Membangun Kembali Kaderisasi Pejabat Publik dalam Islam

MUSTANIR.net – Pidato Presiden Prabowo Subianto di dalam pidato sambutan pembukaan Sidang Tanwir Muhammadiyah dan Resepsi Milad ke-112 Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Kupang pada 4 Desember 2024 mengangkat satu hal yang menarik: yaitu adanya Akademi Gubernur pada masa Usmaniyah, imperium yang ia sebut sebagai adikuasa Peradaban Islam yang berdiri selama 700 tahun. Jika kita highlight bagian itu, kita akan dapat bahwa pidato tersebut bukan sekadar nostalgia historis, tetapi juga panggilan untuk merefleksikan relevansi pendidikan kepemimpinan berbasis nilai Islam di masa kini.

Jika kita telisik sejarah, Akademi Gubernur yang disebut Prabowo itu ternyata tercatat dalam sejarah Khilafah yang beribukota di Istanbul itu sebagai lembaga yang disebut Enderun, atau Enderun Mektebi, lembaga pendidikan elite yang dirancang untuk mencetak pejabat administratif dan militer di bawah kekuasaan Usmaniyah. Institusi ini fokus mencetak para pemimpin teknokrat, dengan integritas moral dan spiritual.

Enderun Mektebi didirikan oleh Sultan Murad II di Istanbul. Kemudian putranya Sultan Muhammad II Al-Fatih memperluas tujuan dan gagasan sekolah khusus ini. Mulanya, sekolah ini diperuntukkan bagi pangeran Usmaniyah dan orang-orang dengan posisi politik penting. Seiring berjalanya waktu, sekolah ini juga digunakan untuk mendidik pejabat Kesultanan di masa depan. Mereka dilatih untuk menjadi pemimpin militer atau pejabat tinggi.

Enderun berbeda dengan lembaga pendidikan pada umumnya. Tidak sekadar prosedur penerimaan yang sulit dan rumit, namun mereka yang dapat mengenyam pendidikan di sini hanyalah orang-orang terpilih. Mereka harus dipilih oleh salah satu petugas yang dilatih di wilayah Kesultanan Usmaniyah di Eropa.

Tugas mereka adalah berkeliling dalam wilayah Kesultanan dan mencari anak muda tertentu yang sesuai dengan standar yang telah ditetapkan dalam sistem devşirme, yaitu praktik pengambilan anak laki-laki sebagai bentuk pajak dari keluarga Kristen di provinsi-provinsi Eropa dan Asia Minor Kesultanan Utsmaniyah dengan tujuan untuk menyeleksi dan melatih anak yang paling cakap untuk menempati posisi kepemimpinan, baik sebagai anggota Yanisari (pasukan elite Sultan) ataupun sebagai pengurus tinggi Kesultanan.

Anak-anak tersebut kemudian di-Islam-kan, walaupun di Bosnia devşirme juga berlaku untuk keluarga Muslim. Seiring berjalannya waktu, tidak semua mereka yang sekolah di Enderun diambil dari devşirme.

Beberapa syarat yang harus dipenuhi adalah memiliki kemampuan yang luar biasa dalam mata pelajaran sekolah, karakter dan kepribadian yang hebat, serta fisik yang baik. Mereka yang hendak bersekolah di Enderun juga harus berusia antara 10 dan 20 tahun (sumber lain menyatakan sejak usia delapan tahun), tidak yatim piatu, serta bukan anak laki-laki tunggal dalam keluarganya.

Enderun memiliki kurikulum yang terdiri dari berbagai mata pelajaran, dan dapat dibagi menjadi lima divisi utama:

• Yang pertama adalah divisi ilmu Islam. Mereka mempelajari seperti bahasa Arab, Persia, dan Turki, teologi Islam, serta Al-Qur’an dan hadits.

• Selanjutnya divisi ilmu positif, yang meliputi mata pelajaran seperti matematika dan geografi.

• Mereka juga memperoleh pendidikan seni, kaligrafi, dan musik.

• Ke empat, adalah tentang adat-istiadat kekaisaran dan masalah-masalah pemerintahan.

• Terakhir, mereka dilatih menunggang kuda, anggar, persenjataan, dan memanah.

Dua divisi terakhir ini membuat perbedaan besar dengan madrasah biasa.

Para pengajar bukan hanya berasal dari anggota istana, melainkan juga sarjana tersohor dari luar istana. Mereka juga mendapatkan kelas olah raga yang diberikan oleh perwira tinggi militer pada sore hari atau di waktu-waktu luang. Enderun memiliki dua klub olah raga bernama “Bamyalar” dan “Lahanalar”. Siswa terkadang menjalankan tugas istana seperti menjaga hewan buruan, pakaian sultan, senjata dan ruang bawah tanah serta mengawasi perbendaharaan dan relik suci.

Enderun mendidik murid-muridnya dengan pendidikan yang sangat disiplin. Sekolah juga memberikan perhatian khusus pada kebersihan dan dandanan. Siswa yang meludah di lantai atau lupa menutup mulutnya dengan tisu saat bersin dihukum berat. Di antara semua siswa yang terbaik, dipilih sebagai iç oğlanatau anak laki-laki dalam rumah Sultan. Mereka tinggal di sekolah Istana selama dua atau tujuh tahun sebelum lulus dan dikirim ke rumah Sultan.

Siswa juga dapat lulus dari sekolah Istana jika mereka pandai dalam ilmu pengetahuan atau pemerintahan. Jika mereka gagal melakukannya, segera akan ditugaskan di militer. Perlu diketahui bahwa mereka yang berhasil lulus dari Enderun, tidak selamanya terbatas menjadi negarawan saja. Banyak juga dari mereka yang melanjutkan karir menjadi penyair, pelukis, arsitek, dan sejarawan.

Sayangnya, Enderun harus berakhir setelah mengabdi lebih dari 500 tahun, beriringan dengan ditinggalkan Istana Topkapı oleh sultan. Mekteb-i Mülkiye (Fakultas Ilmu Politik) didirikan untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh Enderun.

Pendidikan pejabat ala Enderun ini menghasilkan Tokoh-tokoh penting Usmaniyah, di antaranya adalah pejabat seperti Sokollu Mehmed Pasha, seorang Grand Vizier (menjabat tahun 1565–1579) yang membawa kejayaan bagi Kesultanan Usmaniyah, atau Sinan, arsitek terkemuka yang menciptakan keajaiban arsitektur seperti Masjid Süleymaniye di Istanbul. Pendidikan di Enderun tidak hanya membentuk individu tetapi juga memperkuat sistem pemerintahan berbasis nilai Islam yang adil dan terstruktur.

Dari Enderun ke Giri Kedaton

Menariknya, di era yang sama, di kepulauan Nusantara terdapat pula model pendidikan para calon pejabat istana kesultanan, yaitu yang diselenggarakan di sebuah institut bernama Giri Kedaton.

Giri Kedaton adalah sebuah kedatuan Islam yang terletak di Gresik, Jawa Timur, dan didirikan oleh Sunan Giri (Raden Paku) pada tahun 1481 setelah ia kembali dari belajar di Pasai dan Mekkah. Sunan Giri adalah salah satu dari Walisongo, tokoh penting dalam penyebaran Islam di Jawa. Giri Kedaton berkembang menjadi pusat pendidikan agama dan politik yang sangat berpengaruh di Nusantara.

Sunan Giri sebagai figur sentral di Giri Kedaton didaulat untuk memberikan gelar sultan kepada berbagai penguasa kesultanan di Nusantara, di antaranya Sultan Zainal Abidin dari Ternate, Sultan Syarif Hidayatullah dan lain sebagainya yang menunjukkan perannya dalam pembentukan dan islamisasi kerajaan-kerajaan lokal menjadi pemerintahan berbasis syariat Islam.

Lembaga ini akhirnya dikenal sebagai tempat pendidikan bagi banyak calon pejabat kesultanan di Nusantara. Pada masa kejayaannya, Giri Kedaton di bawah kepemimpinan Sunan Prapen (1548-1605) memiliki pengaruh yang sangat besar. Sunan Prapen sering diminta untuk meresmikan pengangkatan sultan-sultan baru di berbagai kerajaan Islam di Nusantara, seperti Demak, Pajang, dan Mataram. Hal ini menunjukkan bahwa Giri Kedaton memiliki legitimasi religius yang kuat, mirip dengan peran Paus di Eropa pada Abad Pertengahan.

Peradaban Islam Mencetak Pejabat yang Amanah, Bertakwa dan Berkompeten

Baik Enderun maupun Giri Kedaton menunjukkan bahwa pendidikan pejabat dalam tradisi Islam tidak pernah hanya berorientasi pada kompetensi teknis. Lebih dari itu, pendidikan diarahkan untuk membentuk pemimpin yang bertakwa, amanah dan menjadi agen penyebaran dakwah Islam.

Dalam sejarah Islam, ulama memiliki perhatian besar terhadap karakteristik pemimpin dan pejabat yang ideal. Fungsi mereka bukan sekadar sebagai pengambil keputusan administratif, melainkan sebagai penjaga keadilan dan pelayan umat. Para ulama telah menulis secara mendalam tentang hal ini dalam kitab-kitab klasik, menawarkan panduan yang tetap relevan di era modern.

Imam Al-Mawardi (w. 1058 M), dalam karyanya Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, merinci syarat utama bagi seorang pejabat: adil, berilmu, dan kompeten secara administratif serta militer. Menurut Al-Mawardi, keadilan adalah fondasi utama pemerintahan Islam. Tanpa keadilan, legitimasi seorang pemimpin akan hilang, sekalipun ia memiliki dukungan kekuatan militer atau popularitas. Ia juga menekankan pentingnya penguasaan hukum syariah agar pejabat mampu memutuskan kebijakan yang sesuai dengan prinsip Islam.

Seiring dengan itu, dalam As-Siyasah As-Syar’iyyah, Ibn Taimiyyah (w. 1328 M) mengidentifikasi dua kriteria inti untuk seorang pejabat: kekuatan (al-quwwah) dan kejujuran (al-amanah). Kekuatan meliputi kecakapan administratif, kepemimpinan militer, serta kemampuan untuk menghadapi tantangan politik. Amanah merujuk pada integritas moral, keadilan, dan rasa takut kepada Allah. Bagi Ibn Taimiyyah, kombinasi dua sifat ini menciptakan pejabat yang tidak hanya efektif dalam menjalankan tugas, tetapi juga mampu menghindari penyalahgunaan kekuasaan.

Ada pun Imam Al-Ghazali (w. 1111 M) dalam Ihya’ Ulumuddin menyoroti dimensi spiritual kepemimpinan. Ia menyatakan bahwa seorang pejabat harus memiliki rasa takut kepada Allah yang mendalam. Hal ini mendorongnya untuk berlaku adil, mengutamakan kepentingan rakyat, dan menahan diri dari godaan kekuasaan. Al-Ghazali mengingatkan bahwa jabatan adalah amanah berat, bukan penghormatan untuk disombongkan. Ia juga menekankan pentingnya akhlak mulia seperti kejujuran dan kesederhanaan dalam kehidupan pejabat.

Lebih dalam, memandang kaderisasi para pejabat dalam Islam mengharuskan adanya keseimbangan antara keadilan dan kebijaksanaan, sebagaimana yang ditegaskan oleh Syekh Al-Khatib dalam Tahrir Al-Ahkam fi Tadbir Ahl Al-Islam. Keadilan tanpa kebijaksanaan dapat berujung pada kekerasan, sedangkan kebijaksanaan tanpa keadilan menghasilkan kelemahan. Ia juga menekankan bahwa pejabat harus menghindari sifat tamak karena ketamakan adalah akar dari banyak kezaliman dalam pemerintahan. Jangan sampai pejabat malah berbuat kezaliman dan korupsi.

Sebagaimana diingatkan oleh Ibn Khaldun (w. 1406 M), melalui Muqaddimah, pemimpin adalah cermin dari moralitas masyarakatnya. Ketika pemimpin memiliki integritas tinggi, stabilitas masyarakat akan terjaga. Sebaliknya, korupsi dalam pemerintahan sering kali menjadi tanda awal keruntuhan peradaban.

Era Demokrasi: Degradasi Kualitas Pejabat Publik

Tradisi pendidikan pejabat era peradaban Islam yang mengedepankan pembentukan karakter negarawan yang bertakwa dan amanah ini menjadi pembeda dari sistem demokrasi modern, di mana pejabat sering kali dipilih berdasarkan popularitas atau dukungan finansial, bukan karena kapabilitas atau integritas. Akibatnya, tidak jarang terjadi krisis moral yang tercermin dalam sejumlah kasus korupsi.

Tercatat 601 kasus korupsi melibatkan kepala daerah (wali kota, bupati, dan jajarannya) dari tahun 2004 hingga 2023. 96 kepala daerah (10 gubernur dan 86 bupati/wali kota) ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama era Jokowi. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia mengalami penurunan selama periode ke dua kepresidenan Jokowi. Skor IPK turun dari 40 pada tahun 2019 menjadi 34 pada tahun 2022. Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) juga menunjukkan penurunan, dengan skor 3,92 pada tahun 2023, turun 0,01 poin dari tahun sebelumnya.

Memang, rendahnya kualitas moral bukan penyebab tunggal tren korupsi. Sistem demokrasi liberal memberi sumbangan yang cukup signifikan pada pembentukan budaya politik uang. Pengamat dan sejumlah institusi menyoroti bahwa tingginya biaya politik dalam sistem demokrasi di Indonesia menjadi salah satu faktor utama yang mendorong maraknya korupsi.

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), misalnya, menyatakan bahwa ongkos politik yang mahal, seperti untuk kampanye dan pemilu, sering kali membuka jalan bagi elite ekonomi untuk mengendalikan politik melalui uang. Tingginya biaya ini juga memicu praktik jual beli suara dan kelemahan sistem pemilu, sehingga memperburuk kualitas demokrasi.

ICW menambahkan bahwa mahalnya biaya politik mendorong pejabat untuk terlibat dalam korupsi guna mengembalikan modal yang telah dikeluarkan selama proses pemilihan. Hal ini sering kali mendorong pejabat memanfaatkan jabatan mereka untuk mendapatkan keuntungan pribadi demi menutup pengeluaran kampanye.

Mengembalikan Kaderisasi Pejabat yang Amanah

Di tengah tantangan zaman yang semakin kompleks, gagasan untuk menghidupkan kembali institusi semacam Enderun atau Giri Kedaton layak dipertimbangkan. Indonesia, dengan tradisi Islam yang kaya, memiliki potensi besar untuk melahirkan akademi pejabat modern yang berbasis nilai-nilai Islam. Akademi semacam ini dapat menjadi wadah untuk mencetak pemimpin yang tidak hanya cakap dalam mengelola negara, tetapi juga berakar pada moralitas Islam yang kuat.

Tentu saja, ada syarat yang harus dipenuhi untuk terciptanya kembali lembaga pendidikan semacam itu. Sebagaimana Ederun yang didukung oleh sistem politik kesultanan/kekhalifahan yang mendedikasikan kaderisasi pejabat ini untuk membesarkan dakwah Islam, dan Giri Kedaton yang disokong oleh kesultanan-kesultanan yang berdiri demi penerapan Islam, maka pendidikan pejabat publik ala Islam di masa depan juga tentu membutuhkan sistem pendukung berupa sistem dan kepemimpinan politik yang mendedikasikan diri untuk penerapan dan penyebaran Islam. []

Sumber: Ageung Suriabagja, SHI, M.Ag

About Author

Categories