Laporan ACT dari Arakan, Myanmar: Rohingya, Duka Muslim yang Terlupakan
“Tolonglah kami..” Abdur Rauf menyeka air matanya. “Tolonglah, sudah 17 tahun saya ini di Malaysia dan belum jelas status saya,” bulir bening berkumpul berkaca-kaca. “Kami mungkin bisa bertahan seperti ini, tapi bagaimana nasib anak-anak kami!” air mata pria Rohingya asal Myanmar itu pecah, membasahi pipinya.
Hati ini begitu pilu, mendengar langsung kisah Abdur Rauf, Ketua LSM Kemanusiaan ERCA (Ethnic Rohingya Committee of Arakan) yang belum mendapatkan status warga Negara. Kami kami berjumpa di Malaysia beberaoa waktu silam dalam acara Convension NGO Internatioal Road for Peace III.
Abdur Rauf tidak sendirian. Masih sangat banyak saudara kita muslim Rohingya yang mengalami nasib serupa bahkan lebih parah dari Abdur Rauf. Medio Desember silam, Alhikmah bertemu dua orang relawan Aksi Cepat Tanggap (ACT) yang berhasil masuk ke Myanmar, wilayah Rakhine State di mana para umat Islam Rohingya kini mengungsi. Andhika P Swasono dan Yusnirsyah Sirin, mengisahkan apa yang terjadi sebenarnya pada Muslim Rohingya di Myanmar.
“Kami khawatirnya mereka dizalimi karena mereka muslim,” kata Andhika di Menara 165 Jakarta, seperti dikuti[p Alhikmah.co dari Tabloid Alhikmah Edisi 90, . Yusnirsyah Sirin yang beberapa kali masuk ke wilayah Sittwe, sebuah kampung di Rakhine State, tempat umat Islam Rohingya tinggal membernarkan hal tersebut. “Akar konflik kejadian yang baru-baru ini (red_2012) merupakan mimpi dari radikal umat Budha yang ingin menjadian Myanmar sebagai ‘kota sucinya’ umat Budha,” kata Yusnirnsyah.
Selain itu, menurut Yusnirsyah, ia mendengar langsung dari para biksu yang berkata bahwa umat Budha di Pulau Jawa dulu dibantai oleh umat Islam, dan dendam itu harus dibalaskan kepada umat Islam di Thailand. “Di Myanmar, para monk (biksu) lebih berpengaruh dibandingkan walikota. Monk muda progresif mereka mengaburkan fakta, bahwa terjadi pembantaian umat Islam dulu di Jawa,” kata Yusnirsyah.
“Tapi kami bantah bahwa buktinya candi Borobudur masih ada. Kami datangi orang Budha dan memberitahu bahwa di Indonesia umat Budha dan Islam dapat hidup bedampingan,” kata Andika. Menurut Yusnirsyah, kemungkinan konflik ditambah dengan penguasaan perdagangan umat Islam di Myanmar, menyebabkan mereka dizalimi.
Walaupun biksu radikal memang secara nyata mengusir dan membunuh umat Islam, tapi menurut Andhika, masih ada beberapa biksu yang bisa diajak berdialog dan lebih toleran. “Bahkan ada orang budha yang sampai dibakar karena melindungi umat Islam. Kami berharap, di akar rumput masih bisa terjadi toleransi,” kata Andhika.
Rohingya, sebuah kisah ketika kemanusiaan itu telah tercabut. Ketika umat Islam Rohingya diusir dari kampung halamannya, yang telah mereka diami ratusan tahun. Ketika biksu-biksu itu memimpin penyerangan kampung-kampung mereka dalam wilayah Rakhine State. Ketika orang-orang Rohingya itu hanya bisa menangis, pergi, terusir tanpa perlawanan.
‘Masa iya. Untuk membuat tanah suci, melalui cara yang tak suci,” keluh Andhika. Karenanya, ia pun turut mendukung upaya dialog antara Pemerintah RI dan Myanmar guna mendesak pembantaian muslim Rohingya. Yusnirsyah menjelaskan bahwa sebenarnya tak hanya Rohingya saja yang dizalimi, tapi umat Islam di Myanmar secara keseluruhan.
“Dari total dulu 7-8 juta penduduk Rohingya, kini tinggal ratusan ribu, sekitar 800 ribu,” kata Andhika. Sisanya entah ke mana, menyebar ke pelbagai willayah, entah wafat, entah kabur, entah tenggelam, tak tahu kabarnya bagaimana. “Rohingya menginspirasi kita bahwa muslim itu harus kuat, bukankah Rasulullah bersabda bahwa Allah mencintai muslim yang kuat daripada yang lemah,” kata Andhika.
“Bahwa seharusnya, mempertahankan harta dan tanah adalah bagian dari jihad,” tambah Yusnirsyah. Muslim rohingya, hanya dapat menatap lirih kampungya yang kini menjadi tumpukan abu. Asap membumbung tinggi, membakar 12 dari 13 kampung Muslim di Sittwe Rakhine State. Hanya ada tangis, duka, di sana.
“Allah sendiri berfirman dalam Surat Ar Rad bahwa Allah tidak akan merubah suatu kaum hingga mereka sendiri merubahnya. Rohingya ini yang terlemah di antara orang Islam lainnya. Perlu adan pendidikan tentang membela tanah dan jihad,” kata Andhika.
“Ke depannya, ACT selain membuat shelter, membuat juga sekolahan, pendidikan tentang agama agar mereka mendapat pendidikan,” ungkap Andhika. Yusnirsyah, yang baru saja kembali ke Indonesia setelah Oktober silam berlebaran Idul Adha di Rohingya mengabarkan kabar terbaru muslim Rohingya di Myanmar.
“Kinis sudah ada 300 shelter tempat tinggal sementara bagi mereka. Sekarang, setelah konflik, ada keputusan dari Rakhine State bahwa muslim Rohingya dapat tinggal sementara selama 2 tahun. Mungkin sekarang sudah ada shelter, tapi kehidupan manusia bukan hanya tempat tinggal! Yang paling penting pengakuan bahwa mereka statusnya seperti apa!” tegas Yusnirsyah.
“Ada batas dua tahun mereka tinggal di situ, setelah itu nggak tahu seperti apa nanti,” tambahnya. Andhika dan Yusnirsyah berharap umat Islam dapat bersatu membantu menyelesaikan kezaliman terhadap saudaranya di Rohingya. “Yang paling mendesak ialah edukasi bahwa mempertahankan hak kita adalah jihad fisabilillah. Itu masalah mental. Teman-teman mitra kami di sana ingin menaikkan mental mereka. Kita dukung dengan doa,” pungkas Andhika