
Falsifikasi Demokrasi
MUSTANIR.net – Demokrasi merupakan homogenisasi ideologi yang menjadi isu globalisasi. Thomas Friedman (2005) menyebut globalisasi sebagai Amerikanisasi. Globalisasi yang di dalamnya ada isu tentang demokrasi, ha asasi manusia, transparansi (keterbukaan), pelestarian lingkungan hidup, pluralism, dan pasar global.
Bahkan Fakih (2004) meyakini keberadaan globalisasi sebaga salah satu fase dari perjalanan panjang perkembangan kapitalisme liberal. Fakih menyebut bahwa globalisasi adalah kelanjutan dari kolonialisme dan developmentalism pasca Perang Dunia II. Bahkan Faki telah mencurigai globalisasi sebagai bungkus baru dari imperialism dan kolonialisme.
Sesuai dengan artinya, falsifikasi adalah teori yang gagal karena tidak dapat bertahan terhadap suatu eksperimen dan digantikan oleh teori spekulatif lain. Teori Popper ini menegaskan bahwa kebenaran proposisi suatu ilmu tidak ditentukan melalui uji verifikasi, tetapi upaya penyangkalan atas kebenarannya melalui berbagai percobaan yang sistematis.
Semakin besar upaya untuk menyangkal suatu teori, dan jika teori itu ternyata terus mampu bertahan, maka semakin kokoh pula keberadaannya. Selanjutnya Popper menegaskan bahwa setiap teori ilmiah selalu hanya bersifat hipotesis, yakni berupa dugaan sementara {conjecture), tidak akan pernah ada kebenaran final. Setiap teori selalu terbuka untuk digantikan oleh teori baru yang lebih tepat. (Popper; 2008)*
Sejalan dengan teori tersebut, dalam dunia menyanyi kita juga sering mendengar istilah fals, ini diambil dari bahasa Inggris yaitu false yang artinya salah. Kenapa bisa terjadi suara fals? Suara fals merupakan suara manusia dan alat musik yang menyimpang dari seharusnya. Inilah yang disebut dengan suara fals.
Ini berarti, demokrasi berkembang melalui kesalahan dan kekeliruan yang telah secara tidak langsung diterapkan oleh negara yang kerap dianggap sebagai kiblat demokrasi yaitu Amerika Serikat dan sekutunya. Eksistensi Tuhan dalam demokrasi tak dihiraukan.
Demokrasi mengalami singularitas, di mana politik demokrasi mengabaikan hubungan manusia dengan etika dan hukum agama. Seluruh paradigma yang dibangun didasarkan oleh subjektivitas kepentingan untuk meraih keuntungan pragmatis semata. Inilah yang menjadikan demokrasi sejak awal kelahiran telah mengalami singularitas, yakni kondisi ketidakberaturan atau berantakan. []
Sumber: Mohammad Mulyadi dalam Buku Falsifikasi Demokrasi: Berpikir Ulang Demokrasi (2019)
– Fakih, Mansour: 2004. Neoliberalisme dan Globalisasi. Insist Pers.
– Friedman, Thomas L. 2005. The World is Flat: A Brief History of Twenty-first Century, New York: Farrar, Straus and Giroux.
– Popper, Karl R. 2008. The Logic of Scientific Discovery (Logika Penemuan Ilmiah), terj. Saut Pasaribu & Aji Sastrowardoyo, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.