Pendidikan Sekuler Menghasilkan Generasi Krisis Jati Diri

MUSTANIR.net – Sungguh, ini adalah tragedi besar. Kaum muda yang semestinya menjadi generasi penerus begitu nyata mengalami krisis jati diri yang parah. Terlebih alam kehidupan yang didominasi sekularisme saat ini memang begitu berat.

Mental generasi muda saat ini pun cenderung sebagaimana “mental tempe”. Kematangan emosinya di titik nadir. Sosoknya mudah depresi, pragmatis terhadap dinamika kehidupan, perjuangan hidupnya salah arah, bahkan mereka jauh dari karakter problem solver. Parahnya, mereka malah menjadikan bunuh diri sebagai solusi.

Namun, mereka juga menolak jika disebut kurang iman dan minim daya juang. Jika mau jujur dan berpikir benar, tindakan bunuh diri memang nyata-nyata bukti rendahnya kualitas tawakal. Mereka bahkan tidak paham akan tujuan hidupnya sehingga mudah mengambil jalan pintas dengan mengakhiri hidup, alih-alih ada kesadaran kuat akan hubungan dengan Sang Khalik.

Sekretaris Fatwa Lembaga Fatwa Mesir Dar Ifta Syekh Uwaida Utsman pernah menyampaikan bahwa seseorang bunuh diri biasanya karena tidak sehat (terganggu) akal pikirannya. Syekh Utsman juga menasihati bahwa setiap orang memiliki kesulitan dalam hidup, tetapi kesulitan tidak akan berhenti dengan cara mengakhiri hidup melalui bunuh diri.

Seorang muslim harus meyakini bahwa ketetapan Allah Taala akan berujung pada kebaikan. Tindakan bunuh diri dengan cara apa pun merupakan hal yang dilarang dalam Islam. Perilaku ini merupakan dosa besar. Allah taʿālā berfirman, “Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.” (QS an-Nisa [4]: 29)

Dalam sebuah hadis, Rasulullah ﷺ juga bersabda, “Barang siapa yang membunuh dirinya sendiri dengan suatu cara yang ada di dunia, niscaya kelak pada hari kiamat Allah akan menyiksanya dengan cara seperti itu pula.” (HR Bukhari dan Muslim)

Bermental Rapuh

Memang benar, sekularisme telah merasuk ke dalam kehidupan manusia dari berbagai aspek. Perkara benar dan salah hanya ditimbang dengan perasaan individu, tanpa menghendaki keterlibatan agama untuk menjadi standar kehidupan dan indikator kebahagiaan.

Kehidupan di luar dunia pendidikan sungguh sama kerasnya dengan tantangan di dalam dunia pendidikan. Sektor pendidikan bukan lagi menjadi sektor yang kental dengan rasa nyaman untuk belajar dan memuaskan diri untuk menuntut ilmu pada usia muda.

Dahulu kita bisa mengatakan bahwa dunia pendidikan adalah “kawah candradimuka” sebelum peserta didik terjun ke masyarakat. Kini dunia pendidikan memberlakukan kurikulum yang makin kental dengan capaian materi. Jelas, kurikulum sekuler yang diterapkan hari ini bertanggung jawab menghasilkan output pendidikan bermental rapuh. Kurikulum yang ada fokus menanamkan nilai-nilai materiel dan mengabaikan aspek spiritual.

Di samping itu, berbagai permasalahan sosial kemasyarakatan tidak mampu membuat para peserta didik lincah dalam mengatasi masalah kehidupan di luar bangku kuliah. Ilmu yang diperoleh di kampus seolah-olah tidak meninggalkan jejak apa pun, bahkan mereka seperti hilang arah untuk menyelesaikan problematik sosial yang mereka alami. Bagi mahasiswa yang tipis iman, bunuh diri sangat mungkin dilakukan sebagai langkah final karena berpersepsi bahwa dirinya sudah tidak punya solusi.

Namun, ketika ada kajian Islam di kampus yang sebenarnya sangat membantu menawarkan solusi bagi permasalahan kehidupan, hal itu tidak dipandang sebagai kesempatan untuk membuat hidup menjadi lebih baik. Sebabnya, orientasi dan fokus studi mahasiswa tidak lagi ditumbuhkan untuk bisa berpikir luas dan menyeluruh, apalagi bervisi mulia untuk mengurus urusan umat. Sebaliknya, justru makin dipersempit dengan tuntutan materiel, misalnya berupa target lulus cepat, indeks prestasi cum laude, menjadi lulusan terbaik, juga berbagai tawaran beasiswa bonafide maupun pekerjaan prestisius pascalulus.

Dampaknya, kuliah hanya dianggap untuk memuaskan daya intelektualitas. Namun, sangat jauh dari pembentukan karakter para calon pemimpin dan pembangun peradaban, apalagi sebagai generasi problem solver.

Generasi Bermental Tangguh

Betapa buruk dampak sekularisme di dunia pendidikan maupun di tengah-tengah masyarakat pada umumnya. Semua ini berbeda 180 derajat dengan Islam, saat manusia menjadikan Islam sebagai akidah dan jalan hidup. Sistem pendidikan Islam adalah sistem pendidikan unggul yang diselenggarakan oleh sistem yang paripurna dari Allah taʿālā, yakni sistem Islam di bawah naungan khilafah.

Pendidikan berbasis akidah Islam tidak hanya diperoleh di sektor formal seperti sekolah/kampus, tetapi sudah sepaket dengan pendidikan di tengah keluarga. Akidah Islam juga menjadi asas bagi proses pendidikan formal di tingkat dasar, menengah, hingga pendidikan tinggi. Ini semua menjadi dasar dalam rangka melahirkan generasi berpendidikan dan bermental tangguh.

Allah taʿālā berfirman, “Katakanlah, ‘Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’.” (QS az-Zumar [39]: 53)

Melalui ayat ini, Allah taʿālā hendak memberi harapan, cita-cita, dan kepercayaan kepada manusia bahwa kesempatan tobat amatlah luas. Jika dosa itu seperti buih di lautan, ampunan Allah lebih besar daripada aib dan kesalahan hamba-Nya.

Sayyid Quthb dalam kitab Tafsir fi Zhilalil Qur’an menuliskan bahwa QS az-Zumar ayat 53 merupakan bentuk keadilan Allah Taala. Dia tidak akan menyiksa seorang hamba karena kemaksiatan sebelum menyediakan sarana untuk memperbaiki kekeliruan tersebut. Untuk itu, Allah melarang hambanya berputus asa dari rahmat dan ampunan dari Zat yang Maha Pengasih dan Penyayang sekaligus Maha Penerima Tobat.

Selanjutnya, mengutip kitab Usus at-Ta’lim fi Daulah al-Khilafah (Strategi Pendidikan Negara Khilafah) karya Syekh Abu Yasin, tujuan pendidikan tinggi adalah penanaman dan pendalaman kepribadian Islam secara intensif pada diri mahasiswa. Sebelumnya, pembinaan kepribadian Islam ini harus sempurna di jenjang pendidikan sekolah untuk nantinya makin dikuatkan di jenjang pendidikan tinggi.

Pembinaan tersebut berfokus pada pemberian tsaqafah Islam, yakni pengetahuan yang menempatkan akidah Islam sebagai induk pembahasan. Tsaqafah inilah yang akan membentuk kepribadian pada individu-individu umat. Tsaqafah akan membentuk pola pikir (akliah) dan pola sikap (nafsiah) islami.

Penjagaan tsaqafah ini sangat penting dilakukan oleh negara Islam, yakni dengan cara menancapkannya di benak anak-anak muslim, menuliskannya di dalam berbagai buku dan tulisan, serta dengan membentuk negara yang memerintah dan melayani urusan umat sesuai hukum dan perundang-undangan yang terpancar dari tsaqafah tersebut. Sistem pendidikan sendiri adalah metode untuk menjaga tsaqafah Islam, baik dalam bentuk pendidikan formal maupun informal.

Khusus mengenai peningkatan kualitas kepribadian peserta didik di tingkat pendidikan tinggi, hal ini bertujuan agar para mahasiswa bisa menjadi pemimpin dalam memantau permasalahan-permasalahan krusial (qadhiyah mashiriyah) bagi umat, termasuk kemampuan mengatasi permasalahan tersebut. Permasalahan tersebut mencakup hal-hal yang diharuskan Islam atas kaum muslim untuk mengatasinya dengan risiko hidup atau mati.

Syekh Abu Yasin juga menuliskan, dengan ketiadaan penerapan hukum Islam dalam sistem pemerintahan di tengah-tengah kehidupan maka permasalahan krusial bagi kaum muslim adalah mendirikan negara Islam (khilafah) dan menerapkan hukum sesuai dengan yang diturunkan Allah taʿālā.

Saat khilafah sudah tegak, permasalahan krusial umat beralih menjadi penjagaan terhadap tegaknya khilafah, menjadikan Islam tetap hidup dan diterapkan di tengah-tengah umat, mengemban dakwah ke seluruh dunia, serta mencegah segala sesuatu yang dapat mengancam persatuan umat dan negara.

Agar permasalahan krusial manusia ini tetap hidup dan menjadi pusat perhatian di dalam benak dan perasaan umat maka harus ada pendidikan tsaqafah Islam yang berkelanjutan dalam rangka mengatasi permasalahan tersebut. Hal ini berlaku bagi seluruh mahasiswa di perguruan tinggi tanpa memandang spesialisasi keahliannya.

Hal ini sebagai tambahan pendalaman dan pengkhususan di dalam pendidikan tsaqafah Islam dengan seluruh cabang-cabangnya, seperti fikih, hadis, tafsir, usul fikih, dan lainnya. Juga sebagai persiapan dalam rangka mencetak para ulama, mujtahid, pemimpin, pemikir, kadi (hakim), hingga ahli fikih.

Dengan demikian, hanya Islam yang tetap hidup di tengah-tengah umat untuk diterapkan, dijaga, serta diemban ke seluruh dunia melalui dakwah dan jihad. Akhirul kalam, hendaklah kita mengingat perkataan Umar bin Khaththab raḍiyallāhu ʿanhū, “Dahulu kita adalah kaum yang paling hina, tetapi Allah memuliakan kita dengan Islam. Kapan saja kita meminta kemuliaan selain dari apa yang telah dimuliakan Allah terhadap kita maka Allah akan menghinakan kita.”

Wallahualam bissawab. []

Sumber: M News

About Author

Categories