Jadilah Muslim Taat! Bukan Radikal atau Moderat

MUSTANIR.net – Indonesia ditunjuk menjadi tuan rumah Konferensi Islam tingkat ASEAN. Konferensi kali ke dua ini digelar di Denpasar, Bali, 21-23 Desember 2022. Konferensi ini diikuti sekitar 140 peserta dari Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, Thailand, Filipina, Laos, Myanmar, Vietnam, Timor Leste, serta Arab Saudi. Konferensi menghadirkan sejumlah narasumber dari kalangan ulama, akademisi serta pimpinan organisasi masyarakat Islam dari berbagai negara.

“Konferensi ini akan membahas implementasi moderasi beragama dalam masyarakat Muslim serta upaya pencegahan ekstremisme dan intoleransi. Kita akan sharing best practices di setiap negara,” ujar Dirjen Bimas Islam Kamaruddin Amin.

Perang Istilah

Selain menggelar Konferensi Islam, Puslitbang Bima Agama dan Layanan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI juga menggelar Peluncuran dan Diseminasi Buku Moderasi Beragama Bahasa Asing di Pelataran Candi Sewu, Prambanan, Jawa Tengah, Minggu, 18 Desember 2022. Tujuannya sama: mencegah paham radikalisme dan menciptakan kerukunan.

Istilah moderasi beragama memang menjadi isu utama yang digulirkan Pemerintah, khususnya melalui Kementerian Agama. Ini sebagai perlawanan terhadap apa yang disebut sebagai paham ekstremisme, radikalisme dan intoleran.

Apalagi jelang Perayaan Natal dan Tahun Baru, topik moderasi beragama semakin kencang. Seperti tahun-tahun sebelumnya, agenda ini akan dilanjutkan dengan Perayaan Natal bersama oleh warga, ormas Islam dan tokoh-tokoh Islam.

Umat sepatutnya mengkritisi berbagai istilah yang sering dikampanyekan; moderasi beragama, radikalisme, ekstremisme dan intoleransi. Pasalnya, sebenarnya semua istilah tersebut tidak pernah ada dalam khazanah pemikiran Islam. Kalaupun ada, istilah-istilah itu hanya merupakan hasil dari pemelintiran dalil-dalil al-Quran dan as-Sunnah oleh para penggunanya.

Inilah yang dinamakan perang istilah (harb al-musthalahât). Perang ini dilancarkan oleh Barat dan para kompradornya terhadap kaum Muslim. Mereka membuat beragam istilah lalu mengkampanyekan istilah-istilah itu dengan masif melalui media massa, buku-buku pelajaran, kurikulum pendidikan, bahkan konstitusi.

Sekurang-kurangnya ada tiga cara yang dilakukan oleh Barat dalam melancarkan perang istilah ini.

Pertama: Mengkriminalisasi sejumlah ajaran Islam dan istilahnya seperti jihad, khilafah, qishâsh, poligami, jilbab, cadar, dsb. Dengan begitu umat menjadi takut terhadap istilah dan ajaran yang berasal dari agamanya sendiri.

Ke dua: Mengacaukan istilah-istilah dalam ajaran Islam, lalu mereka campur dengan pemikiran Barat agar umat kebingungan. Misalnya, Barat merancukan istilah demokrasi dengan musyawarah; istilah khilafah dengan sebutan kerajaan atau kediktatoran; dll. Bahkan ada yang menyamakan Islam dengan paham sosialisme dan marhaenisme.

Ke tiga: Membuat istilah-istilah baru agar umat berpaling dari ajaran Islam. Istilah kafir, misalnya, diganti dengan istilah muwathin (warga negara). Memunculkan istilah ukhuwah wathaniyyah dan ukhuwah insaniyyah. Termasuk dalam hal ini adalah menciptakan istilah yang mereka puji. Sebaliknya, menciptakan istilah yang mereka jadikan sasaran kebencian. Barat menciptakan istilah yang mereka puji yakni moderasi beragama atau Islam moderat (Islam wasathiyyah). Sebaliknya, Barat menciptakan istilah Islam radikal dan Islam ekstremis sebagai antitesisnya.

Padahal istilah wasathiyyah yang dicomot dari kata wasath[an] sama sekali tidak ada kaitannya dengan sikap moderat atau moderasi agama yang dikampanyekan sekarang ini. Para ulama, seperti Imam ath-Thabari, saat menafsirkan frasa ummat[an] wasath[an] dalam QS al-Baqarah ayat 143, dengan menukil 13 riwayat, menunjukkan bahwa kata al-wasath bermakna adil (al-‘adlu).

Adil adalah sifat yang melekat pada kaum Muslim yang taat kepada Allah subḥānahu wa taʿālā. Lawannya adalah fasiq atau zalim, yakni mereka yang menyimpang dari ketaatan kepada Allah subḥānahu wa taʿālā.

Selain bermakna adil, menurut Mahmud Syaltut, ummat[an] wasath[an] juga berarti umat pilihan (Mahmud Syaltut, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm, hlm. 7).

Jelas, istilah moderasi agama tidak berakar dari Islam atau dari al-Quran dan as-Sunnah. Istilah moderasi beragama datang dari Barat. Salah satunya berasal dari sebuah buku yang dikeluarkan oleh RAND Corporation tahun 2007 yang berjudul Building Moderate Muslim Network, pada bab 5 tentang Road Map for Moderate Network Building in the Muslim World (Peta Jalan untuk Membangun Jaringan Moderat di Dunia Muslim).

Dalam salah satu anak judulnya dijelaskan tentang karakteristik Muslim moderat (Characteristics of Moderate Muslims), yakni Muslim yang menyebarluaskan dimensi-dimensi kunci peradaban demokrasi, termasuk di dalamnya gagasan tentang HAM, kesetaraan gender, pluralisme; menerima sumber-sumber hukum non-sektarian (sekuler); serta melawan terorisme dan bentuk-bentuk legitimasi terhadap kekerasan (Angel Rabasa, Cheryl Benard et all, Building Moderate Muslim Network, hlm. 66, RAND Corporation, 2007).

Jelas sudah, istilah moderasi beragama atau Islam moderat adalah upaya Barat dan para kompradornya untuk membelokkan umat dari ajaran Islam yang haq menuju arah politik dan peradaban Barat. Agar mendapat dukungan dan pembenaran, mereka melabeli Muslim yang taat pada ajaran Islam secara kâffah sebagai kelompok radikal, ekstremis dan intoleran.

Masalah Sesungguhnya: Kezaliman Barat

Penjelasan makna moderasi beragama sebagai lawan radikalisme dan ekstremisme bisa menjadi tafsir yang malah menjauhkan umat dari ajaran agama. Sebabnya, pemaknaan radikalisme dan ekstremisme tidak pernah jelas.

Bagaimana mungkin orang yang mengharamkan riba, LGBT dan perzinaan disebut ekstrem? Bagaimana bisa orang yang menyatakan non-Muslim sebagai kafir disebut sebagai kelompok radikal dan intoleran, padahal al-Quran dan as-Sunnah menyebutkan demikian? Bagaimana pula sikap menolak mengucapkan selamat hari raya agama lain dan tidak ikut merayakannya digolongkan sebagai kelompok ekstrem dan menolak kebhinnekaan?

Jadi bisa dipastikan bahwa seruan moderasi beragama ditujukan untuk melucuti ajaran Islam dari tubuh umat, menciptakan permusuhan kepada kaum Muslim yang ingin taat beragama, lalu menyetir umat agar tunduk pada peradaban Barat seperti demokrasi, mendukung LGBT, liberalisme, kesetaraan gender, dsb.

Umat Islam harus paham bahwa persoalan yang dihadapi bangsa ini, juga dunia secara global, bukanlah ekstremisme dan radikalisme agama. Persoalan utamanya justru penindasan secara politik, ekonomi dan militer oleh negara-negara Barat terhadap negara-negara lain, terutama terhadap Dunia Islam. Dengan munafik para pemimpin Barat menuding kaum Islam radikal sebagai penyebar kekerasan. Padahal para pemimpin Barat seperti George Bush senior dan anaknya, George Bush Jr., Bill Clinton, Barack Obama lalu PM Inggris Tony Blair telah menyebabkan kematian jutaan orang di Irak dan Afganistan.

Menurut laporan Physicians for Social Responsibility (PRS) pada tahun 2015, sepanjang 10 tahun agenda War on Terror yang dikomandoi AS tidak kurang 1,3 juta bahkan nyaris 2 juta orang meninggal jadi korban operasi militer Barat. Namun, para pemimpin Barat tersebut tidak pernah dicap sebagai kaum radikal, ekstremis apalagi teroris. Padahal tangan mereka berlumur darah, khususnya darah kaum Muslim.

Lalu dengan kurang ajarnya mereka mempropagandakan moderasi beragama sambil memfitnah Islam dan kaum Muslim yang taat pada agamanya sebagai musuh kemanusiaan. Herannya, para penguasa Muslim dan sejumlah tokoh agamanya bak kerbau dicocok hidung. Manut saja pada agenda Barat ini. Mereka seolah mengamini bahwa agama mereka dan sikap taat beragama adalah ancaman terhadap umat manusia. Padahal Allah subḥānahu wa taʿālā telah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan musuh-Ku dan musuh kalian sebagai teman-teman setia… (TQS al-Mumtahanah [60]: 1).

Wajib Taat Syariah

Kaum Muslim wajib meneladani apa yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ dan para Sahabat. Mereka selalu mempertahankan keimanan dan ketaatan secara penuh. Tidak mengambil jalan moderat atau pertengahan dalam beragama. Tidak mengimani sebagian dan mengingkari sebagian yang lain. Sebabnya, Allah subḥānahu wa taʿālā telah mencela dengan keras sikap demikian, sebagaimana firman-Nya:

إِنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيُرِيدُونَ أَنْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ اللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيَقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ وَيُرِيدُونَ أَنْ يَتَّخِذُوا بَيْنَ ذَٰلِكَ سَبِيلًا . أُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ حَقًّا ۚ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا

Sungguh orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya bermaksud membedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan, “Kami mengimani sebagian dan mengingkari sebagian (yang lain).” Mereka bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir). Merekalah kaum kafir yang sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk kaum kafir itu siksaan yang menghinakan (TQS an-Nisa [4]: 150-151).

Saatnya umat sadar. Tidak lagi menyerukan moderasi beragama. Mereka justru harus berislam secara kâffah, dengan melaksanakan syariah Islam secara total, sebagai bukti kecintaan dan ketaatan kepada Allah subḥānahu wa taʿālā. Mereka harus yakin bahwa agama ini akan menciptakan keadilan bagi segenap umat manusia tanpa kecuali.

WalLâhu a’lam. []

Sumber: Buletin Kaffah

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories