Korupsi Merusak Negara, Radikalisme Jadi Tersangka
MUSTANIR.net – Peliknya pemberantasan korupsi di Indonesia disebabkan persoalan ini bersifat sistemis, bukan oknum. Korupsi dilakukan bersama-sama, melibatkan tiga pilar demokrasi yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Kasus suap oleh Wali Kota Malang Moch Anton pada 41 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Malang menjadi bukti bahwa eksekutif dan legislatif kongkalikong melakukan korupsi.
Sementara yudikatif yang diharapkan bisa memberi sanksi menjerakan justru menjadi pelaku rasuah. Indonesia Corruption Watch (ICW) mengindikasikan bahwa pengadilan atau cabang kekuasaan yudikatif sedang dalam kondisi darurat korupsi. Ketika tiga pilar demokrasi semuanya menjadi subjek korupsi, bisa dipastikan bahwa demokrasi adalah sistem yang korup.
Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang berasaskan sekularisme, yakni pemisahan agama dari politik. Akibatnya, politik dijalankan mengikuti doktrin Niccolò Machiavelli dalam bukunya The Prince (1932).
Menurut Machiavelli semua tujuan dapat diusahakan untuk membangun dan melestarikan kekuasaan sebagai tujuan akhir yang dapat dibenarkan. Jadilah politik dijalankan tanpa mengindahkan benar dan salah. Korupsi dilakukan untuk melanggengkan kekuasaan, meski secara teori demokrasi tidak menyetujui korupsi.
Demokrasi juga sistem pemilihan penguasa yang mahal. Makin mahal ketika diterapkan pemilihan langsung di tingkat daerah. Korupsi makin membumi hingga pelosok negeri. Politik uang menjadi perkara yang jamak terjadi. Akibatnya, negara rusak karena korupsi.
Jusuf Kalla saat menjabat sebagai wapres menyatakan, “Sejarah telah mencatat, korupsi menghancurkan banyak negara dan perserikatan. Mesir kuno hancur karena korupsi, VOC pun gulung tikar karena korupsi. Bahkan, Kekaisaran Roma yang perkasa pun binasa karena korupsi. Sungguh, korupsi merupakan sesuatu yang sangat merusak.” (kominfo.go.id, 3/12/2014).
Hantu Radikalisme
Anehnya, alih-alih sibuk memberantas korupsi, pemerintah kini justru sibuk memburu ‘hantu radikalisme”. Pemerintah berulang kali menyampaikan tentang bahaya radikalisme. Meski begitu, definisi radikalisme oleh pemerintah selama ini tak pernah jelas.
Pengamat terorisme dari Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya menilai pemerintah perlu membuat definisi yang jelas tentang radikalisme terlebih dulu sebelum mengeksekusi.
Jika tak ada definisi yang jelas tentang radikalisme, dia menganggap bakal berefek bias ke berbagai aspek. Terlebih, selama ini radikalisme kerap diidentikkan dengan agama tertentu. (cnnindonesia, 15/11/2019)
Ya, radikalisme selalu dikaitkan dengan Islam. Simbol Islam seperti cadar, jenggot, dan celana cingkrang diidentikkan dengan radikalisme. Ide khilafah yang merupakan bagian dari khazanah fikih dan tarikh Islam juga dituding radikal.
Masjid dan majelis taklim diawasi. Bahkan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dituding oleh Wakil Presiden Ma’ruf Amin telah terpapar ajaran paham radikalisme.
Sikap pemerintah yang membabi buta dalam memburu hantu radikalisme ini jelas mengundang keheranan publik. Pasalnya, tudingan radikal selalu diarahkan pada pihak yang kritis pada penguasa.
Publik jadi menduga, hantu radikalisme diviralkan demi menutupi kegagalan pemerintah dalam pemberantasan korupsi dan aspek lainnya seperti kegagalan BPJS, ekonomi yang melemah, neraca perdagangan yang negatif, dan lain-lain.
Jika ini benar, maka pemerintah sebenarnya sedang membuat jarak dengan rakyatnya sendiri. Fakta warga yang membuat jalan desa sendiri, pengusaha yang patungan memberangkatkan umrah korban First Travel, dan lainnya menunjukkan bahwa kepercayaan rakyat pada pemerintah sudah demikian rendah. Negara menjadi auto pilot, rakyat berjuang sendiri memenuhi kebutuhannya.
Jika ingin menyelamatkan negara dari korupsi, sebaiknya pemerintah berpikir serius tentang sistem apa yang efektif memberantas korupsi.
Islam Tegas Berantas Korupsi
Sistem Islam menjadikan halal-haram sebagai tolok ukur perbuatan. Maka politik pemerintahan dijalankan sesuai syariat Allah subḥānahu wa taʿālā. Hal ini mencegah terjadinya politik uang yang memicu tindak korupsi.
Mekanisme pemilihan kepala negara dalam sistem Islam/khilafah yang sederhana hanya membutuhkan waktu tiga hari, sehingga murah dan tidak memberi ruang waktu untuk suap/risywah. Pusat pemberantasan korupsi dalam Islam terletak pada sikap tegas penguasa, termasuk pada keluarganya sendiri.
Hal ini dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ. Diriwayatkan dari ‘Aisyah raḍiyallāhu ‘anhā,
“Rasulullah ﷺ berkhotbah, ‘Wahai manusia, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika ada orang yang mulia di antara mereka yang mencuri, maka mereka biarkan, namun jika yang mencuri adalah orang yang lemah, maka mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya’.” (HR Bukhari dan Muslim).
Ketegasan yang sama juga ditunjukkan para khalifah sesudah Beliau ﷺ. Khalifah Umar bin Abdul Aziz menyita tanah-tanah yang dikuasai secara tidak sah oleh Bani Umayyah dan menyerahkan pada yang berhak atau mengembalikannya ke baitul mal untuk dikelola demi kemaslahatan rakyat.
Demikianlah, sistem khilafah demikian efektif dalam pemberantasan korupsi. Hasilnya adalah kesejahteraan luar biasa selama lebih dari seribu tahun.
Jika saat ini sistem khilafah yang demikian baik dan menyejahterakan ini dituding radikal, sementara yang menuding tak mampu mengentaskan Indonesia dari kubangan korupsi, lantas layakkah menuding khilafah itu radikal? []
Sumber: Ragil Rahayu, SE