Ini Penyadaran bagi Umat, Jangan Dituduh Menusuk Umat dari Belakang

MUSTANIR.net – Mungkin saja ada sebagian yang bertanya-tanya. Kenapa penulis diam terhadap kecurangan Pemilu? Kenapa penulis tidak ikut melawan dan mengobarkan semangat perlawanan? Kenapa penulis tidak ikut terjun membela pihak yang dicurangi?

Bahkan ada juga yang dengan tega menyatakan tindakan penulis dianggap mengabaikan kecurangan, menurunkan semangat untuk melawan, bahkan dituduh sebagai manuver menusuk umat Islam dari belakang. Luar biasa, sungguh keji tuduhan itu.

Baiklah, mari kita ulas pelan-pelan.

Pertama, siapa bilang penulis tidak peduli pada kecurangan? Tidak mencela dan melawan kecurangan? Sejak awal, penulis melawan kecurangan. Bahkan berusaha menemui DPR RI untuk menyampaikan aspirasi pemakzulan terhadap Jokowi.

Penulis juga berulang kali menyeru agar parpol pengusung 01 dan 03 menarik menteri mereka dari kabinet Jokowi. Tujuannya agar ada keseimbangan politik baru, agar Pemilu bisa kembali netral.

Tapi ternyata usaha itu mentok. Parpol pendukung 03 hanya berkoar-koar teriak awasi kecurangan Pemilu, namun PDIP tak mau menerima aspirasi pemakzulan Jokowi. Kendati sebelumnya Puan Maharani dari PDIP mempersilakan rakyat untuk menyampaikan aspirasi pemakzulan ke DPR RI.

PDIP pengusung 03, NasDem dan PKB pendukung 01 juga tidak menarik menteri mereka dari kabinet Jokowi. Masing-masing masih memanfaatkan sisa kekuasaan untuk mempertahankan kekuasaan (suara partai).  Tidak berani berjibaku melawan kecurangan dengan melakukan penarikan menteri, sebagai wujud keseriusan ogah dicurangi.

Ke dua, yang realistis sajalah. Dalam demokrasi, yang menang itu suara uang, bukan suara kebenaran.

Suara ulama, kiai, habaib itu kalah dengan suara duit, beras, minyak dan umpan Pemilu lainnya. Yang dijangkau ulama, kiyai, habaib itu paling cuma lingkarannya (muhibbinnya). Sementara mayoritas rakyat tak terjangkau.

Mayoritas rakyat justru disambar kebijakan bansos. Duit siapa yang bisa mengalahkan alokasi duit bansos?

Lalu realistis juga. Apa ada jaminan parpol yang tidak main curang? Tidak main duit? Tidak main bansos?

Rata-rata semua caleg tebar beras, minyak goreng, sembako, dan sebagian duit cash. Lalu, siapa yang mau kita bela, kalau ternyata praktiknya semua curang?

Lagipula film Dirty Vote telah mengabarkan kepada kita, betapa joroknya Pemilu 2024. Betapa kecurangan terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif.

Ke tiga, bentuk perlawanan yang paling elegan itu tidak mengikuti proses Pemilu yang kotor. Ini adalah penghukuman yang berkarakter, sebagaimana rekomendasi Zainal Arifin Mochtar yang meminta kita melakukan penghukuman setelah menonton Dirty Vote.

Kalau penghukuman itu masih ikut Pemilu yang prosesnya kotor, dengan tidak memilih 02 dan fokus memilih 01 atau 03, memang berapa signifikan penghukuman model ini? Lagipula saat kita meyakini Pemilu curang, apa masih berguna suara kita dilibatkan dalam kecurangan itu?

Melawan dengan membawa perkara ke MK ujungnya juga kelihatan. Pasti dikalahkan dan proses ke MK justru melegitimasi Pemilu curang. Melawan dengan demo, paling dianggap angin lalu. Lopar lapor ke Bawaslu, paling cuma menjadi arsip berkasnya.

Ke empat, ini yang paling penting. Jangan sampai kita kembali menjadi tumbal Pemilu seperti tahun 2019, kita yang melawan, kita yang menjadi korban, sementara paslon dan parpol bernegosiasi dengan kekuasaan. Perlawanan yang kita lakukan hanya dijadikan alat kompromi dan negosiasi dengan pemenang pemilu curang.

Kita semua tentu tidak ridlo, mengalami dua kerugian. Sudah kalah, ditumbalkan pula. Itu benar-benar menyakitkan.

Karena itu rekomendasi penulis untuk melakukan perlawanan bukanlah dengan cara ala Pilpres 2019 yang memakan korban. Kita semua harus melawan Pemilu curang dan demokrasi yang menipu. Caranya, tinggalkan demokrasi, perkuat dakwah, dan maksimalkan energi umat untuk memperjuangkan syariah dan khilafah.

Kalau kita masih mau membersamai demokrasi, itu artinya dengan sengaja kita rela menyodorkan leher untuk disembelih. Kita ridlo untuk kembali ditipu dan dikhianati.

Padahal Allan subḥānahu wa taʿālā telah memberikan jalan dakwah menuju kemenangan, bukan jalan demokrasi. Jalan dakwah, yang mengantarkan Baginda Nabi Muhammad ﷺ sampai ke tampuk kekuasaan di Madinah, selanjutnya menerapkan syariah Islam dalam bingkai kekuasaan. []

Sumber: Ahmad Khozinudin

About Author

Categories