Mengapa Demokrasi Hanya Akan Membela Kepentingan Kapitalisme?
MUSTANIR.net – Kedaulatan Rakyat yang Menyingkirkan Kedaulatan Tuhan
Demokrasi yang kita kenal hari ini lahir secara kontroversial dalam panggung politik sejarah kekuasaan negara, sebagai akibat muaknya masyarakat Eropa atas kekuasaan para raja, bangsawan, maupun institusi gereja yang senantiasa mengatasnamakan Tuhan untuk melegitimasi kezalimannya.
Pergolakan ini berakhir dengan suatu jalan tengah, yaitu pemisahan agama dari kehidupan yang menyebabkan pemisahan agama dari negara (sekularisme). Sekularisme, yang menjadi ide dasar dari demokrasi, kemudian melahirkan dua konsep yang mutlak ada pada demokrasi, yaitu 1) Kedaulatan di tangan rakyat, dan 2) Rakyat sebagai sumber kekuasaan.
Teori kedaulatan rakyat melahirkan sebuah ide, bahwa rakyat harus memiliki peraturan hidupnya sendiri. Rakyatlah yang berhak membuat berbagai peraturan dan undang-undang. Sedangkan peran Tuhan yang sebelumnya dianggap sebagai satu-satunya pihak yang berhak membuat hukum, disingkirkan.
Sedangkan teori bahwa rakyat adalah sumber kekuasaan, berkonsekuensi bahwa penguasa diangkat berdasarkan suara mayoritas rakyat, yang kelak akan memerintah dengan peraturan dan undang-undang yang telah dibuat oleh rakyat.
Hal ini didasarkan atas asumsi, bahwa dengan jumlah masyarakat yang begitu banyak dan tentunya memiliki latar belakang yang berbeda-beda, maka cara paling masuk akal untuk menentukan hukum dan memilih pemimpin yang akan melaksanakan hukum adalah berdasarkan suara mayoritas. Namun, konsep-konsep inilah yang ternyata justru melahirkan kecacatan dari demokrasi itu sendiri.
1) Suara Mayoritas Mewakili Suara Rakyat
Faktanya, konsep ini tidak pernah terjadi. Para pejabat yang dipilih oleh rakyat sehingga dianggap mewakili suara mayoritas rakyat, sejatinya adalah orang-orang yang dipilih khusus oleh minoritas rakyat. Rakyat, tidak pernah memiliki kehendak untuk memilih calon mereka sendiri, karena yang memilihkan calon untuk mereka, adalah para elite partai politik (minoritas) yang tentu saja diisi oleh kalangan kapitalis.
Konsekuensinya, para wakil yang menang sebenarnya hanyalah suara minoritas (elite) yang dilegitimasi oleh rakyat (publik). Hal ini tak hanya berlaku dalam pemilihan anggota parlemen, namun juga dalam pemilihan kepala negara.
Saat seorang politisi berkuasa, mereka memiliki kepentingan yang berbeda-beda, tergantung bagaimana partai mengarahkan mereka. Sayangnya, para calon ini lahir dari kalangan minoritas (elite) yang bersekutu dalam sebuah partai politik yang dihuni oleh para pemilik modal. Akibat sistem kapitalisme yang memperbolehkan privatisasi dalam sektor yang seharusnya dikuasai oleh umum dan negara, maka para pemilik modal ini tentu saja mengambil kesempatan tersebut untuk memperoleh timbal balik atas modal yang telah mereka keluarkan. Walhasil, negara pun berjalan layaknya perusahaan yang dijalankan berdasarkan kepentingan para pengusaha besar, atau yang seringkali kita disebut dengan korporatokrasi.
Maka, para wakil rakyat yang merupakan calon pilihan partai yang dihuni oleh para pemilik modal, sejatinya merupakan pihak yang mewakili kehendak kaum kapitalis. Kondisi ini disebabkan, bahwa para kapitalis itulah yang mendudukkan mereka ke berbagai posisi pemerintahan dan lembaga-lembaga perwakilan.
Kalau partainya mendukung sebuah kebijakan, maka mereka ikut mendukung. Kalau partainya menolak, mereka ikut menolak. Singgasana mereka akan tetap aman selama seiring sejalan dengan kepentingan partai.
Hasilnya, undang-undang yang dihasilkan juga akan berpihak kepada para kapitalis. Karena, yang merancang, membahas, maupun yang memutuskan undang-undang adalah para kapitalis itu sendiri. Padahal, undang-undang yang dibahas itu juga bukan bidang keahlian mereka. Mereka hanyalah makhluk antah berantah yang ditunjuk oleh elite untuk dipilih oleh rakyat.
Beberapa pihak berusaha menepis anggapan ini dengan mengatakan, bahwa undang-undang diputuskan dengan mempertimbangkan tuntutan rakyat. Faktanya, meski suatu pendapat menjadi pendapat mayoritas rakyat, jika tidak sesuai dengan pendapat mayoritas pembuat undang-undang, maka pendapat rakyat itu harus dimentahkan. Fenomena ini menunjukkan, bahwa yang sejatinya berkuasa bukanlah rakyat, melainkan elite pejabat. Karena elit merasa telah mendapat mandat dari rakyat, jadi mereka bebas menentukan sesuatu sekehendak mereka walau bertentangan dengan pendapat mayoritas rakyat.
Dalam demokrasi, rakyat memang berdaulat. Tapi, kedaulatannya terbatas. Rakyat memang berdemokrasi, tapi demokrasinya berhenti sampai selesai pemilu dan pilkada.
Keputusan berdasarkan suara mayoritas ini merupakan ciri khas dari demokrasi. Walaupun demokrasi menawarkan pula nilai-nilai musyawarah, kompromi, dan konsensus (kemufakatan), tetapi hal tersebut tidaklah menjadi hal yang khas bagi demokrasi.
Musyawarah sebagai medan diskusi bukanlah suatu penentu, melainkan sekadar brainstorming untuk melihat pandangan lain yang mungkin ada. Sedangkan kompromi dan konsensus, merupakan titik temu yang juga eksis karena adanya kekuatan dominan yang memengaruhi semua pihak untuk tunduk pada satu pilihan. Baik musyawarah maupun kompromi, juga dilakukan dalam sistem selain demokrasi.
2) Tidak Jelasnya Standar Benar-Salah
Asas suara mayoritas menghasilkan konsekuensi, bahwa suatu keputusan diambil berdasarkan suara mayoritas. Sehingga, demokrasi bukanlah sistem yang dibangun berdasarkan nilai, melainkan berbasis kepentingan-kepentingan tertentu.
Dengan kata lain, segala keputusan didasarkan pada kebenaran relatif, bukan kebenaran yang mutlak.
Mekanisme ini memang diizinkan dalam demokrasi, akibat keterkaitannya dengan sekularisme. Karena tidak berbasis kebenaran mutlak, maka demokrasi mengakui potensi masuknya berbagai macam paham yang bahkan saling bertentangan. Dan untuk mengambil keputusan dari berbagai paham yang bertentangan ini, maka suara mayoritaslah yang menjadi standar kebenaran, bukan wahyu.
Kebenaran dan keadilan yang diproduksi oleh proses demokrasi hanyalah kebenaran dan keadilan versi mayoritas. Sehingga, pelaksanaan dan implementasi selanjutnya hanyalah penyelenggaraan berdasarkan kepentingan mayoritas. Celakanya, mayoritas suara rakyat adalah suara yang disetir oleh elite. Suara ini tidak dihasilkan berdasarkan kearifan intelektual atau filosofikal, melainkan kepentingan kapital.
Hukum halal-haram bisa berubah hanya karena kesepakatan mayoritas yang diwakili oleh kepentingan kapital. Dalam ruang lingkup negara, hal ini terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif.
Misalnya, apa yang kita temui dalam fenomena utang berbasis riba demi meningkatkan perekonomian negara, diperbolehkannya bunga bank, kebebasan keluar-masuk agama (murtad), bahkan lokalisasi prostitusi dengan dalih agar zina tidak menyebar luas di tengah masyarakat.
Demokrasi yang juga mengizinkan hadirnya sistem multi partai, menghasilkan konsekuensi: jika tidak ada satu partai politik besar yang mampu meraih suara mayoritas mutlak, maka antar partai, mau tidak mau, suka tidak suka, harus melakukan koalisi. Inilah saat di mana idealisme pertai dilebur, yang bersatu berdasarkan kepentingan-kepentingan tertentu dalam jangka waktu tertentu.
Tak ada musuh abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi.
Akibat kapitalisme dan sekularisme yang dijadikan asas kehidupan bermasyarakat, serta belum diterimanya ideologi Islam sebagai opini umum dan solusi alternatif, maka partai yang menang tentu saja partai yang istiqomah menjalankan prinsip-prinsip sekularisme dan kapitalisme. Masyakarat akan disetir oleh uang dan janji pemilik modal, bukan oleh nilai- nilai Islam atau nilai-nilai agama tertentu. Akibatnya, partai yang besar adalah partai yang dibentuk berdasarkan kapitalisme, yang kemudian mendikte partai yang lebih kecil yang kurang total dan ‘malu- malu kucing’ dalam melaksanakan kapitalisme.
Bagaimanapun juga, demokrasi adalah sistem politik hasil karya pikiran manusia yang tentu saja berdasarkan akal, bukan wahyu. Dengan landasan tersebut, usaha menyatukan Islam dan demokrasi akan selalu mengalami kebuntuan. Memaksakan Islam bersandingan dengan demokrasi akan menimbulkan dua konsekuensi.
Pertama, Islam akan terpental dari sistem. Dan yang ke dua, dihentikannya syi’ar Islam dan pengaburan sebagian nilai syari’ah agar cocok dengan “baju” demokrasi. Maka, tak dapat diragukan lagi, bahwa institusi yang mengakomodir makna kedaulatan Islam tak mungkin bisa dilahirkan melalui wacana demokrasi Islami atau pun Islamisasi demokrasi. []
Sumber:
• Abdul Qadim Zallum. 2015. Demokrasi Sistem Kufur: Haram Mengambil, Menerapkan, dan Menyebarluaskannya. Pustaka Thariqul Izzah: Bogor.
• Muhammad Choirul Anam. 2015. Cinta Indonesia Rindu Khilafah. Dakwah Media Publishing: Semarang.
• Prof. Miriam Budiardjo. 2013. Dasar-dasar Ilmu Politik. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
• Taqiyuddin an Nabhani. 2022. Pembentukan Partai Politik Islam. Pustaka Fikrul Islam: Bogor.