
Empat Faktor Pemicu Krisis Mental Anak di Negara Sekuler
MUSTANIR.net – Jumlah anak-anak yang mengalami krisis kesehatan mental di Inggris telah mencapai rekor tertinggi, menurut analisis data NHS yang dilakukan oleh badan amal kesehatan mental Young Minds yang diterbitkan pada bulan Agustus. Data ini mengungkapkan bahwa jumlah anak-anak dan remaja yang menjalani pengobatan atau menunggu untuk memulai perawatan mencapai rekor baru dengan 466.230 rujukan terbuka ke layanan kesehatan mental anak-anak dan remaja pada bulan Mei.
Inggris bukanlah satu-satunya negara yang menderita krisis kesehatan mental di kalangan anak-anak dan remaja. Ada keadaan darurat kesehatan mental yang memengaruhi anak-anak di negara-negara sekuler di seluruh dunia.
Sebuah studi berjudul, ‘National Trends in Mental Health-Related Emergency Department Visits Among Youth 2011-2020’, menemukan bahwa selama 10 tahun, proporsi kunjungan anak-anak ke IGD karena alasan kesehatan mental di Amerika meningkat dua kali lipat, termasuk peningkatan 5 kali lipat dalam jumlah kunjungan terkait tindakan bunuh diri.
Lantas apa yang mendorong pertumbuhan eksponensial dari masalah kesehatan mental di kalangan generasi muda di negara-negara sekuler di seluruh dunia ini?
Masalah kesehatan mental disebabkan oleh banyak faktor, termasuk kesehatan fisik yang buruk. Namun, kita harus menyoroti keyakinan, nilai-nilai, gaya hidup, dan sistem dari cara hidup (way of life) sekuler yang tidak diragukan lagi merupakan kekuatan pendorong utama di balik krisis kesehatan mental di kalangan kaum muda ini.
1. Marginalisasi Agama dari Masyarakat
Pertama, negara-negara sekuler telah semakin memarginalisasikan agama di dalam masyarakatnya sehingga menyebabkan kekosongan spiritual di dlam diri individu-individu, ketiadaan pemahaman tentang tujuan hidup mereka yang sebenarnya, serta kebingungan dan ketidakpastian dalam cara memandang dan menangani masalah-masalah dalam hidup mereka. Secara alamiah, manusia mempunyai naluri untuk menyembah Dzat yang Maha Tinggi yang memberi mereka petunjuk dan jawaban tentang apa arti hidup ini dan bagaimana menjalani hidup dengan sebaik-baiknya.
Sistem apa pun yang mengesampingkan atau menekan naluri ini dengan sendirinya akan menimbulkan rasa hampa dan gejolak mental pada diri individu manusia. Selain itu, tidak adanya arah hidup yang jelas akan menabur benih kebingungan dan kesengsaraan.
2. Tatanan Kehidupan yang Antroposentris
Ke dua, di dalam sistem sekuler, manusialah yang menentukan apa itu kesuksesan dan berbagai tujuan yang harus didambakan oleh setiap individu. Antroposentrisme (manusia sebagai pusat) membuat banyak ekspektasi tidak realistis yang ditentukan bagi generasi muda berdasarkan pemikiran manusia yang cacat –standar kecantikan, harta benda, popularitas, kekayaan, prestasi pendidikan, atau gaya hidup– yang tidak terhindarkan lagi akan menyebabkan stres, kecemasan, dan depresi jika seseorang tidak mampu mewujudkan ekspektasi tersebut. Media sosial tentu saja, semakin membesar-besarkan ekspektasi yang tidak realistis ini kepada generasi muda.
Namun, kita harus menyoroti keyakinan, nilai-nilai, gaya hidup, dan sistem dari cara hidup (way of life) sekuler yang tidak diragukan lagi merupakan kekuatan pendorong utama di balik krisis kesehatan mental di kalangan kaum muda ini.
Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC), tingkat dugaan bunuh diri dan percobaan bunuh diri dengan keracunan di kalangan anak-anak berusia 10-12 tahun meningkat lebih dari 70% antara tahun 2019-2021, dan sekitar 50% pada anak-anak berusia antara 13-15 tahun.
Pada tahun 2020, bunuh diri adalah penyebab kematian ke dua di antara anak-anak berusia 10-14 tahun (CDC), dan hampir 20% siswa sekolah menengah di #Amerika melaporkan punya pemikiran serius untuk bunuh diri, sementara hampir 1 dari 10 pernah mencoba bunuh diri (National Alliance on Mental Illness). Di Australia, bunuh diri adalah penyebab utama kematian di antara warga Australia berusia 15-24 tahun (Institute of Health and Welfare Pemerintah Australia), sementara di Skotlandia, dilaporkan bahwa pada tahun 2022, bunuh diri juga merupakan penyebab utama kematian di kalangan anak-anak dan dewasa muda, menghilangkan 1 dari 4 nyawa selama tahun 2011-2020.
3. Kebebasan Liberal yang Merusak
Ke tiga, kebebasan-kebebasan liberal sekuler yang mendorong individu untuk mengejar keinginan dan hasratnya telah menciptakan gaya hidup hedonistik yang mengarah pada kecanduan narkoba dan alkohol di kalangan banyak remaja. Mereka juga memperburuk masalah seperti perundungan (bullying) dengan menciptakan kepribadian yang hanya bertindak berdasarkan apa yang membuat mereka merasa nyaman atau memberikan keuntungan bagi diri mereka sendiri.
Lebih jauh lagi, kebebasan seksual liberal telah menghancurkan struktur keluarga dan menyebabkan begitu banyak retaknya hubungan keluarga, serta menciptakan kebingungan besar yang menyertai isu identitas gender. Tidak diragukan lagi, semua ini telah menyebabkan gejolak psikologis yang dahsyat di kalangan banyak generasi muda.
Beberapa pihak menyalahkan pandemi Covid sebagai penyebab krisis kesehatan mental di kalangan anak-anak. Namun, banyak akademisi yang telah mencatat bahwa pandemi ini hanya memperburuk permasalahan kesehatan mental yang sudah ada, dengan angka bunuh diri di kalangan anak-anak yang terus meningkat bahkan sebelum adanya Covid. Misalnya, di Amerika, jumlah anak usia 6-12 tahun yang mengunjungi rumah sakit anak karena pikiran untuk bunuh diri atau menyakiti diri sendiri meningkat lebih dari dua kali lipat (115%) antara tahun 2016-2019 (Children’s Hospital Association). Ini terjadi sebelum pandemi melanda.
Tercatat 1,4 juta anak-anak dan remaja di Inggris mencari bantuan NHS untuk masalah mental pada tahun lalu. Faktanya, menurut angka NHS, jumlah anak usia sekolah yang dirujuk ke layanan kesehatan mental anak dan remaja mengalami “ledakan” dalam 3 tahun terakhir, melonjak 79% sejak tahun 2019. Hal ini untuk masalah seperti depresi, kecemasan, gangguan makan, menyakiti diri sendiri, dan bunuh diri.
4. Kesengsaraan Ekonomi Akibat Kapitalisme
Dan yang terakhir ke empat, sistem kapitalis sekuler telah melahirkan kesulitan ekonomi yang sangat hebat bagi individu-individu, jurang kesenjangan dalam kekayaan, dan ketidakmampuan banyak orang untuk memenuhi kebutuhan dasar –termasuk makanan dan tempat tinggal yang layak– yang telah memicu kecemasan dan depresi di kalangan anak-anak.
Laura Bunt, kepala eksekutif Young Minds, mengatakan bahwa angka-angka yang terkait dengan krisis kesehatan mental di kalangan pemuda di Inggris merupakan “indikasi adanya sistem yang rusak.” Sistem yang rusak ini adalah sistem sekuler. Sistem ini telah gagal mengurusi generasi muda dan telah gagal mengurusi umat manusia.
Sebagai umat Islam, kita juga perlu menanyakan beberapa pertanyaan serius mengenai arah yang dituju generasi muda kita di negara Barat maupun di negeri-negeri Muslim. Mengadopsi sistem liberal sekuler tidak menjanjikan apa pun selain potensi kemerosotan kesehatan mental anak-anak kita.
Tidak ada yang bisa menyelamatkan mereka dari nasib yang memilukan ini kecuali keyakinan, nilai-nilai, gaya hidup, dan sistem Islam, satu-satunya yang memiliki kemampuan untuk menciptakan kepuasan, ketenteraman, dan kebahagiaan sejati di dalam diri manusia.
(وَٱلۡعَصۡرِ إِنَّ ٱلۡإِنسَـٰنَ لَفِى خُسۡرٍ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلصَّبۡرِ)
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS al-Asr: 1-3) []
Sumber: Dr. Nazreen Nawaz