disampaikan oleh salah satu penegak hukum di salah satu media online tersebut sudah cukup memberi gambaran bagaimana wajah sebenarnya fenomena sistemik prostitusi di negeri mayoritas muslim ini. Yang mengagung-agungkan pilar negara di antaranya Pancasila memuat sila Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebuah kandungan arti sila yang memerintahkan kita semua hanya mengakui dan tunduk pada Tuhan Yang Maha Esa -Allah Rabbul Izzati-. Di negeri yang terdapat banyak ulama dari berbagai ormas islam termasuk ormas islam besar di negeri ini. Di negara yang memilih Demokrasi sebagai pilihan sistem kenegaraan dan politiknya dimana terhimpun partai-partai islam yang menaungi putra-putra terbaik bangsa para politisi islam. Di negeri yang mengaku dan diapresiasi sebagai negeri muslim terbesar paling toleran dan moderat oleh negara lain khususnya Amerika Serikat.
Penggalan statement oleh Kasubdit Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Metro Jaya AKBP Hilarius Duha mengisyaratkan beberapa hal penting antara lain :
1) Dengan tidak adanya konstruksi hukum untuk menjerat tindak prostitusi online maka dengan kata lain artinya negara telah melakukan sebuah proses pembiaran sistemik. “Hukum adalah panglima” hanyalah jargon kosong karena keberadaannya hanya bersifat responsif jika dibutuhkan. Bukan hukum yang bisa menjangkau dan menyelesaikan persoalan yang telah, sedang dan akan terjadi. Dengan kondisi seperti itu maka keberadaan hukum sebagai solusi tidak akan mungkin menjangkau akselerasi persoalan hukum yang berkembang. Hal itu karena nisbi atau relatifnya hukum buatan manusia. Yang terbatas sebagaimana keterbatasan jangkauan akal manusia itu sendiri.
2) Tidak adanya konstruksi hukum atas prostitusi online maka itu sejalan secara linear dengan liberalisasi budaya, agama, ekonomi, hukum dan politik melalui pintu legislasi pula. Sehingga semakin melengkapi dan mengokohkan keberadaannya. Bak jamur yang tumbuh di musim hujan. Sebagai hasil panen dari persemaian liberalisasi yang telah ditanamkan di kebun negara Indonesia buah karya dari semua pihak khususnya para penyelenggara negara dan penegak hukum. Yang telah meletakkan pilar-pilar kokoh penyelenggaraan negara dan penegakkan hukum berdasarkan hukum buatan manusia. Ingat ! Bahwa tidak ada satupun persoalan di negeri yang kaya dengan kemaksiatan ini berdiri sendiri melainkan ditopang oleh persoalan yang lain. Maraknya prostitusi online sebagaimana digambarkan oleh KH Din Syamsudin tokoh Muhammadiyah, ibarat “Gunung Es”. Keberadaannya cukup menggambarkan begitu sistemiknya problem ini. Sebuah problem sistemik yang muncul dari kerangka legislasi baik KUHP dan UU ITE yang tidak mengaturnya. Dan menggunungnya pelacuran dunia karena dianggap sebagai sebuah industri yang mendatangkan profit besar. Seperti Jepang diantara 10 negara yang melegalkan seks dengan keuntungan industri seksnya sekitar 24 juta dollar Amerika setiap tahun. 10 negara itu antara lain Kanada, Swedia, Israel, Brasil, Jepang, Republik Dominika, Belanda, Irlandia, Nevada, dan Selandia Baru.
3) Meski kegelisahan dan kekhawatiran muncul terhadap prostitusi online dari berbagai unsur mulai dari MUI, Muhammadiyah, NU, Wagub, Bupati, Wawali, IKADI (Ikatan Da’i Indonesia), HTI termasuk FPI yang selama ini getol dengan dakwah nahi munkarnya dan pihak-pihak lain, namun keberadaannya disejajarkan dengan yang memandang persoalan prostitusi sebagai hak konstitusional warga negara. Sejalan dengan pandangan yang disampaikan oleh Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta. Kepala daerah pusat dan jantung negeri mayoritas muslim ini. Artinya Demokrasi telah menjadi infrastuktur kebebasan perbedaan pandangan berkaitan dengan persoalan masyarakat termasuk prostitusi online. Dan mindset bahwa prostitusi online lahir dari kebutuhan, inilah yang menjadi landasan kenapa keberadaannya sulit dihilangkan. Demokrasi telah meletakkan konstruksi pertarungan antara yang pro dan kontra berada dalam kondisi fifty-fifty. Kekecewaan MUI atas penetapan AA hanya sebagai saksi telah menunjukkan bahwa penyikapan yang dilakukan oleh ormas-ormas islam maupun institusi-institusi negara urusan agama hanya sebatas menyampaikan himbauan moral. Tidak lebih dari itu. Apalagi kalau bicara dalam domain kewenangan penegakkan hukum. Itu wilayah kewenangan lembaga penegak hukum. Dan sebagaimana kita semua tahu bahwa konsentrasi persoalan hukum tidak saja beredar pada masyarakat an sich. Melainkan konsentrasi persoalan hukum cukup masif beredar pula pada lembaga penegak hukum. Kisruh antara Polri dan KPK adalah contoh di antara contoh lain yang menunjukkan begitu mengguritanya persoalan hukum di negeri ini khususnya kalangan penyelenggara negara dan penegak hukum.
4) Berkaitan dengan point 2) tentang liberalisasi sosial dan budaya adalah kran keterbukaan informasi sebagai konsekuensi teknologi komunikasi informasi digital yang berkembang. Baik melalui media cetak dan elektronik. Meski terdapat kode etik jurnalistik dan pedoman perilaku penyiaran. Tetapi itu hanya menjadi jerat moral yang tidak memiliki implikasi hukum yang kuat. Karena semuanya bisa diselesaikan dengan hak jawab dan permintaan maaf melalui press conference. Seperti teguran KPI kepada Trans TV karena tiga artis membahas prostitusi online. Hanya sebatas teguran saja. Dengan kata lain, semuanya diberikan kebebasan dan bahkan mendapatkan kesempatan menjadi model public figure. Fenomena kontes Miss World, Waria, Lady Gaga, RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender yang terus dikawal, Emansipasi Wanita, Seks Ariel Peterpan walau dipenjara tetapi tetap mendapatkan ruang terbuka di masyarakat dan beragam bentuk liberalisasi sosial budaya yang dilegitimasi oleh undang-undang lainnya adalah lingkungan yang melingkupi secara langsung tidak langsung mendorong maraknya prostitusi online. Apalagi liberalisasi sosial dan budaya telah meletakkan pondasi bagi para pelaku prostitusi online sebagai public figure baru bagi generasi muda yang berjuang mencapai sukses melakukan mobilisasi vertikal untuk meningkatkan status sosial dengan ukuran kedudukan dan harta. Terbongkarnya kasus prostitusi online di berbagai daerah Jakarta, Surabaya, Palembang, Bali, Sulawesi Selatan (Mamuju), NTB dan tempat lain cukup menggambarkan fenomena ini. Di antaranya seorang PSK asal Inggris yang memakai aplikasi Tinder berhasil meraup keuntungan sejumlah Rp 241 juta dalam kurun waktu 5 tahun.
5) Fenomena prostitusi online di tengah konstruksi hukum yang belum ada jeratnya adalah bentuk alternatif lain dari penutupan lokalisasi prostitusi yang marak dilakukan di berbagai tempat. Pemandangan yang cukup ironis meski Bareskrim punya alat deteksi prostitusi online dan Kemenkominfo blokir situsnya. Sebut saja penutupan pusat prostitusi terbesar Asia Tenggara di kawasan Dolly, Surabaya, Jawa Timur. Tidak membuat bisnis ini redup. Ini adalah sebuah fenomena gaya hidup liberalis dari perkembangan dunia yang terbuka khususnya Indonesia yang menggunakan prinsip politik luar negeri bebas aktif. Diperkuat juga oleh sebagian dari kalangan jaringan orang liberal yang getol mempropagandakan liberalisme. Bahkan berpendapat bahwa prostitusi sebagai sebuah keniscayaaan yang selalu hadir sepanjang perjalanan sejarah manusia. Itu semua adalah kerangka konfigurasi kekuatan yang langsung atau tidak langsung memperkokoh bangunan prostitusi online semakin kuat. Apalagi advokasi terhadap PSK (Pekerja Seks Komersial) selama ini lebih menitik beratkan pada aspek rehabilitasi sosial maupun psikologi personal. Bukan dengan mencoba mengkritisi kerangka sistem sosial dan sistem hukum yang berkontribusi besar pada kerusakan sendi-sendi kehidupan sosial kemasyarakatan. Terutama carut marutnya pergaulan pria wanita dari kalangan muda maupun tua yang menjadi pilar kehidupan bermasyarakat. Dan belum jelas konstruksi hukumnya. Dimana persoalan zina hanyalah persoalan perdata dengan delik aduan. Bukan persoalan pidana dimana negara harusnya secara pro aktif menegakkannya sebagai sarana efektif untuk mengedukasi masyarakat.
6) Munculnya Swedia yang dianggap sebagai model negara berhasil menangani prostitusi. Dan Swedia adalah negara selain Jepang di antara 10 negara yang melegalkan prostitusi adalah gambaran meletakkan asumsi yang sama atas kondisi yang ada di Indonesia dengan Swedia. Dengan mencoba mengabaikan kekuatan keyakinan mayoriyas negeri ini. Dimana agama masih menjadi nilai-nilai kehidupan masyarakat turun temurun. Namun harus diakui kekuatan keyakinan itu lambat laun sudah tergantikan dengan keyakinan sekulerisme. Dimana agama dipisahkan dari urusan kehidupan dunia. Inilah sebab lain yang mendorong masifnya prostitusi.
Akhirnya kita bisa memahami bahwa prostitusi online menjadi pelajaran berharga bagaimana seharusnya hukum ditegakkan melingkupi semua sistem penyelenggaraan kenegaraan dan kemasyarakatan. Dan fenomena prostitusi online yang menyeruak menjadi pengingat bagi para pemimpin negeri ini khususnya para ulama dan politisi muslim. Bahwa himbauan moral bukanlah sebuah solusi mendasar dan komprehensif atas berbagai problema sistemik termasuk prostitusi online yang mendera negeri ini. Harus ada desakan kepada para penyelenggara negara, penegak hukum dan militer untuk membebaskan diri dari cengkeraman liberalisme yang mewujud dalam bentuk barunya neo liberalisme. Jika tidak mau pada akhirnya negeri muslim terbesar di dunia ini menjadi bertambah predikatnya dari The Corporate State menjadi The Prostitution State. Tidak ada jalan lain keluar dari belenggu jerat neo liberalisme yang memunculkan fenomena baru prostitusi online diantaranya kecuali mewujudkan keberdayaan politik dengan tegaknya syareah, jihad dan khilafah sebagai tuntutan keyakinan, keniscayaan sejarah dan kesesuaian fakta. Wallahu a’lam bis shawab. (arrahmah/adj)