Ketahanan Pangan Dalam Sistem Islam

ketahanan-pangan

Ketahanan Pangan Dalam Sistem Islam

Mustanir.com – Ketahanan pangan dalam sistem Islam tidak terlepas dari sistem politik Islam. Politik ekonomi Islam yaitu jaminan pemenuhan semua kebutuhan primer (kebutuhan pokok bagi individu dan kebutuhan dasar bagi masyarakat) setiap orang individu per individu secara menyeluruh, berikut jaminan kemungkinan bagi setiap orang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersiernya, sesuai dengan kadar kesanggupannya sebagai individu yang hidup dalam masyarakat yang memiliki gaya hidup tertentu.

Terpenuhinya kebutuhan pokok akan pangan bagi tiap individu ini akan menentukan ketahanan pangan Daulah.  Selain itu, ketersediaan dan keterjangkauan bahan pangan yang dibutuhkan oleh rakyat besar pengaruhnya terhadap kesejahteraan dan kualitas sumber daya manusia.  Hal itu berpengaruh pada kemampuan, kekuatan dan stabilitas negara itu sendiri.  Juga mempengaruhi tingkat kemajuan, daya saing dan kemampuan negara untuk memimpin dunia. Lebih dari itu, negara harus memiliki kemandirian dalam memenuhi kebutuhan pangan pokok dan pangan utama dari daam negeri.  Sebab jika pangan pokok dan pangan utama berkaitan dengan hidup rakyat banyak tergantung pada negara lain melalui impor hal itu bisa membuat nasib negar tergadai pada negara lain.  Ketergantungan pada impor bisa membuka jalan pengaruh asing terhadap politik, kestabilan dan sikap negara.  Ketergantungan pada impr juga berpengaruh pada stabilitas ekonomi dan moneter, bahkan bisa menjadi pemicu krisis.  Akibatnya stabilitas dan ketahanan negara bahkan eksistens negara sebagai negara yang independen, secara keseluruhan bisa menjadi taruhan.

Karena itu ketahanan pangan dalam Islam mencakup: (1) Jaminan pemenuhan kebutuhan pokok pangan; (2) Ketersediaan pangan dan keterjangkauan pangan oleh individu masyarakat; dan (3) Kemandirian Pangan Negara.

Jaminan Pemenuhan Kebutuhan Pokok Pangan

Negara  dalam pandangan Islam memiliki tugas untuk melakukan kepengurusan terhadap seluruh urusan rakyatnya, baik dalam ataupun luar negri ( ri’âyah su`ûn al-ummah). Islam mewajibkan negara menjamin pemenuhan kebutuhan pokok pangan (selain kebutuhan pokok sandang dan papan serta kebutuhan dasar pendidikan,kesehatan dan keamanan) seluruh rakyat individu per individu.  Dalil bahwa itu merupakan kebutuhan pokok diantaranya bahwa imam Ahmad telah mengeluarkan hadits dengan sanad yang dishahihkan oleh Ahmad Syakir dari jalur Utsman bin Affan ra., bahwa Rasulullah saw bersabda:

«كُلُّ شَيْءٍ سِوَى ظِلِّ بَيْتٍ، وَجِلْفِ الْخُبْزِ، وَثَوْبٍ يُوَارِي عَوْرَتَهُ، وَالْمَاءِ، فَمَا فَضَلَ عَنْ هَذَا فَلَيْسَ لابْنِ آدَمَ فِيهِ حَقٌّ»

Segala sesuatu selain naungan rumah, roti tawar, dan pakaian yang menutupi auratnya, dan air, lebih dari itu maka tidak ada hak bagi anak Adam di dalamnya

Hadits tersebut juga dinyatakan dengan lafazh lain:

«لَيْسَ لابْنِ آدَمَ حَقٌّ فِي سِوَى هَذِهِ الْخِصَالِ: بَيْتٌ يَسْكُنُهُ، وَثَوْبٌ يُوَارِي عَوْرَتَهُ، وَجِلْفُ الْخُبْزِ وَالْمَاءِ»

Anak Adam tidak memiliki hak pada selain jenis ini: rumah yang ia tinggali, pakaian yang menutupi auratnya dan roti tawar dan air (HR at-Tirmidzi dan ia berkata hasan shahih)

Ini menunjukkan bahwa apa yang disebutkan di dalam lafazh hadits itu yaitu pangan, papan dan sandang: «zhillu baytin –naungan rumah», «bayt yaskunuhu –rumah yang ia diami-», «tsawbun yuwârî ‘awratahu –pakaian yang menutupi auratnya-», «jilfu al-hubzi wa al-mâ’ –roti tawar dan air-» itu sudah cukup dan di dalamnya ada kecukupan.  Sabda Rasul di dalam hadits tersebut «apa yang lebih dari ini maka anak Adam tidak memiliki hak di dalamnya» di sini sangat gamblang bahwa tiga kebutuhan inilah yang merupakan kebutuhan pokok.  Kedua hadits ini menyatakan tentang kebutuhan-kebutuhan pokok yaitu pangan, papan dan sandang.  Yang lebih dari itu maka bukan kebutuhan pokok, dan pemenuhannya terjadi dimana kebutuhan-kebutuhan pokok individu itu telah terpenuhi.

Dalam memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok itu termasuk kebutuhan pokok pangan negara akan menggunakan mekanisme ekonomi dan non ekonomi seperti yang diatur oleh hukum syara’.

Mekanisme Non Ekonomi

Negara memastikan agar hukum-hukum syariat terkait dengan nafkan berjalan sebagaimana mestinya. Islam memerintahkan agar setiap laki-laki bekerja untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan kebutuhan orang-orang yang berada dibawah tanggungannnya (QS. al-Baqarah [2]: 233). Jika kemudian pemenuhan kebutuhan pokok dia dan keuarganya belum terpenuhi, baik karena ia tidak bisa bekerja atau pendapatannya tidak cukup, maka kerabatnya mulai yang terdekat diwajibkan untuk turut menanggungnya (QS. al-Baqarah [2]: 233).  Jika belum terpenuhi juga maka tanggungjawab itu beralih menjadi kewajiban baitul mal (negara).  Rasul saw bersabda:

« اَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ، مَنْ تَرَكَ مَالاً فَلِأَهْلِهِ، وَمَنْ تَرَكَ دَيْنًا أَوْ ضِيَاعًا، فَإِلَيَّ، وَعَلَيَّ  »

“Aku lebih utama dibandingkan orang-orang beriman daripada diri mereka, siapa yang meninggalkan harta maka bagi keluarganya, dan siapa yang meninggalkan hutang atau tanggungan keluarga, maka datanglah kepadaku, dan menjadi kewajibanku.” (HR. an-Nasai dan Ibnu Hibban)

Disamping itu, ketika kebutuhan pokok termasuk kebutuhan pokok pangan tidak terpenuhi maka orang tersebut berhak atas harta zakat.  Karena itu orang tersebut berhak meminta harta zakat ke Baitul Mal dan amil zakat.

Mekanisme ekonomi

Mekanisme ekonomi yang dimaksud di sini adalah keterlibatan individu dalam aktivitas ekonomi untuk mendapatkan harta sehingga ia bisa memenuhi kebutuhan dia dan keluarganya.  Mekanisme ini saling melengkapi dengan mekanisme non ekonomi di atas.  Secara lebih tepatnya adalah pemberian peluang bagi setiap orang khususnya laki-laki untuk bekerja.  Sebab Islam mewajibkan setiap laki-laki yang mampu untuk bekerja. Dalam hal ini negara wajib menyediakan lapangan dan kesempatan kerja.

Untuk menyediakan lapangan dan kesempatan kerja bagi rakyat, Negara bisa menempuhnya dengan cara langsung dan tidak langsung.  Cara langsung artinya negara secara langsung membuka lapangan kerja dengan membuka proyek-proyek pembangunan khususnya proyek padat karya.  Kesempatan kerja justru lebih banyak bisa diberikan oleh negara secara tidak langsung.  Jadi bukan negara yang secara langsung membuka lapangan kerja, tapi masyarakatlah yang membuka lapangan kerja melalui kegiatan usaha yang mereka lakukan.  Agar kesempatan kerja bisa terbuka seluas-luasnya melalui cara ini, negara harus mewujdukan dan menjamin adanya iklim usaha yang kondusif bagi masyarakat. Untuk itu setidaknya negara harus menjamin terealisasinya hal-hal berikut:

Negara harus menjamin terlaksananya hukum-hukum syara terkait dengan ekonomi, seperti hukum-hukum kepemilikan, pengelolaan  dan pengembangan kepemilikan, serta distribusi harta di tengah masyarakat.

Menjamin terlaksananya mekanisme pasar yang sesuai syari’at. Negara akan menghilangkan dan memberantas berbagai distorsi yang menghambat, seperti penimbunan, kanzul mal (QS at-Tawbah [9]: 34), riba, monopoli, penipuan.  Negara juga harus menyediakan informasi ekonomi dan pasar serta membuka akses informasi itu untuk semua orang sehingga akan meminimalkan terjadinya informasi asimetris yang bisa dimanfaatkan oleh pelaku pasar mengambil keuntungan secara tidak benar.

Negara harus mengembangkan sistem birokrasi dan administrasi yang sederhana dalam aturan, cepat dalam pelayanan, dan profesional. Dalam hal ini, untuk membuka usaha misalnya, tidak perlu izin. Meski dalam hal pembukaan usaha tetap ada aturan-aturan teknis dan administratif sesuai hukum syara’ dalam rangka agar tidak terjadi pelanggaran hak individu dan umum oleh para pelaku usaha, seperti aturan tentang RTRW, izin lingkungan, dsb. Negara juga akan menghilangkan berbagai pungutan, retribusi, cukai dan pajak yang bersifat tetap.  Dalam konteks perdagangan luar negeri negara tidak akan memungut bea import ataupun ekspor dari para pedagang warga negara.

Negara memberikan bantuan teknis, teknologi dan litbang, informasi, dan modal kepada rakyat yang mampu berusaha/bekerja.

Negara menghilangkan sektor non riil, sehingga harta hanya akan berputar di sektor riil (produksi dan distribusi barnag dan jasa).  Denga begitu semua kegiatan ekonomi akan berefek langsung pada kemajuan perekonomian secara riil.

Ketersediaan dan Keterjangkauan Pangan

Ketersediaan pangan yang dimaksudkan adalah tersedianya stok pangan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat.  Sementara keterjangkauan pangan adalah tersedianya pangan secara merata di semua wilayah dengan tingkat harga yang wajar.  Ketersediaan pangan itu erat kaitannya dengan produksi pangan. Sedangkan keterjangkauan pangan erat kaitannya dengan distribusi dan keseimbangan supply dan demand.

Untuk menjamin ketersediaan pangan maka negara harus menjamin produksi pangan pada tingkat yang mencukupi kebutuhan masyarakat.  Dan jika produksi dalam negeri tidak cukup maka bisa dipenuhi dari impor dengan tetap memperhatikan kemaslahatan dalam negeri dan negara.  Untuk menjamin produksi pangan setidaknya negara harus melakukan hal-ha berikut:

Negara harus menjamin pelaksanaan politik pertanian dan politik pertanahan syariah.  Hal itu akan menjamin ketersedian lahan dan produktivitas lahan.  Dalam Islam, tanah-tanah mati yaitu tanah yang tidak tampak adanya bekas-bekas tanah itu diproduktifkan, maka tanah mati itu bisa dihidupkan oleh siapa saja baik dengan cara memagarinya dengan maksud untuk memproduktifkannya atau menanaminya dan tanah itu menjadi milik orang yang menghidupkannya itu.  Rasul bersabda:

« مَنْ أَحْيَى أَرْضًا مَيْتَةً فَهِيَ لَهُ »

Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya (HR. Tirmidzi, Abu Dawud)

Selanjutnya, siapapun yang memiliki tanah baik dari menghidupkan tanah mati atau dari warisan, membeli, hibah, dsb, jika ia telantarkan tiga tahun berturut-turut maka hak kepemilikannya atas tanah itu hilang.  Selanjutnya tanah yang ditelantarkan pemiliknya tiga tahun berturut-turut itu diambil oleh negara dan didistribusikan kepada individu rakyat yang mampu mengolahnya, tentu dengan memperhatikan keseimbangan ekonomi dan pemerataan secara adil. Abu Yusuf meriwayatkan di dalam kitab al-Kharâj dari Umar bin al-Khathab :

« … لَيْسَ لِمُحْتَجِرٍ حَقٌّ بَعْدَ ثَلاَثِ سِنِيْنَ »

… Tidak ada hak bagi orang yang memagari tanah mati setelah tiga tahun

Humaid bin Zanjawaih an-Nasa’iy dalam kitab al-Amwâl meriwayatkan dari jalan Amr bin Syu’aib bahwa Nabi saw memberikan tanah kepada orang-orang dari Juhainah lalu mereka membiarkannya dan menelantarkannya, lalu datang kaum yang lain dan menghidupkannya.  Kemudian orang-orang Juhainah itu mengadukannya kepada Umar bin Khathab, lalu Umar berkata : seandainya itu dari pemberianku atau dari Abu Bakar maka aku tidak akan ragu, tetapi itu adalah pemberian Rasulullah saw (artinya sudah ditelantarkan lebih dari tiga tahun). Dan Umar berkata :

« مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَعَطَلَهَا ثَلاَثَ سِنِيْنَ لاَ يَعْمُرُهَا فَعَمَرَهَا غَيْرُهُ فَهُوَ أَحَقٌّ بِهَا »

Siapa saja yang memiliki tanah lalu ia telantarkan tiga tahun tidak ia gunakan, lalu orang lain menggunakannya maka orang lain itu lebih berhak atas tanah itu

Ibn Hajar al-Ashqalani berkomentar bahwa riwayat ini mursal dan para perawinya tsiqah (Ibn Hajr, ad-Dirâyah fi Takhrîj Ahâdîts al-Hidâyah, II/243, Dar al-Ma’rifah, Beirut).

Dengan ketentuan itu maka tanah akan terdistribusi kepada rakyat. Dan lebih dari itu akan terjamin bahwa tanah yang ada akan produktif dan meminimalkan bahkan menghilangkan adanya tanah terlantar.  Sebagai gambaran, saat ini di Indonesia terdapat 7,5 juta ha tanah terlantar dimana 2,1 juta ha diantaranya layak untuk pertanian.

Dengan hukum-hukum ini maka akan tersedia lahan yang cukup untuk pertanian, dan semua laha yang ada akan produktif.  Jika lahan yang ada dirasakan masih kurang, maka negara bisa melakukan ekstensifikasi dengan membuka lahan baru.  Hal itu seperti yang dilakukan pada masa pemerintahan Umar bin al-Khaththab ra dan dilanjutkan pada masa umayyah.  Pada waktu itu daerah delta sungai Eufrat dan Tigris dan daerah rawa-rawa di Irak dikeringkan dengan jalan dibangun saluran-saluran air /irigasi kemudian lahan itu direkayasa menjadi lahan pertanian dan selanjutnya dibagikan kepada akyat yang mampu menanaminya.

Disamping itu, negara juga menggunakan pendekatan intensifikasi pertanian.  Intensifikasi  pertanian itu dimaksudkan untuk meningkatkan produktifitas tanah.  Intensifikasi itu dilakukan dengan memanfaatkan kemajuan sains dan teknologi, penggunaan pupuk, obat-obatan, teknologi, teknik produksi, pola tanam,  penggunaan benih unggul, penggunaan alat dan mesin pertanian, termasuk pemanfaatan teknologi kultur jaringan dan rekayasa tanaman dan rekayasa genetika, dan sebagainya.  Untuk itu, negara haus membangun pusat-pusat kajian dan litbang pertanian secara luas.  Hasil-hasil litbang itu harus bisa diakses secara terbuka dan luas oleh masyarakat.  Tidak adanya hak patent sangat besar pengaruhnya dalam hal ini.  Hasillitbang itu misalnya benih unggul, bisa langsung dibudidayakan dan dikembangkan oleh siapa saja dan disebarkan.  Tidak seperti sekarang, banyak hasil litbang yang tidak serta merta bisa dimanfaatkan oleh para petani.  Sebab ada peraturan dimana yang bisa memasarkan benih hanyalah perusahaan yang berizin dan bersertifikasi.  Akibatnya, budidaya dan pemasaran benih hanya dikuasai oleh para pemodal, sementara para petani tidak bisa mengaksesnya degan mduah. Bahkan tiga orang petani di Kediri harus dipenjara karena menjual benih jagung hasil budidayanya dengan alasan ketiganya tidak punya izin budidaya dan pemasaran benih.  Hal demikian tidak boleh terjadi di dalam daulah.  Penggunaan alat dan mesin pertanian hanya bisa efektif jika didukung oleh politik industri yang tepat.

Dalam hal ini, daulah akan mengedepankan industri berat dan industri mesin dan peralatan sebagai strategi industrialisasi dan strategi menciptakan kemandirian dan kemajuan teknologi.  Produksi pertanian yang baik apalagi intensifikasi tidak bisa jalan tanpa didukung oleh infrastruktur pertanian yang memadai.  Karena itu sebagai bagian dari ri’ayah asy-syu’un, negara melalui direktorat terkait harus membangun infratsruktur pertanian seperti waduk, bendungan, jaringan irigasi, balai-balai pertanian, jalan, dsb.  Disamping itu negaa juga harus memiliki tenaga penyuluh dan pembimbing pertanian yang mencukupi dan memiliki kemampuan yang memadai untuk memberikan penyuluhan, pembimbingan dan memandu para petani melakukan produksi dengan teknik, cara yang paling efisien dan paling produktif.  Diluar semua itu, negara pun bisa memberikan bantuan subsidi langsung maupun tidak langsung, bantuan fasilitas, informasi dan bantuan lainnya yang dibutuhkan, seperti yang dahulu pernah dicontohkan oleh Umar bin al-Khaththab dan Umar bin Abdul Aziz dan para khalifah lainnya.  Dengan semua itu maka ketersediaan pangan bisa diwujdukan.

Keterjangkauan Pangan

Keterjangkauan pangan yang dimaksudkan adalah terdistribusinya pangan di seluruh wilayah dan dengan tingkat harga yang wajar.  Untuk itu pembangunan infrastruktur jalan dan transportasi menjadi suatu keniscayaan.  Begitu pula penyebaran informasi pasar dan informasi produksi juga harus dikelola dengan baik oleh negara dan dibuka aksesnya untuk semua.  Pendistribusian hasil pertanian ke seluruh wilayah tentu membutuhkan waktu, sementara sifat produk pertanian kebanyakan adalah perishable (mudah rusak).  Karena itu untuk menjamin keterjangkauan pangan ini, negara juga harus mengembangkan teknologi pasca panen dan menyebarkannya ke para petanidan pelaku usaha pertanian.  Litbang untuk itu bisa dikerjakan di pusat-pusat litbang yang didirikan oleh daulah.  Teknologi pasca panen jelas menuntut penguasaan seain sains juga teknologi dan pengadaan teknologi itu.  Dalam hal ini politik industri yang mengedepankan industri berat, mesin dan peralatan akan sangat membantu.

Keterjangkauan pangan juga mencakup kekontinuan supply pangan.  Kekontinuan supply itu bisa diwujudkan dengan pengaturan stok dan pengendalian logistik.  Pengaturan logistik diantaranya dengan menerapkan pengaturan pola dan musim tanam yang dikombinasikan dengan pembagian atau pengaturan daerah produksi.  Hal itu bisa dilengkapi dengan pengembangan sentra-sentra produksi produk pertanian dengan memperhatikan kesesuaian antara jenis tanaman dengan karakteristik tanah dan iklim tiap daerah.  Sementara pengaturan stok dan supply bisa dilakukan dengan mendistribusikan produk dari daerah-daerah sentra produksi atau yang surplus ke daerah-daerah lain yang kurang.  Untuk itu negara harus memiliki badan yang mengelola informasi pasar dan informasi pertanian termasuk produksi.  Sekarang pengelolaan informasi semua itu bisa dilakukan secara real time.  Adanya badan seperti itu seperti yang cikal bakalnya dicontohkan oleh Rasul saw.  beliau mengangkat Hudzaifah ibn al-Yaman sebagai katib yang mencatat hasil produksi Khaybar dan hasil produksi pertanian. Bisa juga negara membeli hasil pangan dan menyimpannya di gudang-gudang negara untuk didistribusikan ketika supply mengalami kekurangan.  Dengan kebijakan itu maka harga pangan bisa dijaga pada tingkat yang wajar.  Untuk itu perlu ada badan negara yang berfungsi sebagai penyangga harga dan keseimbangan supply dan deman, khususnya untuk produk-produk pangan pokok dan pangan utama.  Badan itu bisa saja seperti Bulog.

Kebijakan pengendalian harga dengan mengendalikan supply dan demand menggunakan menakisme pasar seperti itulah yang harus dilakukan.  Sebab Islam melarang kebijakan pematokan harga.  Anas ra. menceritakan:

غَلاَ السِّعْرُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ e فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ سَعِّرْ لَنَا.فَقَالَ «إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمُسَعِّرُ الْقَابِضُ الْبَاسِطُ الرَّزَّاقُ وَإِنِّى لأَرْجُو أَنْ أَلْقَى رَبِّى وَلَيْسَ أَحَدٌ مِنْكُمْ يَطْلُبُنِى بِمَظْلَمَةٍ فِى دَمٍ وَلاَ مَالٍ »

Harga meroket pada masa Rasulullah saw lalu mereka (para sahabat) berkata: “ya Rasulullah patoklah harga untuk kami”. Maka Beliau bersabda: “sesungguhnya Allahlah yang Maha Menentukan Harga, Maha Menggenggam, Maha Melapangkan dan Maha Pemberi Rezki dan aku sungguh ingin menjumpai Allah dan tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntutku karena kezaliman dalam hal darah dan harta (HR at-Tirmidzi, Ibn Majah, Abu Dawud, ad-Darimi, Ahmad)

Praktek pengendalian supply seperti itu pernah dicontohkan oleh Umar bin al-Khaththab ra. Pada  waktu tahun paceklik dan Hijaz dilanda kekeringan, Umar bin al-Khaththab ra menulis surat kepada walinya di Mesir Amru bin al–‘Ash  tentang kondisi pangan di Madinah dan memerintahkannya untuk mengiripkan pasokan. Lalu Amru membalas surat tersebut, “saya akan mengirimkan unta-unta yang penuh muatan bahan makanan, yang “kepalanya” ada di hadapan Anda (di Madinah) dan dan ekornya masih dihadapan saya (Mesir)  dan aku lagi mencari jalan untuk mengangkutnya dari laut”.

Disamping semua itu, negara juga harus melarang perserikatan/asosiasi produsen, konsumen atau pedagang melakukan kesepakatan, kolusi atau persekongkolan untuk mengatur dan mengendalikan harga atau perdagangan, misalnya membuat kesepakatan harga jual minimal.  Hal itu berdasarkan sabda Rasul saw:

« مَنْ دَخَلَ فِى شَىْءٍ مِنْ أَسْعَارِ الْمُسْلِمِينَ لِيُغْلِيَهُ عَلَيْهِمْ فَإِنَّ حَقًّا عَلَى اللَّهِ أَنْ يُقْعِدَهُ بِعُظْمٍ مِنَ النَّارِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ »

Siapa saja yang turut campur (melakukan intervensi) dari harga-harga kaum Muslimin untuk menaikkan haga atas mereka, maka adalah hak bagi Allah untuk mendudukkannya dengan tempat duduk dari api pada Hari Kiamat kelak (HR Ahmad, al-Baihaqi, ath-Thabarani)

Dalam hadits ini terdapat ‘illat yaitu untuk memahalkan harga atas masyarakat.  Maka apa saja yang disitu ada unsur untuk memahalkan harga maka tercakup dalam ancaman hadits ini.

Kadang kala, para produsen, penjual, pedagang, pembeli, profesi atau penyedia jasa tertentu, dsb, mereka berkumpul atau berasosiasi untuk menyepakati batas harga/sewa/upah tertentu; menghalangi harga yang lebih rendah atau lebih tinggi dari batas yang mereka sepakati; atau untuk mengatur harga secara tak langsung dengan membagi kuota diantara mereka. Hal itu berpotensi besar memahalkan harga bagi masyarakat, dan itu jelas tercakup dalam ancaman hadits ini.  Maka dalam konteks seperti ini, perkumpulan atau asosiasi itu berpotensi besar menjadi wasilah kepada yang haram, sehingga hukumnya haram.  Negara harus melarang perkumpulan atau asosiasi seperti itu.

Kemandirian Pangan Negara

Terpenuhinya kebutuhan pangan dalam suatu Negara dan adanya jaminan terpenuhinya kebutuhan pangan bagi setiap individu dan tersedianya sarana dan prasarana yang memadai secara otomatis akan mampu menciptakan ketahanan pangan suatu Negara. Begitupun sebaliknya. Karena itu jaminan tersedianya pangan yang dibutuhkan oleh masyarakat suatu Negara harus mendapat perhatian penting dari Negara.  Ketersediaan pangan bisa dilakukan dengan  meningkatkan produksi pangan dalam negri ataupun dengan impor bahan pangan dari luar negri.  Kebijakan impor pangan dari luar negeri diambil oleh Negara tentu setelah Negara mengambil kebijakan dan strategi peningkatan produksi pangan nasional sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. Kebijakan impor pangan yang diambil oleh Negara tentulah harus memperhatikan bebera hal yang terkait dengan kekuatan politik Negara. Contoh kondisi negeri ini yang sangat tergatung pada impor bisa mempengaruhi stabilitas dalam negeri.  Seperti kedelai, dari kebutuhan sebesar 3 juta ton, produksi dalam negri banya 800.000 ton saja. Artinya 2,2 juta ton harus diimpor dan 90%-nya dari Amerika. Hal sama juga terjadi atas gandum yang 100 % impor, jagung, gula, bahkan garam.  Ketika produksi pangan negara asal impor mengalami gangguan, atau terjadi spekulasi harga di tingkat internasional sehingga harga melambung seperti yang terjadi beberapatahun lalu, maka stabilitas dalam negeri ini akan terganggu.

Kareba itu impor pangan haruslah tidak terus menerus, dan tidak boleh dijadikan sandaran penyediaan pangan dalam negeri sebab hal itu akan menyebabkan ketergantungan kepada negara lain.  Jika itu terjadi, hal itu membuka jalan bagi negara lain itu untuk mengintervensi bahkan mengontrol Negara baik secara langsung maupun tidak langsung.  Yang demikian adalah haram sebab kita haram menyediakan jalan bagi kaum kafir untuk menguasai kaum mukmin.  Allah SWT berfirman:

] وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاً [

dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. (TQS. an-Nisa’ [4]: 141).

Karenanya negara harus benar-benar memperhatikan kebijakan impor bahan pangan. Ataupun kebijakan ekspor jika kebutuhan pangan itu belum memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Dalam hal ini, daulah harus mengupayakan semaksimal mungkin terwujudnya kemandirian pangan dengan memenuhi kebutuhan pangan dari produksi dalam negeri.  Dengan strategi yang dipaparkan di atas maka kemandirian pangan itu bisa diwujudkan, insya’a Allah.

Semua kebijakan dan straetegi itu hanya akan bisa berjalan dengan baik jika didukung oleh kepemimpinan yang baik adlam sistem kenegaraan yang bisa terjamin adanya keterpaduan antar sektor, bukan malah terjadi ego antar sektor ditengah kepemimpinan yang lemah seperti saat ini.  Hal itu hanya bisa terwujud dalam sistem Khilafah ‘ala minhan an-nubuwwah. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories