Khilafah Ajaran Islam, Bukan Ide atau Pendapat
Khilafah Ajaran Islam, Bukan Ide atau Pendapat
MUSTANIR.com – Realitasnya secara alamiah manusia tidak mungkin memenuhi kebutuhan hidupnya secara sendiri dan mandiri. Bahkan, didunia yang nyaris tidak mungkin ada batasan sengkendan dan wilayah (borderlees), manusia dalam konteks kehidupan global nyaris melakukan hampir keseluruhan interaksi dengan manusia lainnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Kebutuhan manusia sesungguhnya berakar secara alamiah inhern bersamaan penciptaan alam semesta, manusia dan kehidupan. Kebutuhan-kebutuhan itu, dalam konteks yang lain menandakan eksisnya kehidupan. Kebutuhan yang berasal dari naluri (Gharizah), bisa berujud Naluri beragama (Gharizatul Tadayyun), Naluri melestarikan jenis (Gharizatul Nau’), dan Naluri mempertahankan diri (Gharizatul Baqo’). Adapula kebutuhan manusia yang berasal dari kebutuhan hidup untuk menjalani hidup, atau al hajat Udlowiyah seperti makan, minum, pakaian, tempat tinggal dan yang semisalnya.
Dalam konteks memenuhi kebutuhan manusia tersebut, ada irisan kebutuhan antara satu manusia dengan manusia yang lain yang membutuhkan pengaturan. Sebab, jika manusia dibiarkan bertarung secara bebas memenuhi kebutuhan dengan caranya masing-masing, akan muncul apa yang disebut hobes sebagai “Homo Homini Lupus”, manusia menjadi serigala bagi manusia yang lain.
Karena itu dibutuhkan otoritas publik yang memiliki wewenang untuk mengatur kehidupan publik. Inilah realitas politik, yakni otoritas kekuasaan yang mengatur kehidupan publik dalam rangka untuk memenuhi hajat publik, dalam kapasitasnya sebagai manusia.
Maka kebutuhan pengaturan tentang ekonomi, hukum, makanan dan minuman, pakaian, jaminan kebutuhan dasar secara individual (sandang, pangan paparan) dan jaminan kebutuhan dasar secara kolektif (keamanan dan kesehatan) harus di realisir bersama oleh suatu masyarakat melalui mekanisme kekuasaan.
Kekuasaan inilah yang diberi mandat untuk mendistribusikan harta ditengah-tengah manusia, mengatur pemenuhan kebutuhan individu didalam masyarakat agar terpenuhi secara baik, terjaga secara kontinyu dan mengaitkannya dengan harmoni sosial dan keajegan. Sehingga, tidak terjadi lagi kondisi homo Homini lupus terjadi di masyarakat.
Kekuasaan itulah yang kemudian membutuhkan wewenang agar memiliki sifat otoritatif dan eksekusiable. Dalam konteks itulah, rujukan legitimasi kekuasaan pengaturan hukum publik atau kekuasaan ini perlu dicari sumbernya.
Kekuasaan sekuler mendalilkan Ground Norm sebagai parameter pengendalian kekuasaan berupa perintah dan larangan, yang halal maupun yang halal, yang dinisbatkan kepada publik (rakyat). Rakyat, dipandang sebagai sumber hukum dan konstitusi yang dengan mekanisme pendelegasian legitimasi, dijadikan asas sekaligus sandaran kekuasaan. Inilah kekuasaan Republik.
Sementara Islam telah membagi sumber legitimasi dan otoritas kekuasaan pada dua hal.
Pertama, legitimasi kekuasaan harus berasal dari hukum Syara. Hukum syara baik berupa al Qur’an, As Sunnah, Ijma’ Sahabat dan Qisos dijadikan satu-satunya sumber hukum untuk melegitimasi kekuasaan yang dijalankan.
Kedua, wewenang atau otoritas untuk menjalankan kekuasaan berasal dari umat (rakyat). Dalam konteks kedua, seorang pemimpin tampuk kekuasaan (Khalifah), dipandang memiliki legalitas dan otoritas untuk mengatur umat, manakala umat telah memberikan legalisasi wewenang melalui pemilihan kepala negara (kekuasaan) dengan mekanisme Bi Ridlo (atas keridloan) dan Bi ikhtiar (atas pilihan), bukan atas paksaan, bukan atas pewarisan, bukan atas penunjukan. Demikianlah bergulirnya kekuasaan dalam Islam.
Para Khalifah yang empat (khulafaur rasyidin) telah menjadikan legitimasi hukum syara sebagai asas dan kontrol dalam menjalankan kekuasaan. Para Khalifah ini mengatur rakyat baik dengan perintah dan larangan, membolehkan atau mengharamkan, hanya berdasarkan syariah Islam, bukan berdasarkan kedaulatan rakyat (Republik). Mereka juga tidak menjalankan kekuasaan berdasarkan otoritas tunggal yang tanpa kritik, tidak ada kamus dalam kekhilafahan Islam “King Do Not Wrong”. Umar RA pernah diingatkan oleh seorang wanita tentang kebijakan pembatasan mahar, saat itu umar RA menyatakan “Wanita ini benar, umar yang keliru”.
Adapun otoritas kekuasan yang diperoleh para Khalifah itu berasal dari umat dengan Methode tertentu yakni baiat. Jadi, tidak akan ada seorang Khalifah memimpin umat jika ia tidak mendapat legalitas otoritas berupa baiat dari umat. Dan baiat ini diberikan umat kepada Khalifah berdasarkan keridloan pihak yang di baiat (Khalifah) dan atas pilihan sukarela umat (pihak yang membaiat Khalifah). []
Oleh: Nasrudin Joha
Judul : Sebuah kontemplasi dan Muhasabah Politik
(Tanggapan atas Tulisan Prof. Machfud MD, Menolak Ide Khilafah)
Khilafah Ajaran Islam, Bukan Ide atau Pendapat
Sebagai satu ajaran, maka Khilafah menempati posisi seperti ajaran Islam lainnya seperti : Zakat, Puasa, Haji, Jihad, dll. Kewajiban kaum muslimin atas tegaknya seorang Imam/Khalifah yang memimpin umat untuk menerapkan kitabullah dan sunnah nabinya, bersumber dari nas-nas syara.
Khilafah bukanlah ide seperti liberalisme, kapitalisme, demokrasi, pluralisme, yang kesemuanya tidak dan bukan bersumber dari Islam.
Bahwa kewajiban Khilafah saat ini terabaikan, penerapan Islam kaffah saat ini ditelantarkan, kaum muslimin saat ini terpecah belah dalam bingkai nasionalisme negara bangsa (nation state), ini adalah realitas politik yang harus dihukumi bukannya dijadikan sandaran hukum untuk melegitimasi keadaan.
Wajibnya sholat Fardhu itu adakah kewajiban yang ditetapkan berdasarkan Nas Syara. Kewajiban ini tidak akan berubah, meskipun realitas zaman berubah bahkan banyak individu muslim yang mengabaikan dan menelantarkan kewajiban sholat. Tentu, realitas ditelantarkannya hukum sholat ini tidak dapat dijadikan legitimasi untuk membenarkan tindakan umat yang tidak melaksanakan sholat. Justru, umat harus dibina dan dibimbing agar kembali pada ketaatan dan menegakkan hukum sholat.
Demikianlah posisi kekhilafahan Islam, ia merupakan ajaran Islam berupa sistem politik (kekuasaan) yang diberi wewenang berdasarkan syara’ untuk mengatur rakyat, memerintah dan melarang sesuai dengan ketentuan al Qur’an dan As Sunnah, agar terealisir kemaslahatan publik berupa terpenuhinya hajat (kebutuhan) setiap individu warga negara.
Khilafah : Realitas Sejarah yang akan terulang
Diskursus Khilafah juga bukan perdebatan utopis filosofis, ia merupakan diskursus realistis dan memiliki akar historis. Kaum muslimin sejak mangkatnya baginda Rasulullah SAW, tidak pernah kosong dari kepemimpinan politik Islam (Khilafah), dengan berbagai coraknya hingga eksis hampir 13 Abad dan menaungi hampir dua pertiga dunia.
Kekhilafan kaum muslimin terakhir berada di Turki Utsmani yang akhirnya diruntuhkan oleh seorang agen Yahudi, Mustafa Kemal La’natullah alaik. Sejak itu, kaum muslim dalam urusan publik (politik) tidak lagi terikat dan diatur dengan syariah Islam. Meskipun, karena dada-dada kaum muslimin menghujam kuat akidah Islam, syariat islam yang bersifat personal dan privat, yang tidak memerlukan otoritas kekuasaan untuk melaksanakannya, tetap dijaga dan dilestarikan.
Kehilangan negara Islam (Khilafah) tidak mencabut akar syariah dan penerapan hukum privat individual. Kaum muslimin tetap taat, sholat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, hingga menunaikan ibadah haji.
Hanya saja hukum syariah yang bersifat publik yang memerlukan otoritas negara untuk melaksanakannya, sejak Khilafah runtuh hingga hari ini terabaikan.
Tidak ada lagi hukum hudud, Qisos diyat dan jinayat yang diterapkan kaum mualimin. Tidak adalagi aktivitas jihad, berupa mengemban risalah Islam ke penjuru alam dan memerangi siapapun yang mengganggu risalah ini.
Tidak adalagi jaminan pemenuhan kebutuhan hajat rakyat yang seyogyanya menjadi kewajiban penguasa, karena penguasa tidak lagi menerapkan hukum syara.
Pelacuran dilegalkan, riba menjadi nadi ekonomi, aktivitas kaum luth minta diberi pengakuan dan perlindungan, kejahatan merajalela, korupsi penguasa menjadi hal biasa, kedzaliman merajalela, dan sederet problematika umat lainnya yang mendera seluruh umat dan bangsa.
Demikianlah, perjuangan penerapan syariah Islam secara kaffah dalam naungan kepemimpinan politik Islam (Khilafah) bagi kaum muslimin diyakini sebagai satu-satunya jalan kebangkitan umat dari keterpurukannya menuju kemuliaan dan ketaatan.
Hizbut Tahrir hanya memberi Tawaran dan Pilihan
Dalam konteks akidah, tentu tidak ada pilihan untuk menjalankan kewajiban syariat selain “Sami’na Wa Atho’na”. Kewajiban menegakkan hukum Islam itu sama status wajibnya dengan hukum sholat, zakat, puasa Rhomadlon. Al hasil, sebenarnya perdebatannya bukan pada apakah Khilafah akan kita perjuangkan atau kita abaikan, tetapi bagaimanakah perjuangan penegakan kekhilafahan yang syar’i.
Pun demikian, Hizbut Tahrir tidak memaksa individu muslim baik yang ia meyakini kewajiban penegakan hukum Islam atau yang masih menganggap sistem eksisting kompatibel untuk mengejawantahkan nilai-nilai Islam.
Hizbut Tahrir saat ini sedang mendakwahkan ajaran Islam tentang kewajiban Khilafah dengan pendekatan pemikiran, politik, tanpa kekerasan dan tanpa fisik.
Dari sisi ide, diskusi intelektual dengan sandaran argumentasi, pemikiran, tanpa kekerasan dan tanpa fisik bukanlah sebuah ancaman, apalagi dipandang berbahaya.
Yang nampak berbahaya secara praktis adalah tindakan pengabaian hak, penelantaran kewajiban, pendzaliman, mengobarkan perpecahan, dan menjauhkan umat dari nilai Islam dan ketaatan.
Jika nilai-nilai Islam dipandang masih mungkin terjadi perbedaan pendapat dan dapat diperdebatkan, akan labih laik jika nilai-nilai non Islam seperti demokrasi, kapitalisme, Sekulerisme untuk dikritik dan diperdebatkan.
Kapitalisme-lah dengan methode kolonialisme (penjajahan) yang telah secara nyata memiskinkan negeri ini. Negeri yang dikenal sebagai jamrud khatulistiwa, terpaksa harus menahan lapar dan kemiskinan diatas keberlimpahan alam yang telah dirampok asing dengan berbagai dalih dan kepentingan.
Demokrasi liberal-lah yang telah membuat arus umat terkutub dan mengalami polarisasi, sehingga setiap ajang pilkada, pemilu dan Pilpres acapkali mengakibatkan ketegangan dan konflik.
Sparatisme yang disokong asing dan agama Kristen, hari ini nyata menggerogoti negeri dan mengancam disintegrasi bangsa, sebagaimana terjadi di Papua dan Minahasa.
Kemerosotan akhlak dan dekadensi moral begitu akut, tawuran remaja, perjinahan, narkoba, kaum Lisbi dan gay, semua adalah akibat diterapkan liberalisme Sekulerisme.
Lantas, apakah kita akan ikut-ikutan mendakwa Islam sebagai penyebabnya ? Atau kita ikut-ikutan menghakimi gerakan dakwah Islam yang saat ini secara serius dan sungguh-sungguh ingin memperjuangkan umat dengan menerapkan syariat Islam ?
Khatimah
Bulan Ramadhan adalah bulan perjuangan, bukan mulia dan ampunan. Semoga, dengan washilah Ramadhan ini umat terbuka hatinya dan mampu menerima seruan dakwah Islam dan berada dalam barusan pengembannya.
Sudah terlalu perih umat ini mengalami pendzaliman, sudah terlalu jauh kekuasaan bergulir dari ketaatan, sudah terlalu nampak gelagat (indikasi) kebangkitan Islami. Semoga momentum Ramadhan kali ini, mampu memantik kebersamaan dan perjuangan umat, sekaligus meningkatkan ketaatan agar Allah SWT turunkan pertolongan. Sebab, jika pertolongan Allah tiba, adakah kekuatan yang mampu menghalanginya ?
إِذَا جَآءَ نَصۡرُ ٱللَّهِ وَٱلۡفَتۡحُ (١) وَرَأَيۡتَ ٱلنَّاسَ يَدۡخُلُونَ فِى دِينِ ٱللَّهِ أَفۡوَاجً۬ا (٢) فَسَبِّحۡ بِحَمۡدِ رَبِّكَ وَٱسۡتَغۡفِرۡهُۚ إِنَّهُ ۥ ڪَانَ تَوَّابَۢا (٣
“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong. Maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Menerima taubat.” (TQS. an-Nasr 110:1-3) [].
Tulisan-2 admin kesulitan temukan penulis aslinya.*