Investasi Asing Era Kolonial

MUSTANIR.net – Sudah lama negeri ini merdeka, namun konflik perebutan lahan masih sering terjadi. Ini yang akhir-akhir ini menghiasi media sosial maupun media massa, yaitu konflik di Rempang-Galang Kepulauan Riau. Konflik seperti ini dari tahun ke tahun justru menunjukkan grafik yang terus meningkat, sulit untuk diminimalisasi. Biasanya konflilk perebutan lahan merupakan akumulasi dari konflik yang terjadi di masa lalu yang belum selesai.

Penggambaran yang sangat luar biasa terkait lahan pertanian di masa lalu khususnya di masa Mataram Islam adalah catatan laporan perjalanan Van Goens. Saat Van Goens akan menghadap Raja Mataram, Amangkurat I, ia mencatat perjalannya dari Semarang ke Mataram dan senantiasa menyebut betapa luasnya daerah persawahan yang dilintasinya. Sesudah pintu Gerbang Selimbi (dekat Gunung Merbabu) yang merupakan pintu masuk negeri Mataram. Ia menyebut, desa-desa tak terhitung banyaknya. Mungkin lebih dari 3.000 jumlahnya, semuanya padat penduduk dengan masing-masing 100 atau 150 keluarga bahkan sampai 1.000 dan 1.500. Alam garapan manusia ini luar biasa indahnya. Selimbi seakan-akan merupakan gapura ke surga di bumi. Air terdapat di mana-mana dan dapat dipergunakan dengan efisien. Orang Jawa telah berhasil membuat saluran air dari batu untuk mengairi pancuran-pancuran tempat pemandian.

Kalau kita lacak konflik perebutan lahan bahkan wilayah, sebenarnya sudah sejak era kolonialisme. Di mana pihak kolonial Belanda dengan politik agrarianya berusaha sekuat tenaga untuk tetap mendominasi, mengeksploitasi, dan berlaku diskriminatif dengan menganut prinsip dagang. Hal ini tercermin dalam sistem sewa tanah yang diberlakukan oleh pihak kolonial Belanda, yang berperan sebagai pemegang kedaulatan dan merupakan pemilik tanah satu-satunya. Sementara itu, masyarakat adalah penggarapnya dan wajib membayar sewa tanah sebagai bentuk perpajakan.

Nestapa petani pribumi dimulai ketika Raffles datang untuk menggantikan Belanda, setelah Prancis kalah dari Inggris selama perang di Eropa. Daendels digantikan oleh Raffles yang mewakili kerajaan Inggris dan memulai administrasi kolonial yang lebih modern. Setelah lima tahun, wilayah jajahan Hindia Belanda akhirnya dikembalikan kepada pihak kerajaan Belanda dan melanjutkan apa yang telah dibuat oleh Raffles. Untuk membiayai ekonomi negaranya yang hancur akibat perang, Gubernur Jenderal Hindia Belanda mulai mengambil alih lahan-lahan pertanian dan perkebunan dari penguasa-penguasa lokal yang ditaklukkannya, khususnya di Jawa dan Sumatera.

Setelah hengkangnya Raffles tahun 1816, Nahuys sebagai Residen Yogyakarta mulai mendorong perluasan tanaman ekspor seperti kopi, lada, dan nila, mengingat tingginya harga komoditi tersebut. Bahkan Nahuys sampai mengutip kalimat dalam Wealth of Nations-nya Adam Smith, di mana pemerintah feodal dipersalahkan karena masih mengikuti cara lama dalam pengelolaan tanahnya. Cara kapitalisme dalam pengelolaan ekonominya, di mana terjadi akumulasi kekayaan yang menumpuk pada satu orang atau pada satu badan (perusahaan). Inilah yang dikehendaki oleh Nahuys untuk menyewakan tanah-tanah keraton kepada pihak asing.

Pemerintah kolonial Belanda menumpuk kekayaannya dengan cara merampas tanah dari pihak keraton Jogja dan Surakarta sekaligus menjadikan petani pribumi sebagai buruh yang dapat dieksploitasi. Pada konteks kapitalisme yang terjadi pada waktu itu, Belanda menyewakan tanah-tanah tersebut kepada kapitalis asing, Eropa dan Cina. Otomatis Belanda menjadi fasilitator utama bagi tumbuhnya kapitalisme di Jawa. Walaupun akhirnya kebijakan Nahuys ini direvisi sebelum Perang Jawa. Namun pasca Perang Jawa, hal yang lebih mengerikan bagi petani Jawa akan segera terjadi.

Sistem pertanian yang dideskripsikan oleh Van Goens ternyata sudah dibajak oleh pemerintah kolonial Belanda. Puncaknya adalah ketika Belanda menetapkan aturan cultuurstelsel atau sistem tanam paksa pasca Perang Jawa 1830. Sistem tanam paksa ini mewajibkan kepada setiap rakyat pribumi agar menyediakan tanah pertanian tidak melebihi 20 persen atau seperlima bagian dari tanahnya untuk ditanami jenis tanaman perdagangan. Sementara itu, rakyat pribumi yang tidak memiliki tanah pertanian dapat menggantinya dengan bekerja di perkebunan milik Belanda atau di pabrik milik Belanda selama 66 hari atau seperlima tahun.

Setelah protes kalangan liberal di negeri kerajaan Belanda, perubahan yang lebih radikal akhirnya dicetuskan. Konsep monopoli negara sedikit demi sedikit ditinggalkan dan sistem “ekonomi liberal” mulai dirintis. Antara tahun 1860-1870, sistem tanam paksa (cultuurstelsel) mulai ditinggalkan. Bahkan pada tahun 1870 pemerintah kolonial Belanda menerbitkan Agrarische Wet (UU Agraria) dan Agrarische Besluit (Peraturan Agraria), yang menjamin kebebasan ekonomi bagi perusahaan perkebunan swasta. Modal perkebunan swasta ini sering merupakan “investasi asing” yang berasal dari kalangan Eropa dan Cina.

Liberalisasi yang dilakukan oleh pihak kolonial nyatanya tidak memberikan efek berarti kepada kualitas kehidupan rakyat pribumi. Aturan ini tetap saja tidak mengakui hak milik bagi rakyat pribumi untuk memiliki tanah. Karena semua tanah tanpa bukti kepemilikan menjadi milik negara, dalam hal ini milik pemerintahan kolonial Belanda. Karena pada prinsipnya bahwa seluruh tanah yang ada di daerah jajahan menjadi milik pemerintah kolonial Belanda. Sementara rakyat pribumi adalah penggarap yang wajib membayar sewa tanah sebagai bentuk perpajakan.

Maka tidak mengherankan, menurut perkiraan Onghokham (1994), sejak pemberontakan Diponegoro selesai (1830) hingga permulaan pergerakan nasional (1908) telah lebih dari 100 pemberontakan petani terjadi. Dari berbagai aksi tersebut, para ulama dan tokoh pemimpin informal setempat menjadi ujung tombak aksi perlawanan. (medcom.id)

Pemerintah kolonial tidak hanya merusak sistem simbolik dari kekuasaan, tetapi juga mengubah landasan tradisional ekonomi agraris. Puncaknya adalah ketika diberlakukan kebijakan cultuurstelsel atau sistem tanam paksa. Kolonial telah berhasil merampok sistem yang dideskripsikan oleh Van Goens pada abad ke 17 di bawah pemerintahan Amangkurat I demi kepentingan mereka sendiri dan dengan efektivitas khas mereka.

Kini, walaupun negeri ini telah merdeka selama ¾ abad lebih, gaya kolonial dalam pengurusan lahan dan sumber daya alam masih saja terjadi. Perputaran ekonomi yang masih bergantung kepada modal dan investasi asing kerap kali justru membuat rakyat tambah menderita. Konflik sering menyertai dengan dibukanya investasi asing, dan yang menjadi korban tentunya adalah rakyat pribumi, sementara pemilik modal bisa menggunakan alat negara untuk memuluskan nafsu eksploitatifnya. []

Sumber: Ni’mat al-Azizi

About Author

Categories