Budak-budak (Borjuis) Zaman Kini
MUSTANIR.net – Orang Terbelenggu
Budak, kuli, orang upahan, jongos, hamba sahaya adalah sebutan penghinaan kepada manusia sebagai sebuah status atau profesi yang dianggap paling rendah, sehingga tidak disukai manusia pada umumnya. Namun faktanya hingga hari ini masih banyak ditemukan manusia yang bermental dan berperilaku seperti budak. Walaupun bentuk, istilah, simbol, atribut, dan nama pun berbeda dari masa ke masa, antara satu peradaban dengan peradaban lainnya.
Zaman dahulu budak-budak dibelenggu dengan rantai, dipekerjakan dan diperas tenaganya habis-habisan, dan diberi upah ala kadarnya sekadar penyambung hidup saja. Biasanya budak-budak ini diperolah dari tawanan perang atau melalui transaksi jual beli. Ada juga budak-budak itu didapat dari hasil perburuan. Persis seperti memburu hewan, para pemburu mengejar sampai di pedalaman hutan-hutan Afrika dan Amazon, kemudia hasil buruannya dijual di pasar perbudakan.
Tujuan membeli budak memang untuk dipekerjakan dengan upah murah hasil optimal, diperlakukan seperti hewan saja, tidak mengenal perikemanusiaan. Jika budak itu hasil dari transaksi atau tawanan perang, mungkin masih terasa bahwa dirinya sedang diperbudak. Namun apabila budak itu mempunyai anak dan tidak sempat mendidik anaknya karena harus bekerja keras sepanjang hari, maka anaknya nanti akan bermental budak pula, namun tidak lagi merasa terpaksa, bahkan merasa bangga dirinya diperbudak. Apalagi majikannya mempunyai kedudukan di masyarakatnya, maka si budak tadi akan merasa bangga menjadi pengabdi majikannya.
Sekarang cara berburu dan membelenggu perbudakan modern sudah berbeda, tidak lagi dengan perburuan di hutan, juga membelenggunya tidak lagi dengan rantai. Apabila yang sangat diperlukan perbudakan intelektual, maka berburunya di sekolah dan di kampus-kampus. Senjatanya melalui media informasi terutama internet, kemudaian rantai belenggunya melalui bea siswa, tugas belajar, pertukaran pelajar, SK penghargaan, piagam, anugerah gelar kehormatan, sampai diiming-iming pekerjaan dengan salary yang menarik. Jangan heran budak-budak zaman modern kini ada yang bergelar Doktor.
Terkadang ada juga perburuannya dengan cara-cara yang kotor, yaitu dengan menjebak para pemuda yang punya potensi luar biasa, dengan berbagai bentuk kemaksiatan, yang apabila diketahui masyarakat, akan menanggung aib yang sangat memalukan. Akhirnya si pemuda tadi tidak berdaya, karena kartu truf dirinya sudah di tangan majikan. Sewaktu-waktu loyalitasnya luntur apalagi berani melawan, maka tidak segan-segan sang majikan untuk membongkar kartu truf itu. Jadilah pemuda yang tertawan.
Persamaan budak zaman dahulu dan sekarang adalah pada mentalitas budaknya itu. Loyalitas, ketundukan, kepatuhan, serta ketaatan mutlak pada majikan, adalah sikap yang selalu melekat pada manusia yang bermental budak. Walaupun memiliki serenceng gelar, bagi yang bermental budak tetap sama saja, akan sangat patuh kepada sang majikan yang telah memberi bea siswanya.
Perbudakan zaman sekarang sudah berganti, baik nama, baju, lambang, simbol, atribut, dan cara kerjanya. Tetapi apa pun sebutan yang digunakan kita masih bisa melihat ciri-cirinya yang begitu jelas.
Kehilangan Kendali Diri
Ciri pertama yang disebut budak adalah dia tidak memiliki kontrol dan kendali atas dirinya sendiri. Ada majikan yang mengendalikannya. Dengan belenggu yang cukup kuat, budak itu ditakdirkan tidak bisa melawan majikan. Berbagai jenis belenggu saat ini adalah berupa utang budi, cuci otak, kebebasan mengumbar nafsu syahwat dan sebagainya.
Utang budi adalah berbagai macam fasilitas dan penghargaan yang diterima oleh orang-orang yang terpilih dan dipastikan bisa menjadi loyalis majikan. Para majikan mempunyai data base jejak rekam para calon-calon budak yang mempermudah seleksi, siapa saja yang nantinya akan bisa menjadi pendukung sekaligus loyal terhadap majikannya.
Hidup di zaman materialisme seperti sekarang ini tidak ada yang gratis, semua serba ada harganya. Walaupun disebut bantuan, itu hanya politik pencitraan. Apalagi waktu kampanye, omong kosong banget kalau ada bantuan murni tidak mengharap imbal balik.
Hebatnya lagi orang-orang yang bermental budak tidak memandang status dan pendidikan. Bisa saja orang yang punya kedudukan tinggi dan pendidikan tinggi dijadikan budak. Para majikan sudah memiliki tools yang sangat canggih untuk menilai siapa saja orang yang punya bakat dijadikan budaknya. Jika hasil penilaian seseorang punya potensi bisa dijadikan budak/boneka, maka bantuan siap digelontorkan berapa pun yang diperlukan. Jika ia berpotensi jadi pejabat politis, maka bantuan kampanye akan segera digulirkan unlimited untuk memenangkan calon bonekanya. Sudah tentu dengan berbagai persyaratan yang harus dipenuhi oleh si budak boneka itu setelah memegang jabatan.
Pikirannya Sebatas Upah
Karena sudah kehilangan kendali diri, maka sepenuhnya diberikan kepada majikan untuk dapat mengendalikan dirinya. Para budak merasa tidak punya kemampuan dan tidak bisa apa-apa kecuali hanya menggantungkan hidupnya kepada sang majikan. Mengganggap hanya majikanlah yang memiliki pemikiran, solusi, sistem untuk memperbaiki dan mempertahankan diri si budak tersebut.
Bagi para budak hanya satu konsentrasi pikirannya, yaitu bagaimana bisa bertahan hidup dengan cara menerima pemberian dari majikan, setelah itu siap mengikuti titah perintah sang majikan. Persis seperti sirkus pertunjukan binatang, si pawang selalu saja membawa makanan untuk merangsang insting binatang agar mengikuti apa yang diinginkan sang pawang. Selalu saja makanan itu diberikan sebagai upah setelah si binatang itu berhasil melaksanakan pertunjukannya.
Fir’aun juga memberi upah kepada tukang sihirnya agar bisa membela kepentingannya dari ancaman keberadaan Nabi Musa; “Dan beberapa ahli sihir itu datang kepada Fir’aun mengatakan, ‘Apakah kami akan mendapat upah, jika kamilah yang menang (atas Musa)?’ Fir’aun menjawab, ‘Ya tentu saja, sesungguhnya kamu benar-benar akan termasuk orang-orang yang dekat (kepadaku)’.” (QS al ‘Araaf (7) ayat: 113–114)
Jangan heran kalau kemudian si budak menjadi pembela dan sangat loyal terhadap majikannya. Pikiran dan perasaannya sudah terbelenggu oleh berbagai fasilitas yang membuatnya nyaman. Sudah tidak sanggup lagi berpikir kemerdekaan, harga diri, kemandirian, serta pembelaan terhadap bangsanya sendiri.
Cuci Otak
Bagi calon budak dari kalangan intelektual, sang majikan tahu bahwa kebutuhannya bukan sebatas perut atau di bawah perut. Maka upah yang diberikan juga bukan sebatas dengan uang saja, tapi ada kompensasi lain berupa berbagai macam penghargaan. Karena mereka sangat membutuhkan status sosial di masyarakatnya, agar memiliki kedudukan yang terhormat.
Majikan akan menyeleksi kaum terpelajar yang masih memiliki mentalitas budak, untuk diberi penghargaan agar bisa menjadi pendukung dan loyalis majikan. Apalagi untuk mereka yang terbukti sudah menghasilkan pemikiran nyeleneh, destruktif, dan pro imperialis, akan sangat mudah mendapatkan fasilitas, bea siswa, gelar, dan berbagai bentuk penghargaan.
Hasil dari proses cuci otaknya sangat jelas terlihat. Walaupun sudah sampai gelar S3, akan lumpuh daya analisanya ketika melihat kepentingan majikan. Pembelaan habis-habisan, sampai membabi buta jika sang majikan dikritik. Sedemikian jelas terang benderang aksi-aksi kejahatan imperialis, tidak mampu dilihatnya karena status si imperialis itu sebagai majikan. Maka kaya apa pun tingginya pendidikan, tetap saja budak ya budak juga alias jongos.
Pembentukan mentalitas budak dari kaum terpelajar ini tentu memakan waktu lebih lama dibanding dari penguasa, politikus, artis, dan golongan lainnya. Biasanya melalui proses bea siswa untuk studi terlebih dahulu. Diharapkan setelah menjadi sarjana, pola pikirnya sudah tercuci dan sekaligus terwarnai menjadi pembela imperialisme sejati.
Alat Eksploitasi
Sejak dahulu hingga sekarang yang namanya budak, apa pun namanya atau modelnya, tetap sama saja fungsinya yaitu sebagai alat mengeruk kekayaan untuk si majikan. Dalam bentuk makro, budak itu dijadikan alat eksploitasi kekayaan suatu negara untuk kepentingan negara-negara imperialis.
Berbagai istilah seperti komprador, kaki tangan, tentara bayaran, pemimpin boneka, antek-antek, dan sebagainya adalah nama-nama fungsi dan tugas si budak. Ketika dikemas dengan nama yang berbeda, simbol dan atribut yang keren, disertai dengan penghargaan dan gelar, maka status budak kini sudah menjadi supermasi. Apalagi budaya feodal di tengah-tengah masyarakat belum hilang, maka keadaan bisa berbalik, orang berlomba-lomba untuk menjadi jongos-jongos imperialisme. Tidak ada sedikit pun perasaan berkhianat, hina, atau minder, malah sebaliknya merasa pahlawan, terhormat, dan bangga.
Berapa kekayaan alam kita, emas, uranium, minyak, gas, batu bara, hasil laut, hutan, dan sebaginya yang tersedot untuk kepentingan asing dengan bagi hasil yang tidak adil? Berapa nilai produk impor yang bukan kebutuhan primer hanya untuk gengsi anak bangsa? Berapa fee management dan waralaba dari produk-produk asing? Berapa uang para keluarga pejabat yang dihabiskan untuk shoping ke luar negeri? Berapa uang hasil korupsi yang disimpan diluar negeri? Berapa miliar uang yang keluar-keluar cuma pertunjukan musik 2 jam? Belum lagi kerusakan moral yang ditimbulkan, sudah tidak bisa dinilai dengan materi seberapa pun!
Kenapa semua itu bisa terjadi dan berlangsung berpuluh-puluh tahun lamanya? Jawabannya adalah karena ada di antara anak bangsa ini yang mau dijadikan budak-budak atau jongos-jongos negara-negara imperialis. Cukup dengan pengakuan John Perkins sebagai wakil dari kaum imperialisme, seharusnya para budak menyadari akan keberadaan dirinya selama ini sebagai agen asing yang menghancurkan negaranya sendiri, atau malah belum baca? []
Sumber: KH Abdullah Muadz, S.Pd.I, M.Sc
Penulis:
• Ketua Umum Assyifa al-Khoeriyyah, Subang
• Pendiri Pesantren Ma’rifatussalaam, Kalijati, Subang
• Pendiri, Trainer, dan Presenter di ‘Nasteco’
• Pendiri dan Terapis Islamic Healing Centre
• Pendiri LPPD Khairu Ummah, Jakarta