Jakarta Mengalami Gerhana Cuma 88% Persen, Masihkah Disyariatkan Shalat Gerhana?

Jakarta Mengalami Gerhana Cuma 88% Persen, Masihkah Disyariatkan Shalat Gerhana?

Pertanyaan :
Assalamu ‘alaikum wr. wb.

Ustadz yang dirahmati Allah. Agak penasaran saja saya kalau melihat perdebatan di berbagai media terkait silang pendapat tentang apakah kita perlu melaksanakan shalat gerhana pada tanggal 9 Maret 2016.

Saya perhatikan ada dua kubu, yaitu mereka yang bilang tidak perlu shalat karena kita khususnya di Jakarta ini toh tidak mengalami gerhana. Namun yang lain bilang kita tetap disunnahkan untuk mengerjakan shalat gerhana.

Kalau boleh ustadz mohon kiranya antum berikan penjelasan, apakah ini masalah khilafiyah atau sesuatu yang sudah qath’i demikian. Sebelumnya syukran jazilasysyukr atas perhatian antum.

Wassalam

Jawaban :
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Benar sekali bahwa shalat gerhana itu adalah shalat yang hanya dilakukan kalau kita mengalami gerhana. Bila kita tinggal di daerah yang tidak mengalami gerhana sama sekali, tentu saja tidak disyariatkan untuk mengerjakannya.

Walaupun gerhana terjadi di dalam negeri kita sendiri, namun bila di wilayah kita sama sekali tidak ada gerhana, maka tidak perlu dilakukan.

Yang menjadi perdebatan dalam fenomena gerhana matahari tanggap 9 Maret 2016 adalah tentang kejadian gerhana di Jakarta atau wilayah lain yang tidak mengalami gerhana secara total 100 persen. Apakah tetap disyariatkan shalat gerhana ataukah tidak.

1. Tiga Macam Gerhana

Kalau kita buka pelajaran semasa SD, kita ingat bahwa ada tiga macam gerhana, yaitu total, parsial dan cincin.

a. Gerhana Total

Gerhana matahari total terjadi saat jarak terpendek dari bumi ke bulan (perigee) adalah 362.600 km. Apabila kebetulan bayangan bulan jatuh di bumi dan menimbulkan lingkaran hitam di permukaan bumi, tempat-tempat yang berada di lingkaran hitam tersebut mengalami gerhana total.

Fenomenanya adalah di tengah-tengah siang tiba-tiba matahari ‘menghilang’ dan langit berubah jadi malam selama beberapa menit.

b. Gerhana Parsial

Di bagian luar dari daerah totalitas, terdapat tempat-tempat yang hanya disinggung oleh bayangan ‘tambahan’ bulan. Tempat- tempat ini mengalami gerhana parsial. Jakarta akan mengalami gerhana matahari parsial dan tidak total. Namun prosentasenya masih cukup besar, yaitu 88,1 persen.

Secara teori, kegelapan tetap akan terjadi, namun tidak menjadi gelap malam. Cahaya matahari akan menjadi lebih redup. Dan kalau tidak terhalang awan mendung, kita bisa melihat lingkaran atau bulatan mahatari menjadi gompal.

Informasi yang dikeluarkan oleh LAPAN, bahwa wilayah Jakarta dan sekitarnya akan mengalami 88,1 persen. Di daerah Ibu Kota, gerhana akan mulai terjadi pada pukul 06.19 WIB dan akan memasuki titik maksimum gerhana pada 07.21 WIB. Lalu akan berakhir pada pukul 08.31 WIB.

Thomas Djamaluddin menyebutkan bahwa jalur gerhana itu selebar 155-160 kilometer dan terentang sejauh 1.200-1.300 kilometer, melintasi 12 provinsi di Indonesia.

Maka secara awam bisa kita katakan bahwa wilayah Jakarta dan sekitarnya akan mengalami gerhana juga, namun tidak sampai 100 persen.

c. Gerhana Cincin

Terjadi saat jarak terjauh bulan dan bumi adalah 405.400 km. Dalam kedudukan ini penjangnya kerucut bayangan bulan tidak cukup untuk mencapai bumi. Yang jatuh ke bumi adalah perpanjangan bayangan itu. Daerah-daerah yang berada di perpanjangan bayangan ini mengalami gerhana matahari cincin. Apakah Shalat Gerhana Hanya Berlaku Untuk Gerhana Matahari Total?

Setelah mengetahui tiga macam gerhana di atas, maka yang jadi pertanyaan sekarang adalah : apakah ada syarat bahwa shalat gerhana hanya boleh dilaksanakan hanya pada gerhana matahari total 100 persen saja? Bagaimana bila tidak total seperti 90 atau 80 persen? Adakah dalil sharih dari hadits atau Al-Quran yang mensyaratkan gerhana harus 100 persen?

Dalam hal ini mungkin saja ada dua pendapat. Satu pihak membuat aturan bahwa selama tidak 100 persen maka dianggapnya bukan gerhana, sehingga tidak perlu ada shalat gerhana. Pihak lain mengatakan walaupun tidak sampai tertutup 100 persen, tetapi tetap saja disebut gerhana juga. Setidaknya meski tidak berubah jadi malam yang gulita, fenomena dan gejalanya akan mendekati. Oleh karena itu, dalam pandangan mereka, shalat gerhana tetap disyariatkan juga.

Ketua Asosiasi Dosen Falak Indonesia, Ahmad Izzuddin menyatakan bahwa gerhana matahari pada tangal 9 Maret 2016 mirip sekali dengan gerhana yang terjadi masa Nabi SAW.

Menurut beliau. pada saat zaman Nabi SAW gerhana terjadi tepat pada 29 Syawal 10 Hijriah atau pada tanggal 27 Januari 632 Masehi. Gerhana ini terjadi pada pukul 07:08:51 WD. Yang menarik beliau menambahkan bahwa gerhana di masa Nabi itu pun tidak sampai 100 persen, tetapi hanya 80 persen saja.http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160305155432-20-115491/gerhana-matahari-di-semarang-akan-mirip-zaman-nabi- muhammad/

Justru yang terjadi di negeri ktia lebih tinggi lagi, yaitu mencapai 88 persen. Artinya justru lebih besar dari gerhana zaman Nabi SAW.

2. Gerhana Tertutup Awan

Yang juga menjadi pertanyaan banyak orang adalah apakah kita tetap disyariatkan untuk mengerjakan shalat gerhana ketika langit mendung dan tertutup awan?

Dalam hal ini kita juga menemukan dua pendapat yang saling berbeda juga.

a. Tidak Ada Gerhana

Pendapat pertama berkeyakinan bahwa kalau gerhana itu tertutup awan, maka tidak ada gerhana. Setidaknya kita tidak menyaksikan gerhana dengan mata kepala kita sendiri. Dalam pandangan mereka, yang disebut gerhana itu mata kita melihat matahari yang tertutup oleh bulan.

Kalau mata kita tidak bisa melihat matahari atau bulan, lantaran keduanya tertutup awan, maka dianggap gerhana tidak ada. Oleh karena itu maka tidak perlu kita melakukan shalat gerhana. Kan gerhananya tidak kita lihat. Itu alasannya dan nampaknya rada masuk akal juga.

b. Tetap Ada Gerhana

Pendapat yang kedua berkeyakinan bahwa meski pun matahari dan bulan tertutup awan, namun fenomena gerhana tetap kita rasakan di bumi.

Nampaknya pendapat yang kedua ini memandang bahwa yang namanya melihat gerhana itu tidak harus melihat matahari atau bulan secara langsung, tetapi cukup dengan melihat dampaknya saja yang berupa kegelapan akibat tertutupnya matahari oleh bulan. Cukup seperti itu saja sebenarnya sudah dianggap gerhana.

Menurut pandangan kelompok kedua ini, inti dari gerhana adalah kegelapan dan bukan ketidaknampakan matahari gara-gara ada mendung. Kasusnya berbeda dengan ru’yatul hilal. Dalam kasus ru’yatul-hilal memang ketika bulan sabit itu tertutup awan, maka kita diperintahkan untuk melakukan istikmal. Sebab yang menjadi objek pada dasarnya adalah hilal atau bulan sabit.

Sedangkan dalam kasus gerhana matahari dimana kita diperintahkan untuk shalat, yang dijadikan syarat adalah kejadian gerhananya itu sendiri. Gerhana dalam pandangan kelompok ini adalah tertutupnya cahaya matahari oleh bulan, sehingga mengakibatkan kegelapan di langit siang, walaupun ada mendung.

Mereka membedakan antara kegelapan akibat gerhana dengan kegelapan akibat mendung. Kegelapan karena tertutupnya matahari oleh mendung di siang hari melahirkan kegelapan, tetapi tetap saja mata kita masih bisa membedakan antara siang dan malam.

Lain ceritanya kalau cahaya matahari ditutup oleh bulan, maka gelapnya jadi berbeda dibandingkan dengan gelapnya mendung. Gelapnya seperti kita melihat awan mendung di malam hari. Suasananya adalah suasana malam. Maka menurut pendapat kedua, shalat gerhana matahari tetap disyariatkan walaupun mendung menutup matahari dan bulan.

Gerhana kali ini terjadi pada pagi hari. Jadi, meski memasuki penghujung musim hujan, secara probabilitas, pembentukan awan umumnya aktif setelah tengah hari. Maka, peluang mendapatkan hari cerah pada 9 Maret masih terbuka.

Seperti tahun 1988, GMT juga terjadi saat musim hujan. Tetapi ketika masuk proses GMT, yang terjadi cuaca justru menjadi cerah, dan bisa diamati dengan jelas.

Kesimpulan

1. Hukum shalat gerhana matahari disepakati oleh hampir semua ulama hukumnya bukan wajib melainkan hanya sunnah. Namun ada sebagain kalangan dalam mazhab Al-Hanafiyah yang diriwayatkan mewajibkannya.

2. Tidak ada penjelasan dari ulama salaf tentang pembagian tiga macam gerhana di atas. Maka perbedaan pendapat yang ada lebih merupakan perbedaan ulama di masa sekarang ini saja.

3. Sebaiknya kita tidak mengepankan perbedaan-perbedaan yang melahirkan permusuhan atau saling menjelekkan. Yang seharusnya kita tetap saling memaklumi dengan adanya perbedaan yang ada.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA

http://hp.rumahfiqih.com/x.php?id=1456529371&jakarta-mengalami-gerhana-cuma-88persen-persen-masihkah-disyariatkan-shalat-gerhana.htm

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories