
Kritisi PBB, Genosida Di Rohingya Butuh Penanganan Bukan Laporan
Muslim Rohingya. foto: asianbangla.com
MUSTANIR.COM – Penduduk Rohingya. Mereka merintih, meratap, menjerit dan merayu. Meminta belas kasihan. Dimanakah hak mereka? Tidak tersentuhkan sang durjana itu melihat anak-anak kecil menjadi mangsa kerakusan, keganasan. Jeritan, tangisan, rintihan dianggap seperti lagu-lagu yang didendangkan. Darah merah Rohingya yang mengalir berterusan menghujani bumi Arakan. Sebutir syair karya Ciknoma mengingatkan seluruh manusia tentang pembantaian yang terjadi di Rohingya. Tentang hak yang semestinya Rohingya dapatkan. Bukan sekedar tulisan dalam laporan.
Laporan PBB menyebutkan bahwa Militer Myanmar telah melakukan genosida terhadap Rohingya di negara bagian Rakhine. Sungguh miris, mengingat genosida merupakan sebuah pembantaian besar-besaran secara sistematis terhadap satu suku bangsa atau sekelompok suku bangsa dengan maksud memusnahkannya atau membuatnya punah.
Tindakan keji tentara terhadap minoritas di Rakhine disebabkan oleh keyakinan penduduknya, yakni Islam. Pertanda selama sistem kapitalisme bertengger di atas tahta Islam akan selalu dipojokkan dan Umat Islam bila minoritas pasti dibantai, sedang jika mayoritas pasti ditekan untuk toleran. Missal saja di Indonesia yang penduduknya mayoritas Islam, volume Azan masih saja di ributkan seolah mengumandangkan Azan dituduh intoleran.
Laporan PBB mengatakan menemukan bukti konklusif bahwa tindakan pasukan bersenjata negara itu, yang dikenal sebagai Tatmadaw, “Tidak diragukan lagi merupakan kejahatan paling berat di bawah hukum internasional” di Rakhine serta di Kachin dan Shan. Penyelidik PBB ditolak akses ke Myanmar oleh pemerintah, tetapi mewawancarai 875 saksi yang melarikan diri dari negara itu.
Mereka menemukan bahwa militer “Membunuh tanpa pandang bulu, memperkosa perempuan, menyerang anak-anak, dan menyerang desa” di Rakhine rumah bagi Muslim Rohingya di Shan dan Kachin. The Tatmadaw juga melakukan pembunuhan, pemenjaraan, penghilangan paksa, penyiksaan, pemerkosaan, dan penggunaan perbudakan seksual dan bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya, penganiayaan dan perbudakan yang semuanya merupakan kejahatan teradap kemanusiaan. (theguardian.com)
Saat ini yang dibutuhkan Rohingya adalah sebuah penanganan bukan sekedar laporan sebagaimana yang PBB gaungkan. PBB tidak akan mampu menangani kasus genosida di Rohingya, bahkan untuk melakukan penyelidikan saja PBB masih berpikir panjang lantaran Myanmar tidak menandatangani Undang-undang Roma. Selain itu, ICC (pengadilan pidana internasional) menyatakan bahwa “ICC tidak memiliki kekuatan polisi sendiri, kemampuannya untuk menegakkan keputusannya sendiri dibatasi oleh fungsi atau kurangnya fungsi dari dewan keamanan PBB” kata Jordash setelah diwawancarai the guardian.
Inilah realita pahit ketidakberdayaan lembaga internasional sekelas PBB untuk menangani kasus pembantaian umat Islam.
Tidak hanya di Rohingya, kasus serupa genosida juga menimpa muslim minoritas di belahan bumi lainnya, seperti Muslim Uygur yang menjadi sasaran pembersihan etnis terbesar dunia yang dilakukan oleh Pemerintah Cina dengan menjalankan operasi militer yang sistematis dan terencana telah membunuh 15 juta etnis Uyghur Muslim di Xinjian di tahun 1949-1970. Lalu kembali lagi dengan intimidasi di tahun 2001 pasca AS mendeklarasikan “perang terhadap terorisme”, Cina langsung melakukan operasi militer yang melampaui batas hingga menjadi pembunuhan masal. Seolah telah terjadi skenario global untuk memusnahkan Umat Islam minoritas dan menekan Umat Islam mayoritas.
Kondisi darurat Umat Islam kini menunjukkan urgensi pentingnya keberadaan Khilafah yang akan melindungi, mengayomi, serta menyejahterakan seluruh kaum muslimin dalam wilayah kekuasaannya. Mengatasi genosida dengan adil sesuai syariah, tidak pandang suku atau bangsa tertentu, Khilafah akan menjamin nyawa kaum muslimin tidak seperti kapitalisme yang membuat darah kaum muslimin saat ini menjadi sangat murah sampai-sampai pembantaian bisa terjadi hampir di seluruh belahan bumi.
Khilafah saja bisa menurunkan seribu lebih pasukan demi membela seorang wanita yang auratnya tersingkap apalagi membela darah dan nyawa kaum muslimin dunia yang dibantai. Sudah sepatutnya kaum muslimin hidup dalam habitat aslinya, yakni Khilafah Islamiyyah supaya terjaga darah serta kehormatannya. Tidak seperti kapitalisme yang menjadikan wanita sebagai pemuas nafsu belaka yang tega membiarkan terjadinya pemerkosaan besar-besaran serta perbudakan kaum hawa dan kekerasan seksual lainnya.
Islam jelas menjadikan wanita sebagai kehormatan yang harus dijaga serta dilindungi dari berbagai tindakan keji. Tidak seperti kapitalisme yang menjadikan jeritan tangis anak-anak kecil korban pembantaian bagai lagu-lagu yang didendangkan. Islam memandang darah dan nyawa seluruh umat manusia sangat berharga, penganiayaan dan penyiksaan yang menimpa anak-anak patut ditangani hingga jeritan itu membungkam dan yang ada hanya senyuman bahagia.
Tidak seperti rezim sekuler durjana kapitalisme yang tidak akan pernah tersentuh oleh penderitaan rakyatnya justru menikmati kebahagiaan di atas penderitaan itu. Khalifah (pemimpin kaum muslimin dalam sistem Islam) tidak akan pernah membiarkan satu tetes darah kaum muslimin mengalir hanya untuk kesenangan dan tidak akan pernah merasa bahagia melihat penderitaan rakyatnya. Yang ada Khalifah ingin kata “sejahtera” menjadi realita. Dan lillah menjadi bahagia.
Oleh: Anisa Fitri Mustika Bela
Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta