Ketika Muslimah Memadu Pernikahan dan Dakwah

Ketika Muslimah Memadu Pernikahan dan Dakwah

Menikah dan berdakwah? Mungkinkah memadukan keduanya dalam sebuah rumah tangga?

Masalah ini kerapkali luput dari perhatian ikhwan dan akhwat yang aktif berdakwah ketika masih lajang. Luput dari perhatian yang dimaksud adalah mereka lupa mempersiapkan secara cerdik bagaimana menyikapi dan memenej aktivitas dakwah pasca nikah.

Para ikhwan, setelah menikah otomatis menjadi suami dan calon-calon abi yang tugas dan tanggung jawab menumpuk di pundaknya. Dari mulai mencari nafkah sampai memberikan perhatian untuk keluarga. Adapun seorang akhwat, setelah menikah otomatis menjadi seorang istri dan ibu, yang notabene kawasan kerjanya lebih banyak di dalam rumah karena berkaitan dengan tugas rumah tangga dan pendidikan anak.

Banyak pasangan aktivis yang dapat memperhatikan mobilitas mereka pasca nikah. Mereka mempersiapkan secara cerdik dan membangun semangat bersama untuk tetap istiqomah di jalan dakwah tanpa mengabaikan tanggung jawab terhadap keluarga. Namun ada juga, bahkan tak sedikit, ikhwan dan akhwat yang pada masa lajangnya aktif dalam kegiatan dakwah, tiba-tiba redup semangatnya setelah menikah.

Apakah ini berarti bahwa kedua tanggung jawab besar itu tidak dijalankan secara beriringan? Tiap orang tentu akan menjawab berbeda, karena lagi-lagi ini menyangkut kesiapan setiap pribadi. Bagi Anda yang belum menikah dan punya ghirah tinggi untuk tetap istiqomah di jalan dakwah, sudah selayaknya mempersiapkan diri.

Sadari

Keberadaan kita dijalan dakwah harus disadari sepenuhnya. Sebagaimana dakwah merupakan tuntutan setelah berilmu dan beramal. Karena itu, kita tidak bisa memilih jalur aman dengan hanya mengatakan,”Ah, kan sudah banyak yang berdakwah”. Sesungguhnya setiap kita mendapat amanah yang sama, tentu dengan bentuk dan porsi yang berbeda-beda. Lagi-lagi hal ini berkaitan dengan kesiapan masing-masing pribadi. Yang terpenting, yang harus senantiasa kita tanamkan bahwa keberadaan kita di dunia ini bukan sekedar untuk meramaikannya. Namun lebih mulia dibanding itu, yaitu menjalankan ibadah kepada Allah. Sebagaimana yang Allah sebutkan dalam surat Adz-dzariyat ayat 56.

Siapkan Niat

Niat, tampaknya sepele padahal memberikan pengaruh ekstra luar biasa. Ia menjadi kekuatan penggerak yang bisa terlihat wujudnya secara kasat mata, entah baik atau buruk. Seorang ikhwan atau akhwat yang pada masa lajangnya aktif mengikuti kajian atau dakwah demi sekedar memperoleh jodoh, misalnya, tentu akan lebih mudah mengalami penurunan semangat setelah tujuannya tadi kesampaian. Berbeda dengan para aktivis yang benar-benar meniatkan aktivitas dan dakwahnya untuk menegakkan agama Allah. Menikah justru bisa menjadi sarana untuk bersinergi dengan pasangan untuk membangun kekuatan dakwah. Niat ini seringkali tidak kita sadari dan diperhitungkan keberadaannya. Bahkan kita seringkali lalai “membangun niat”. Ya, semangat memang kadang naik turun seiring kondisi keimanan kita. Oleh karena itu, upaya untuk senantiasa ‘meluruskan dan memperbaiki’ niat harus selalu dilakukan. Tetap berada dalam barisan dakwah adalah salah satu caranya.

Komunikasikan

Niat boleh ada. Semangat boleh tinggi. Namun setelah menikah, perlu strategi cerdik agar kedua amanah mulia itu dapat berjalan seiring, tanpa meninggalkan satu dan yang lainnya. Pasangan aktivis harus mengkomunikasikan hal ini dengan baik agar niatan mulia untuk tetap eksis di jalan dakwah pasca menikah tetap bisa berjalan tanpa mengganggu tanggung jawab terhadap keluarga. Para suami perlu membuat jadwal aktivitas sebaik mungkin agar amanahnya sebagai dai tetap berjalan maksimal, namun juga tetap punya porsi untuk memberikan hak-hak keluarga. Bukankah seorang ayah juga punya kewajiban untuk memberikan pendidikan kepada anak dan istrinya? Ya inilah salah satu tugas yang tak boleh luput dari pemikiran seorang ayah yang sibuk berdakwah. Sangat ironi, jika semangat dakwah yang meletup-letup dari seorang ayah tidak ditransfer kapada sang anak. Bukankah anak-anak tersebut yang nantinya diharapkan menjadi kader-kader penerus dakwah?

Demikian halnya seorang ibu, keinginan untuk tetap eksis di barisan dakwah pasca nikah harus terkomunikasikan dengan baik. Terlebih setelah menikah, wanita memang akan lebih banyak berkutat dengan urusan rumah tangga. Bukan berarti wanita tidak layak atau tidak punya kemampuan untuk aktif di luar rumah. Namun hal ini isyaAllah lebih sesuai dengan fitrah penciptaannya. Seorang ibu yang tetap punya semangat dakwah tinggi harus merumuskan strategi-strategi baru bersama suami. Secara syar’I seorang isti harus berusaha meraih ridha suami. Di sisi lain, suami pun mamahami bahwa ada saat dia berada di luar rumah, namun ada waktunya pula dia berada di rumah untuk membantu tugas-tugas kerumahtanggaan. Atau minimal seorang suami harus punya jadwal tetap untuk mengantarkan istrinya ta’lim atau sekedar ziarah ke rumah sahabat untuk memberikan pencerahan bagi istri.

Khusus untuk Wanita

Khusus untuk para istri, ghirah (semangat-red) untuk tetap eksis di barisan dakwah harus disikapi secara arif. Seorang wanita boleh jadi punya semangat dan kemampuan yang cukup menunjang utnuk hal itu, namun ia harus tetap tahu diri, bahwa ketika sudah menikah, tugas utamanya adalah tetap menangani urusan rumah tangga dan pengasuhan anak. Aktivitas dakwah pasca nikah harus disesuaikan dengan hal tersebut. Oleh karena itu, seorang istri dapat mengambil celah-celah dakwah di lingkungan sekitar temapat ia tinggal. Mulai dari perkumpulan RT atau kegiatan-kegiatan lain yang dapat seiring sejalan dengan tugas-tugas kerumahtanggaan, minimal tidak banyak menyita waktu keluar rumah. IsyaAllah, celah-celah dakwah yang demikian ini sangat banyak dan seringkali belum tergarap. Semoga pernikahan yang akan atau sudah kita lakukan menjadi barakah, dengan mengambil kesempatan untuk tetap eksis di barisan dakwah.

SUMBER

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories