Konstitusi Negara Khilafah
Konstitusi Negara Khilafah
Oleh: Chandra Purna Irawan
Latar Belakang
Catatan sejarah mengenai timbulnya negara konstitusional di kalangan umat Islam sesungguhnya merupakan suatu proses sejarah yang panjang. Sejarah Islam telah mencatat bahwa sejak zaman Rasulullah Saw telah telah lahir konstitusi tertulis pertama yang kemudian dikenal dengan konstitusi Madinah atau disebut Piagam Madinah. Negara Islam yang didirikan Nabi Muhammad saw pada tahun pertama hijrah atau tahun 622 M dinilai sebagai utama pendirian Negara Islam. Konstitusi ini merupakan piagam politik untuk mengatur kehidupan bersama yang masyarakatnya terdiri dari berbagai macam golongan.
Konstitusi bersumber dari dari pewahyuan al-Qur’an dan keputusan Nabi saw sering disebut dengan syari’at. Karena itu, sumber utama konstitusi adalah al-Qur;an dan Sunnah Nabi saw. Instruksi-instruksi spesifik dari kedua sumber tersebut kemudian diperluas dan dikodifikasikan kedalam fiqh oleh para fuqoha atau yuris dengan mengunakan instrument-instrument interpretatif atau sumber prosedural syari’at seperti qiyas (menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya dalam al-Qur’an dan hadits dengan cara membandingkannya dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash), ijma’ sahabat (consensus), Ijtihad (usaha yang sungguh-sungguh dengan mengerahkan segala kemampuan nalar untuk menyelidiki dan menetapkan hukum suatu perkara berdasarkan Al-Qur’an dan hadits) dan lain-lain.
Di negara-negara modern, konstitusi merupakan suatu yang sangat krusial. Karena ia merupakan pegangan dan pemberi batas atau pengendali kekuasaan dan sekaligus mengatur bagaimana kekuasaan negara harus dijalankan. Hal ini disebabkan, dalam konstitusi terkandung berbagai asas yang ditetapkan guna mengatur bagaimana kekuasaan negara didistribusikan antara berbagai lembaga kenegaraan, seperti dewan umah, Mu’âwinûn at-Tafwîdh, Wuzarâ’ at-Tanfîdz., Wali (Gubernur), Amîrul Jihâd, baitul mall, peradilan dll.
Dengan kata lain, konstitusi menentukan cara bagaimana kekuasaan negara bekerja sama dan menyesuaikan diri satu sama lain. Betapa pentingnya konstitusi itu bagi suatu negara,
Persoalan konstitusi menjadi perdebatan yang tidak pernah berakhir di kalangan pemikir muslim, terutama ketika dihadapkan pada masalah hubungan agama dan negara. Dalam hal ini, ada tiga perbedaan pendapat tentang hubungan negara dan agama ;
Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa Islam tidak membahas masalah kenegaraan. Karena itu, tidak pada tempatnya untuk mengatakan bahwa konsep negara ditemui dalam Islam.
Kedua, Islam mempunyai perangkat kenegaraan dan karenya tidak alasan untuk memisahkan keduanya.
Ketiga, pendapat yang mengatakan bahwa agama dan negara saling membutuhkan.
Sejalan dengan pandangan diatas, ada tiga pola hubungan antara agama dan negara.
Pertama, pola integralistik yang menawarkan konsep bersatunya negara dan agama. Agama dan negara tidak dapat dipisahkan. Apa yang menjadi wilayah agama otomatis menjadi wilayah politik. Konsekwensi dari pandangan ini, maka Islam harus menjadi dasar negara, bahwa syari’ah harus diterima sebagai konstitusi negara. Model teori ini lebih menekankan pada aspek legal formal idealisme politik Islam.
Kedua, pola simbiotik yang menawarkan pandangan bahwa agama dan negara berhubungan satu sama lain secara timbal balik dan saling memerlukan. Model teori politik ini, lebih menekankan pada subtansi daripada bentuk negara yang legal formal.
Ketiga, pola sekularistik yang memisahkan antara agama dan negara. Model teori politik ini, negara menghilangkan sama sekali agama (syari’ah) dari dasar negaranya dan mengadopsi sepenuhnya hukum dari negara barat.
Dalam hal ini, penulis menegaskan bahwa pola integralistik yang sesuai shariah. Islam bukan sekedar ritual atau aqidah ruhiyah, melainkan juga ideologi atau mabda atau aqidah siyasiyah yang menjelaskan terkait mekanisme menjalankan negara, hukum, ekonomi dan sosial budaya.
- Istilah Konstitusi dalam Hukum Islam
Dalam hukum ketatanegaraan Islam (Fiqh Siyasah), konstitusi disebut dengan dustur (berasal dari bahasa Persia). Semula artinya adalah seseorang yang memiliki otoritas, baik dalam bidang politik maupun agama. Dalam perkembangannya, kata ini digunakan untuk menunjukkan anggota kependetaan (pemuka agama) Zoroaster (Majusi). Setelah mengalami penyerapan kedalam bahasa Arab, kata dustur
berkembang pengertiannya menjadi asas, dasar atau pembinaan. Menurut istilah, dustur berarti kumpulan kaidah yang mengatur dasar dan hubungan kerja sama antara sesama anggota masyarakat dalam sebuah negara, baik yang tidak tertulis (konvensi) maupun yang tertulis (konstitusi).
Kata dustur (undang-undang dasar) dan qanun (undang-undang) adalah istilah asing yang mempunyai hubungan erat dengan hukum, bolehkah kedua kata ini diadopsi?
Setelah memperhatikan makna masing-masing, kita akan melihat kesesuaian maknanya dengan hukum syara’.
Kata undang-undang mempunyai arti suatu perkara yang ditetapkan oleh penguasa untuk dijalankan oleh rakyatnya. Kata undang-undang didefinisikan sebagai seperangkat aturan yang ditetapkan oleh penguasa dan memiliki kekuatan untuk mengikat rakyat dan mengatur hubungan di antara mereka.
Adapun kata dustur berarti undang-undang dasar bagi suatu pemerintahan. Definisinya adalah undang-undang yang mengatur bentuk sebuah negara, sistem pemerintahan, pembagian kekuasaan, dan wewenang badan-badan pemerintah. Dengan demikian, dustur melahirkan aturan yang dijalankan oleh negara sebagai pemikiran yang menyeluruh. Aturan ini melahirkan keputusan-keputusan tertentu yang ditetapkan oleh penguasa. Keputusan-keputusan yang terperinci ini merupakan undang-undang yang menjelaskan tentang hak dan kewajiban pelaksanaan pemerintahan, misalnya hak-hak dan kewajiban setiap individu warga negara.
1.Sumber Undang-undang dasar
Undang-undang dasar dan undang-undang memiliki sumber-sumber pengambilan hukum yang dapat dibagi menjadi dua macam sebagai berikut. Pertama, sumber yang melahirkan undang-undang dasar atau undang-undang secara langsung, seperti adat istiadat, agama, pendapat para pakar hukum, dan yurisprudensi (hukum-hukum peradilan). Sumber seperti disebut dengan perundang-undangan, seperti yang terjadi di Inggris dan Amerika.
Kedua, sumber yang sudah ada dan menjadi rujukan untuk undang-undang dasar dan perundang-undangan, sebagaimana yang terjadi di Perancis, Turki, Mesir, Irak, dan Syria. Sumber seperti ini dinamakan dengan sumber historis atau sejarah.
Ini berarti negara mana pun di dunia ini mengambil undang-undang dasar dan undang-undangnya dari kedua sumber di atas. Bisa dari sumber perundang-undangan atau dari sumber historis. Dalam hal ini, undang-undang dasar merupakan hukum-hukum umum, adapun undang-undang merupakan hukum-hukum khusus yang merupakan cabang.
Kita telah melihat, kata dustur dan qanun dalam istilah asing berarti hukum-hukum tertentu yang telah dilegalisasi oleh negara untuk dijalankan oleh rakyat sebagai suatu keharusan. Makna seperti ini terdapat pula pada kaum Muslim karena khalifah memiliki wewenang untuk melegalisasi hukum syara’ tertentu yang mengikat rakyat untuk dilaksanakan. Oleh karena itu, dua istilah ini, yaitu dustur dan qanun boleh digunakan tanpa ada halangan.
Sumber konstitusi negara Khilafah hanyalah al-Quran dan Sunah. Lahirnya syariat merupakan hasil ijtihad para mujtahid dan legalisasi khalifah terhadap hukum syara’ yang diperintahkan untuk dilaksanakan oleh rakyat.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala menerangkan sifat dan hak khusus-Nya dalam masalah membuat hukum ini didalam firman-Nya :
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُالْفَاصِلِينَ {57}
”Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik”. (Qs. Al-An’am : 57)
Penyandaran kewenangan pembuatan hukum itu adalah ibadah yang hanya disandarkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan tidak boleh disandarkan kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sebagaimana firman-Nya:
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلّهِ أَمَرَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ {40}
“Hak hukum (putusan) hanyalah milik Allah. Dia memerintahkan agar kalian tidak beribadah kecuali kepada-Nya. Itulah agama yang lurus”. (Qs. Yusuf : 40)
2. Legislasi Dalam Negara Khilafah
Meski demikian, tidak berarti negara dalam Islam identik dengan teokrasi atau kekuasaan tuhan, dimana seorang kepala negara Islam diklaim sebagai wakil Tuhan. Jelas tidak. Bahkan, konsep teokrasi ini justru ditolak oleh Islam. Namun, tidak berarti, jika Islam menolak teokrasi, berarti negara Islam menganut demokrasi atau kekuasaan rakyat. Juga tidak. Karena, demokrasi pun jelas-jelas ditolak oleh Islam. Namun, ini juga tidak berarti bahwa negara Islam identik dengan teo-demokrasi, yang mengkompromikan kekuasan tuhan dan manusia. Juga tidak. Karena, baik teokrasi maupun demokrasi sama-sama ditolak oleh Islam. Jadi, kalau bukan teokrasi, demokrasi atau teo-demokrasi, lalu apa? Jawabannya adalah Khilafah.
Khilafah Negara Manusia
Khilafah adalah negara bagi umat Islam di seluruh dunia, yang dipimpin oleh seorang Khalifah dengan menjalankan hukum Islam secara kaffahdi dalam negeridan mengemban Islam ke seluruh dunia dengan dakwah dan jihad. Khalifah adalah pria, Muslim, baligh, berakal, merdeka, adil dan mampu mengemban seluruh tugas kekhilafahan. Dia adalah manusia biasa, bukan wakil Tuhan, bukan pula Nabi dan Rasul, juga tidak maksum dari kesalahan, yang dipilih oleh umat Islam dan diberikan mandat melalui baiat yang mereka berikan. Karena itu, dia bisa juga melakukan kesalahan, sebagaimana manusia yang lain.
Namun demikian, Islam memberikan hak kepadanya untuk mengadopsi hukum agar bisa dijadikan sebagai konstitusi maupun perundang-undangan. Karena Islam tidak mengenal pemisahan kekuasaan (split of power), maka di tangannyalah seluruh kekuasaan itu berada. Dialah satu-satunya orang yang diberi otoritas untuk mengadopsi hukum menjadi konstitusi dan perundang-undangan. Meski demikian, tidak berarti produk hukum yang ditetapkannya sebagai konstitusi dan perundang-undangan itu tidak bisa dibatalkan. Karena itu, di negara Khilafah ada Mahkamah Madzalim yang diberi otoritas untuk menguji, bahkan membatalkan hukum yang dianggap menyalahi hukum Islam. Sekalipun hukum tersebut telah ditetapkan oleh Khalifah sebagai konstitusi dan perundang-undangan.
Jika dalam sistem demokrasi dengan trias politikanya telah memberikan hak legislasi kepada parlemen, maka majelis umat di dalam negara Khilafah, yang merupakan representasi dari rakyat di seluruh dunia tidak mempunyai fungsi legislasi. Fungsi majelis umat adalah fungsi syura dan muhasabah (kontrol).
Syura Bukan Legislasi
Fungsi syura dan muhasabah ini jelas berbeda dengan fungsi legislasi parlemen. Syura ini merupakan aktivitas mengambil pendapat yang dilakukan di dalam majelis. Di dalamnya, bisa menyangkut hukum syara’, akademik termasuk strategi tertentu. Dalam hal ini, tolok ukur yang digunakan untuk mengambil pendapat adalah pendapat yang paling benar, bukan suara mayoritas. Jika terkait dengan hukum syara’, pendapat yang paling benar adalah ketika hukum tersebut dalilnya paling kuat, meski tidak didukung oleh suara mayoritas. Demikian juga kebenaran pendapat dalam akademik maupun strategi tidak dikembalikan kepada suara mayoritas, tetapi dikembalikan kepada pakar di bidangnya. Suara majelis umat dalam konteks ini tidak mengikat Khalifah. Inilah yang biasanya disebut syura.
Sebagai contoh, ketika Khalifah menetapkan APBN Khilafah karena sumber pendapatan dan pos pengeluarannya telah ditetapkan oleh hukum syara’, maka anggota majelis umat tidak mempunyai hak budget yang mengikat Khalifah. Dalam kasus ini, Khalifah tidak harus tunduk kepada suara majelis umat.
Ada juga pengambilan pendapat yang dilakukan oleh majelis umat dalam perkara yang tidak terkait dengan hukum syara’, juga tidak terkait dengan masalah akademik maupun strategi tertentu, tetapi masalah teknis yang dampaknya bisa mereka perkirakan. Seperti memilih Utsman menjadi Khalifah, bukan ‘Ali. Masalah seperti ini merupakan masalah teknis, dan ditentukan berdasarkan suara mayoritas. Pendapat majelis umat dalam hal ini mengikat dan harus dilaksanakan. Karena itu, siapa yang dipilih oleh majelis umat menjadi Khalifah, maka dia harus dibaiat sebagai Khalifah. Demikian juga, ketika majelis umat keberatan dengan pengangkatan wali di daerah tertentu, maka kalau keberatan tersebut didukung suara mayoritas, suara majelis umat ini pun mengikat bagi Khalifah, dan wajib dilaksanakan.
Dengan demikian, fungsi syura dalam majelis umat tidak identik dengan legislasi dalam parlemen. Dalam negara demokrasi, produk legislasi parlemen ini mengikat eksekutif dan yudikatif, sedangkan produksyuramajelis umat ini tidak mengikat, baik bagi Khalifah maupun yang lain. Selain itu, otoritas pembuatan konstitusi dan perundang-undangan ada di tangan Khalifah. Karena dialah, satu-satunya yang berhak mengadopsi hukum syara’ sebagai konstitusi dan perundang-undangan negara Khilafah. Meskipun untuk itu, boleh saja dia mengadopsi pendapat majelis umat, tetapi itu tidak mengikat.
Dalam mengadopsi pemikiran dan hukum, pertama-tama Khalifah tidak akan mengadopsi mazhab tertentu sebagai pemikiran dan hukum negara sehingga akan menyebabkan negara Khilafah menjadi negara mazhab. Khalifah juga tidak akan mengadopsi masalah akidah, kecuali menetapkan wajibnya dalil qath’i sebagai dalil akidah. Ini untuk menghilangkan dharar, yang memang hukumnya wajib, yaitu terjadi saling kafir-mengafirkan di antara sesama kaum Muslim karena perbedaan furu’ akidah. Selain itu, Khalifah juga tidak akan mengadopsi masalah ibadah, seperti shalat, puasa dan haji, kecuali penyatuan awal-akhir Ramadhan, penetapan wukuf dan 10 Dzulhijjah, juga zakat dan jihad. Selebihnya, diserahkan kepada masing-masing sesuai dengan mazhabnya.
Ketika mengadopsi hukum, Khalifah akan menetapkan kaidah tabanni, seperti hanya menggunakan Alquran, as-Sunnah, Ijmak Sahabat dan Qiyas, misalnya. Dengan begitu, dalam proses pembuatan konstitusi dan perundang-undangan, Khalifah tidak akan mengadopsi hukum yang tidak dibangun dengan salah satu dari keempat dalil di atas. Sebab, jika dia mengadopsi hukum yang ternyata tidak diambil dari salah satu dalil tersebu, maka hukum tersebut statusnya bukan hukum Islam baginya. Jika hukum tersebut bukan hukum Islam baginya, maka ketika dia jadikan konstitusi dan perundang-undangan, status konstitusi dan perundang-undangan tersebut juga bukan konstitusi dan perundang-undangan Islam.
salah satu dalil tersebu, maka hukum tersebut statusnya bukan hukum Islam baginya. Jika hukum tersebut bukan hukum Islam baginya, maka ketika dia jadikan konstitusi dan perundang-undangan, status konstitusi dan perundang-undangan tersebut juga bukan konstitusi dan perundang-undangan Islam.
Jika ini terjadi, maka Mahkamah Madzalim harus menjalankan tugasnya, yaitu menguji dan membatalkan konstitusi dan perundang-undangan tersebut. Selain itu, koreksi dan kontrol juga bisa dilakukan oleh majelis umat dan partai politik. Mahkamah Madzalim juga bisa menguji penarikan hukum (istidlal) yang dilakukan oleh Khalifah, apakah dalil yang digunakan untuk menarik hukum tersebut sudah tepat atau tidak. Karena itu, para hakim Mahkamah Madzalim ini harus mempunyai kualifikasi mujahid sehingga bisa menjalankan tugas dan fungsinya. [ ]