Kalau Mau Khilafah Ya Dakwah, Bukan Sibuk dalam Demokrasi
MUSTANIR.net – “Rindu khilafah tegak, Imam Mahdi datang, tapi sibuk dalam demokrasi. Ibarat menunggu kereta api datang, tidak membangun rel, malah sibuk bangun jalan tol.”
Prolog
Terkadang kita menemui banyak orang yang punya cita-cita, tapi beramal tak sejalan dengan cita-citanya. Ingin menjadi pelaut ulung, tapi tidak pergi ke laut. Seraya sibuk dengan mengolah sawah dan menanam padi. Ketika ditanya, apa cita-citamu? Menjadi pelaut ulung!
Lalu berapologi bahwa untuk menjadi pelaut ulung harus punya sifat keteguhan. Harus bertahap, tidak bisa langsung melaut. Jadi harus diuji dengan bertani dulu, kalau lulus keteguhan dan kesabaran dalam bertani, barulah melaut.
Akhirnya meskipun bertahun-tahun bertani, panen raya maupun gagal panen, ya tetap saja tidak akan menjadi pelaut. Akhirnya dia terlena dengan tani sampai akhirnya mati sebagai petani.
Ada lagi orang yang merindukan datangnya kereta api di kampungnya. Bukannya memulai aktivitas membangun rel dan stasiun, malah jor-joran membangun jalan tol. Hingga ribuan kendaraan lalu lalang.
Untuk bisa mendatangkan kereta api, kita harus bertahap dimulai dari mendatangkan mobil. Lalu, kesibukannya hanya membangun jalan tol. Sampai ribuan kilometer jalan tol terbangun, tetap saja tak akan bisa mengantarkan datangnya kereta api.
Begitu juga orang yang merindukan khilafah. Merindukan datangnya al-Mahdi. Bukannya berdakwah, mencontoh Nabi dalam dakwah saat pertama kali membangun daulah Islam di Madinah, malah sibuk dengan demokrasi. Lalu dia berdalih, untuk sampai pada khilafah, kita harus bertahap dulu. Kita pilih presiden yang sholeh, lalu bertahap ke khilafah.
Padahal demokrasi diperbaiki sampai menjadi soleh tetap saja tak akan menghasilkan khilafah. Karena demokrasi adalah metode menerapkan sekulerisme. Pemilu dalam demokrasi desainnya untuk menghasilkan presiden, bukan khalifah.
Karena itu orang yang serius menginginkan khilafah, rindu kedatangan al-Mahdi, maka dia harus menyiapkannya dengan dakwah. Dia menyiapkan dirinya, jama’ah, dan umat, untuk memahami khilafah dan siap terlibat dalam perjuangan khilafah.
Dia harus menyiapkan ‘suasana umum penerimaan umat terhadap ide khilafah’, sehingga khilafah dipahami sebagai solusi dan dirindukan. Bukan malah ikut mengedarkan narasi sesat khilafah sebagai ancaman.
Ketika menyadari dan meyakini khilafah ajaran Islam dan akan kembali tegak, maka dia harus membuang demokrasi. Karena khilafah tidak kompatibel dengan demokrasi.
Amal yang tidak nyambung itulah yang sebenarnya menunda bahkan menjauhkan kembalinya khilafah. Semestinya umat fokus dengan dakwah dan meninggalkan demokrasi.
Energi yang ada dimaksimalkan untuk dakwah khilafah. Bukan malah tersihir dengan demokrasi, lalu rela berkorban dan menjadi tumbal demokrasi.
Lihatlah hari ini, betapa banyak umat Islam menjadi tumbal demokrasi. Lihatlah! Ribuan caleg stres karena gagal. Ratusan ribu pendukung ikut galau karena calonnya gagal. Betapa banyak sedekah dan bantuan ditarik kembali. Betapa banyaknya amal yang sia -sia tak dapat pahala, karena motifnya suara pemilu.
Dalam Islam, segala amal tergantung pada niat. Memberi beras itu amal sholeh, tapi begitu niatnya karena nyaleg, sia-sialah amal itu. Memberi minyak goreng itu amal soleh, tapi begitu niatnya karena nyaleg, sia-sialah amal itu. Memberi uang tunai itu amal soleh, tapi begitu niatnya karena nyaleg, sia-sialah amal itu.
Karena demokrasi, banyak amal umat Islam tertolak. Banyak amal yang sia sia karena tidak tercatat berpahala. Sungguh, kita semua harus memperbaiki amal dan niatan kita.
Ada pun jika niat dan tujuannya inginkan khilafah, inginkan syariah tegak, maka amalnya adalah dakwah. Bukan via pemilu, pilpres, dan perjuangan suara dalam demokrasi. []
Sumber: Ahmad Khozinudin