
Isra’ Mi’raj adalah Isyarat Kepemimpinan Rasulullah dan Umatnya atas Umat Lain
MUSTANIR.net – Salah satu momen penting dalam perjalanan hidup Rasulullah ﷺ adalah peristiwa Isra’ Mi’raj. Peristiwa Isra’ Mi’raj terjadi pada 18 bulan sebelum Rasulullah ﷺ dan kaum muslimin hijrah ke Madinah.
Allah subḥānahu wa taʿālā menggambarkan peristiwa ini dengan firman-Nya:
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari al-Masjid al-Haram ke al-Masjid al-Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (TQS al-Isra’ [17]: 1)
Peristiwa Isra’ Mi’raj merupakan salah satu mukjizat Rasulullah ﷺ yang selalu diperingati umat Islam. Pelajaran (‘ibrah) yang diambil dari peringatan itu, umumnya hanya satu, yaitu diwajibkannya salat lima waktu. Tentu itu benar. Tapi apakah hanya itu?
Kalau kita kaji lebih dalam, sebenarnya Isra’ Mi’raj mengandung pelajaran-pelajaran lain yang tidak kalah penting. Apa itu? Salah satunya adalah isyarat kepemimpinan umat Islam atas seluruh agama, bangsa, dan umat lain di seluruh dunia.
Syaikh Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ahjie telah menjelaskan isyarat kepemimpinan itu dalam kitabnya, Sirah Nabawiyah: Qira`atu Siyasiyah. Menurut beliau, dalam peristiwa Isra’ Mi’raj, terkandung isyarat peralihan kepemimpinan dunia. Dunia yang semula di bawah kekuasaan bani Israil, kemudian beralih di bawah kekuasaan umat Nabi Muhammad ﷺ
Seperti diketahui, kepemimpinan dunia hingga terjadinya peristiwa Isra’ Mi’raj, ada di bawah kepemimpinan bani Israil, sebab agama-agama samawi yang masih ada (yaitu Yahudi dan Nasrani) adalah agama-agama bangsa Israil. Namun tidak dapat disangkal, kepemimpinan bani Israil ini telah cacat dan rusak. Karena agama Yahudi dan Nasrani telah mengalami penyimpangan dan tidak murni lagi. Kitab Taurat dan Injil telah mengalami pencemaran dan perubahan akibat ulah pengikut-pengikutnya, yang hanya memperturutkan hawa nafsu.
Dengan demikian, para pengemban agama Yahudi dan Nasrani pun sesungguhnya sudah tidak layak lagi memimpin dunia. Karena itu, tongkat kepemimpinan dunia harus segera dipindahkan kepada umat lain yang lebih berhak dan lebih mampu memimpin dunia. Siapakah umat ini? Tidak lain adalah umat Nabi Muhammad ﷺ, yaitu umat Islam.
Syaikh Muhammad Rawwas Qal’ahjie, kemudian menunjukkan isyarat-isyarat yang menunjukkan perpindahan estafet kepemimpinan dunia itu dalam peristiwa Isra’ Mi’raj. Dalam peristiwa Isra’, Rasulullah ﷺ diperjalankan oleh Allah subḥānahu wa taʿālā dari Masjidil Haram (di Makkah) ke Masjidil Aqsa (di Palestina).
Di Masjidil Aqsa inilah, Rasulullah ﷺ salat bersama para nabi Allah yang lain, dan Rasulullah ﷺ tampil sebagai imam. Artinya, di belakang Rasululah ﷺ adalah para makmum yang terdiri dari para nabi, di antaranya Nabi Musa dan Nabi Isa, alaihimus salaam. Dalam peristiwa salat berjamaah itu, telah terjadi pencabutan kepemimpinan bani Israil, yang selanjutnya diberikan kepada umat Nabi Muhammad ﷺ.
Dengan demikian, sejak peristiwa itu, manusia menjadi tidak sah beramal dengan agama-agama bani Israil (Yahudi dan Nasrani) yang telah mengalami banyak sekali distorsi dan perubahan. Agar amal manusia sah dan diterima Allah, maka manusia harus beralih kepada agama yang masih murni, yaitu agama Islam.
Peralihan kepemimpinan ini, bukanlah peralihan yang sembarangan, melainkan peralihan yang sah. Mengapa? Sebab, yang mengubah kiblat kepemimpinan adalah benar-benar para wakil dari seluruh umat, yaitu para nabi. Dengan demikian, siapa pun yang menentang peralihan kepemimpinan, berarti melakukan perlawanan yang liar tanpa dasar.
Dengan peristiwa ini, berarti Masjidil Aqsa menjadi milik umat Islam. Mengapa? Sebab, dalam salat berjama’ah yang dilakukan di suatu tempat, yang paling berhak menjadi imam adalah pemilik tempat tersebut. Jadi, karena yang menjadi imam adalah Rasululah ﷺ, maka beliau dan umat beliaulah yang menjadi pemilik sah atas Baitul Maqdis (Masjidil Aqsa) di Palestina.
Bagaimana realisasi dari isyarat agung ini dalam kehidupan sekarang? Perlu kita ketahui, dalam sejarah, kepemimpinan umat Islam ini benar-benar terbukti. Setelah Rasulullah ﷺ berhijrah ke Madinah (pada tahun 622 M) dan kemudian menegakkan negara dan masyarakat Islam di sana, kepemimpinan Islam mulai terwujud. Sebab, di negara baru tersebut, umat Islam memimpin umat-umat yang lain.
Misalnya, dalam masyarakat Islam, ada warga negara yang berasal dari kaum Yahudi sebagaimana disebut dalam Piagam Madinah (Watsiqatul Madinah). Tercatat, bahwa bangsa Yahudi yang bermukim di Madinah adalah Yahudi bani Auf, Yahudi bani Najjar, Yahudi bani Harits, Yahudi bani Saidah, Yahudi bani Jusyam, Yahudi bani Aus, dan Yahudi bani Tsa’labah. Dalam perkembangan berikutnya, bangsa Yahudi bani Quraizhah, Yahudi bani Nadhir, Yahudi bani Khaibar, dan bani Qainuqa’ juga menandatangani Piagam Madinah itu.
Kepemimpinan umat Islam di masa Nabi atas kaum Nasrani juga mulai terwujud. Untuk pertama kalinya, kaum muslimin berperang bersama kaum Nasrani di wilayah Syam (Suriah dan sekitarnya) dalam Perang Mu`tah. Memang, dalam perang ini kaum muslimin tidak menang dan juga tidak kalah. Namun Perang Mu`tah ini menjadi jalan awal untuk penaklukan Syam (Fathu Syam) di masa Khalifah Umar bin Khaththab.
Pada masa Khalifah Umar bin Khaththab inilah, penaklukan Syam terjadi pada tahun 15 H. Dalam penaklukan Syam ini, Khalifah Umar dan para sahabat Rasulullah serta pasukan kaum muslimin memasuki kota Al-Quds dengan penuh kehormatan. Khalifah Umar menerima kunci kota al-Quds dari kepala pemerintahaan Nasrani, yaitu Uskup Agung Sofronius. Setelah memasuki kota al-Quds ini, Khalifah Umar dan kaum muslimin melakukan salat di Masjidil Aqsa. Inilah salat ke dua yang dilakukan di Masjidil Aqsa, di bawah kepemimpinan umat Islam, setelah salat pertama yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ pada malam Isra`.
Dengan demikian, menjadi jelaslah bahwa isyarat kepemimpinan umat Islam atas dunia, telah tersirat dalam peristiwa Isra’ Mi’raj yang dilalui oleh Rasulullah ﷺ. Semoga Allah memberikan kita hidayah sehingga kita semakin sadar, bahwa kita adalah umat yang terbaik (khairu ummah), lebih baik daripada umat-umat yang lain. Karena itu, marilah kita selalu berusaha memperbaiki diri kita untuk menjadi umat yang baik dan mampu menjadi pemimpin yang baik pula, minimal di keluarga kita maupun di lingkungan tempat tinggal kita.
Masihkah umat Islam menjadi imam (pemimpin) dunia, ataukah justru sekarang hanya menjadi makmum yang mengikuti kaum lainnya? Pada saat kita memperingati Isra’ Mi’raj, tentu sangat baik jika kita merenungkan persoalan kepemimpinan umat Islam ini. Fakta yang ada, sungguh tidak dapat disangkal, bahwa kepemimpinan dunia saat ini tengah dipegang oleh kaum kafir, yang berasal dari kaum Yahudi dan Nasrani. Amerika Serikat dan negara-negara kapitalis lainnya adalah pemimpin dunia saat ini. Mereka adalah kaum kafir beragama Nasrani.
Selain itu dunia Islam juga dicengkeram masalah yang tidak kunjung selesai, yaitu masalah Palestina. Kaum kafir Yahudi dengan negara Israelnya menjadi pihak yang dominan atas umat Islam Timur Tengah, dengan perlindungan dan dukungan Amerika Serikat yang Nasrani. Jadi, kepemimpinan dunia sekarang berada di tangan Yahudi dan Nasrani, bukan lagi di tangan umat Islam.
Para pemimpin negeri-negeri Islam pun pada umumnya justru menjadi boneka kaum kafir. Mereka tidak berani melawan atau menentang kaum Yahudi dan Nasrani, tapi malah menjadi antek-antek mereka. Para pemimpin negeri muslim justru banyak yang berjalan mengikuti arahan dari tuan-tuan mereka, melalui kebijakan-kebijakan yang membuat orang kafir senang, secara ekonomi maupun politik.
Kondisi umat yang hanya mengekor kaum Yahudi dan Nasrani ini sudah diisyaratkan juga oleh Rasulullah ﷺ. Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang sempit sekalipun), pasti kalian pun akan mengikutinya.”
Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nasrani?”
Beliau menjawab, “Siapa lagi?”
Kondisi itu jelas tidak diridhoi Allah. Seharusnya, yang menjadi pemimpin dunia adalah umat Islam, bukan umat Yahudi dan Nasrani. Allah subḥānahu wa taʿālā tidak membenarkan umat Islam menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin. Allah subḥānahu wa taʿālā berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS al-Maidah: 51)
Maka dari itu, jelaslah bahwa umat Islam berkewajiban merebut kembali kepemimpinan dunia yang kini dipegang kaum kafir Yahudi dan Nasrani. Mereka tidak boleh lagi menjadi pemimpin dunia, sebab yang seharusnya memimpin adalah umat Islam, bukan umat kafir.
Namun kepemimpinan umat ini membutuhkan dua syarat yang penting. Pertama, adanya sistem kehidupan yang baik, yang terwujud dalam pelaksanaan syariah dalam naungan negara khilafah, bukan dalam negara sekuler saat ini. Ke dua, adanya para pemimpin yang amanat, bukan pemimpin yang khianat. Dengan dua syarat ini, insya Allah kepemimpinan umat Islam atas seluruh manusia dunia akan dapat terwujud kembali di masa depan. Inilah salah satu pelajaran terpenting dari peristiwa Isra’ Mi’raj.
Kita harus senantiasa menjaga diri kita dengan ketakwaan. Ikuti segala hal yang bisa membawa kita kepada sifat takwa, misalnya membaca buku agama, mengikuti kajian-kajian keagamaan di masjid, atau di majelis taklim, mendengarkan pengajian di radio atau televisi, bertanya atau berdiskusi kepada orang yang lebih paham, dan lain-lain.
Karena itu, marilah kita berdoa kepada Allah, agar kita diberikan kekuatan untuk selalu bisa memelihara dan meningkatkan ketakwaan kepada Allah, serta mampu untuk memimpin diri sendiri, keluarga, dan orang-orang di sekitar kita dengan kepemimpinan yang baik. Sehingga, diri kita dan keluarga kita, juga lingkungan kita, menjadi salah satu sebab datangnya rahmat Allah ke bumi Indonesia, dan negeri kita segera dibebaskan dari segala keburukan-keburukan yang melanda.
Wallahu a’lam. []
Sumber: Agus Trisa