Menguak Liberalisasi Arab Saudi

MUSTANIR.netProyek ekonomi swasta Visi 2030 Arab Saudi bernilai ratusan ribu triliun rupiah. Pesta Halloween digelar. Peringatan Maulid Nabi ﷺ dilarang. Wanita tidak wajib menggunakan kerudung di tempat umum. Berbagai konser penyanyi Barat digelar. Berbikini di pantai diizinkan. Minuman keras dan narkoba legal. Saudi berhubungan secara rahasia dengan Israel. Ulama kritis ditangkap dan dipenjara.

Apa yang bisa dijelaskan dari rangkaian fakta-fakta ini?

Sejarah Singkat Liberalisasi

Arab Saudi adalah tragedi. [1] Pada tanggal 23 September 1932, Arab Saudi didirikan oleh Abdul Aziz bin Saud (Ibnu Saud, penguasa bani Saud di Nejd) di atas kekalahan Syarif Husein (bani Hasyim di Hijaz, Makkah dan Madinah), wali Hijaz yang diangkat oleh Khalifah Utsmaniyah di Istanbul.

Pengkhianatan Syarif Husein kepada khalifah di Istanbul diwarnai dengan persekongkolannya dengan Inggris melalui TE Lawrence (mata-mata Inggris) dengan dipenuhi aroma racun nasionalisme Barat yang mematikan. Dengan dukungan Inggris, setelah Syarif Husein dikalahkan, Ibnu Saud dan keturunannya menamakan kerajaannya dengan Arab Saudi (berasal dari nama Ibnu Saud. Dia menggabungkan Hijaz (Makkah dan Madinah) dengan Nejd yang sampai sekarang beribukota di Riyadh. Setelah penemuan minyak bumi pada 1938, [2] kedekatan klan Saud dengan Amerika juga terjadi.

Jadi, secara historis sebenarnya Arab Saudi sudah dalam genggaman dua negara kolonialis, Inggris dan Amerika. Dengan demikian jejak nilai-nilai liberal Barat sebenarnya sudah ada sejak berdirinya negara ini di atas tragedi pilu yang ditopang keserakahan akan kekuasaan, persekongkolan dengan orang kafir, dan keterpecahbelahan kekuatan di dunia Islam.

Akar Liberalisasi

Liberalisasi secara sederhana adalah melepaskan ketergantungan pada risalah (wahyu) dan memberikan porsi berlebih pada akal manusia untuk menentukan arah dan warna kehidupan. Liberalisasi ini adalah syarat penerapan sekulerisme, paham yang memisahkan agama dari kehidupan yang secara historis-substanstif adalah pengalaman buruk-parsial Barat (Eropa awalnya) ketika agama Katolik tidak dapat menjawab berbagai persoalan kehidupan.

Mengapa liberalisasi ini terjadi? Setidaknya ada dua faktor:

Pertama, faktor internal, saat Islam tidak diterapkan secara sempurna dan pengaruh kepemimpinan yang mendukung liberalisme. Ketika Islam tidak diterapkan secara sempurna maka yang terjadi celah masuknya nilai-nilai liberal akan terbuka. Meski sejak didirikan pada 1932 Kerajaan Arab Saudi mengklaim menerapkan seluruh syariah Islam. Sesungguhnya yang terjadi hanyalah penerapan yang sifatnya parsial. Ini terlihat dengan pemilihan sistem pemerintahan yang berbentuk kerajaan (kingdom, mamlakah) yang jelas tidak sesuai dengan Islam. Di dalam Islam, sistem pemerintahan yang syar’i adalah Khilafah Islamiyah sebagaimana dicontohkan Baginda Rasul ﷺ, para sahabat sesudahnya dan para khalifah.

Dari sisi ekonomi juga, penerapan mata uang cetak (riyal Arab Saudi) yang merupakan uang cetak (printing money) tidak sesuai dengan mata uang syar’i Islam, yaitu dinar emas dan dirham perak. Dari politik luar negerinya pun lebih berorientasi kepada kepentingan nasional dan tidak sejalan dengan politik luar negeri Islam, yaitu dakwah dan jihad. Sebagaimana keamanan negaranya ditumpukan kepada dukungan Amerika dan Inggris.

Ke dua, pengaruh Barat yang ingin mengendalikan dunia Islam, melalui peracunan Barat (Westoxification). Istilah ini mengacu pada pengaruh dari penjajahan Barat di dunia Islam yang tidak hanya fisik tapi juga non-fisik. Penjajahan non-fisik (pemikiran) sering disebut juga dengan ghazwul fikr (war on ideas). Dimulai dengan menderasnya paham sekulerisme (fashluddin anil hayah), memisahkan agama dari kehidupan. Tersebarnya nilai-nilai-nilai liberal dalam ekonomi dan nilai-nilai demokrasi-nasionalis dalam politik.

Arab Saudi yang sejak awal dikendalikan oleh Inggris, dengan nilai-nilai liberalnya. Setelah Inggris kehilangan posisi adidayanya di dunia pasca Perang Dunia II, digantikan Amerika Serikat (AS). Arab Saudi sampai sekarang ada dalam cengkeraman Amerika Serikat, yang sangat ideologis dengan ekspor sekulerisme-kapitalisme-liberalisme-demokrasi.

Rezeki minyak (emas hitam, black gold), yang ditemukan tahun 1938, yang menjadikan Arab Saudi negara penghasil minyak terbesar di dunia. Rezeki minyak bumi ini digunakan membangun infrastruktur, tetapi secara suprastruktur (pemikiran) tergadaikan ke Barat. Misal untuk menjaga keamanan dari serangan musuh (Israel dan Iran), Arab Saudi belanja senjata ke Amerika selama dua tahun terakhir (2021-2022) mencapai Rp 625 triliun.

Bentuk Proyek Liberalisasi

Akar liberalisasi ini dapat dilihat dari perkembangan konstelasi politik di internal kerajaan Arab Saudi dan pengaruh eksternal-internasional.

Dalam masa 1932-2015, pada batas tertentu meski pengaruh eskternal Barat (Inggris dan terutama Amerika terus menguat), tetapi akselerasi sesungguhnya dari liberalisasi terjadi ketika tahun 2015. Saat itu konstelasi internal, setelah Raja Salman naik tahta pada 2015 menggantikan Raja Abdullah(2005-2015) mengubah banyak hal. Di luar dugaan banyak kalangan pada 2017 dan bertentangan dengan tradisi pewarisan kekuasaan, Raja Salman mengangkat anaknya, Muhammad bin Salman menjadi putra mahkota (sebelumnya wakil putra mahkota dan Menteri Pertahanan), melucuti posisi putra mahkota sebelumnya, Muhammad bin Nayef (keponakan dari Raja Salman, anak Nayef bin Abdul Aziz, saudara Salman bin Abdul Aziz).

Peran penting Muhammad bin Salman (MBS) ini sejak 2015 adalah menyusun konsep Visi Saudi 2030 (bahasa Inggris: Vision 2030 Kingdom of Saudi Arabia, bahasa Arab: 2030 رؤية السعودية). Inti dari visi ini adalah rencana untuk mengurangi ketergantungan Arab Saudi pada sektor minyak bumi, mendiversifikasi ekonomi Arab Saudi, serta mengembangkan sektor layanan umum seperti kesehatan, pendidikan, infrastruktur, rekreasi, dan pariwisata.

Semua kebijakan yang dilakukan bertentangan dengan syariah Islam dan hanya mengandalkan ambisi akal untuk mencapai kemaslahatan yang diyakini. Inilah esensi pertentangan liberalisasi dengan syariah Islam.

Bidang Ekonomi

MBS mengumumkan visi secara resmi pada 25 April 2016. Proyek-proyek yang akan dijalankan untuk mewujudkan visi ini diperkirakan menghabiskan biaya lebih dari US$ 7 triliun (lebih dari Rp 100.000 triliun). Ada enam mega proyek yang akan diluncurkan. [3] Di antaranya adalah Neom (Neo-Mustaqbal) merupakan kota pusat teknologi tinggi senilai US$ 500 miliar atau lebih dari Rp 7.093 triliun yang dibangun di Laut Merah.

Secara kuantitatif, misi yang ingin dicapai adalah: (1) indeks ‘pemerintahan elektronik’ naik dari 36 menjadi 50; (2) semakin melokalkan sektor minyak dan gas dari 40% menjadi 75%; (3) menambah pendapatan non-minyak dari US$ 163 miliar menjadi US$ 1 triliun setiap tahunnya; (4) menambah proporsi ekspor non-minyak dari 16% menjadi paling tidak 50% produk domestik bruto non-minyak; (5) menambah kontribusi sektor swasta terhadap produk domestik bruto dari 40% hingga 65%; (6) menambah persentase investasi langsung terhadap produk domestik bruto dari 3,8% menjadi seperti rata-rata dunia (5,7%); (7) menambah kontribusi usaha kecil dan menengah dari 2% produk domestik bruto menjadi 35%; (8) melompat dari peringkat 25 menjadi 10 besar dalam indeks persaingan global.

Langkah-langkah strategis yang dilakukan adalah: (1) mengkonsolidasikan kekuatan politik internal untuk memastikan visi dan misi ini dapat dilakukan secara efektif; [4] [5] dan (2) membuka hubungan internasional dengan mengundang investor asing dalam pembiayaan proyek-proyek; (3) melakukan keputusan-keputusan praktis di semua bidang terkait.

Di balik gemerlap Visi 2030 ini, para pakar melihat konsep ini adalah hanyalah semacam payung untuk melempangkan liberalisasi yang sesungguhnya dan diawali di bidang ekonomi. Intinya adalah swastanisasi. Negara mengurangi peran. Ini ciri layaknya negara kapitalis. Hal ini jelas bertentangan dengan syariat Islam, yang memposisikan negara berperan penting dalam mengelola aset negara, bukan menyerahkan kepada swasta.

Mengutip Alfred Valder, mantan profesor ekonomi internasional di Universitas Oxford dan konsultan Bank Dunia, jurnal al-Iqtisadiyah menulis Visi 2030 untuk mempercepat Arab Saudi memasuki pasar bebas, meningkatkan sumbangan sektor industri (swasta, pen.) dan layanan terhadap produk domestik bruto, mengurangi belanja negara, dan memasukkan perempuan ke dalam lapangan kerja.

James Reeve, wakil kepala ahli ekonomi di Samba Financial Group, mengatakan bahwa harapan banyak pihak, termasuk rakyat Saudi, amat tinggi terhadap Visi 2030 itu. Termasuk soal bagaimana pemerintah akan meningkatkan peran swasta dalam membangun perekonomian negara. Dia menambahkan pemerintah Arab Saudi perlu membentuk sebuah badan mampu menggaet investor asing.

Maka dari itu, salah satu bentuk konkrit mengundang investor, saat Rothschild & Company, perusahaan konsultan keuangan dan bank investasi milik keluarga konglomerat Yahudi bernama Rothschild, baru-baru ini membuka kantor cabang di ibu kota Riyadh, Arab Saudi, seperti dilansir Saudi Project. Perusahaan konsultan berskala global ini pula telah ditunjuk oleh MBS untuk merestrukturisasi Saudi bin Ladin Group, perusahaan konstruksi terbesar di Arab Saudi milik keluarga besar Usamah bin Ladin.

Di sisi lain, Chairman Bank Leumi di Israel, Samir Haji Yahya mengatakan perusahaannya berminat untuk berinvestasi di Arab Saudi. Hal ini dia sampaikan kemarin saat menjadi pembicara dalam konferensi investasi tahunan FII (Insiatif Investasi Masa Depan) di ibu kota Riyadh, Arab Saudi. Bank Leumi adalah satu dari dua bank terbesar di Israel selain Bank Hapoalim. Samir merupakan bos bank Israel pertama menjadi peserta pada konferensi investasi di negara Ka’bah itu. Samir menjelaskan ada banyak arus investasi masuk ke Saudi. “Kami juga tertarik menanamkan modal di sana, di sektor pembayaran, ritel, atau mata uang digital,” katanya.

Bidang Luar Negeri

Arus investasi asing yang masuk ke Arab Saudi melalui proyek-proyek Visi 2030 ini meniscayakan diplomasi baru internasional. Tentu investor asing yang mampu masuk dalam proyek Visi 2030 adalah mereka yang selama ini menguasai konstelasi keuangan internasional. Mereka adalah para bankir Yahudi, Israel. Jelas ini bertentangan dengan syariat Islam, karena Israel adalah negara kafir penjajah yang harusnya diperangi, bukan diajak investasi.

MBS pun menjadi aktor utama dalam upaya normalisasi hubungan Saudi-Israel. Apalagi dia adalah penguasa de fakto sekaligus calon raja di Arab Saudi. Sikapnya pun mendukung kepentingan negara Zionis itu. Dia sama sekali tidak pernah mengecam terobosan-terobosan Trump (saat itu sebagai Presiden AS) yang mendukung Israel. Dalam pertemuan dengan para pemimpin organisasi lobi Yahudi dan Zionis ketika melawat ke ibu kota Washington DC, Amerika, MBS menyampaikan seperti Palestina, Israel juga berhak memiliki tanah air sendiri. Dia bahkan menekan Presiden Palestina Mahmud Rida Abbas untuk menerima proposal damai versi Trump.

Perlahan tetapi pasti, hubungan Saudi-Israel kian mencair. Pada Januari 2019, Sekretaris Jenderal Liga Dunia Muslim, Syaikh Muhammad Abdul Karim memimpin delegasi tokoh muslim ke kamp Auschwitz, lokasi pembantaian sekitar satu juta orang Yahudi oleh tentara Nazi Jerman di Polandia semasa Perang Dunia ke Dua. Lima bulan kemudian, Syaikh Muhammad Abdul Karim—merupakan orang kepercayaan MBS—menjadi tokoh Saudi pertama menghadiri pertemuan tahunan Forum Global AJC (Komite Yahudi Amerika) digelar secara virtual.

Setelah Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain meneken Perjanjian Ibrahim pada 15 September 2020 di Gedung Putih, Presiden AS saat itu, Trump, mengumumkan Saudi mengizinkan semua penerbangan dari Israel ke Timur Jauh dan sebaliknya melewati wilayah udaranya. Akhirnya, pada 23 November 2020, bin Salman bertemu Netanyahu di kota Neom, Arab Saudi. Ini menjadi pertemuan ke tiga keduanya setelah pada 2017 dan 2018.

Haaretz dan Walla News dalam laporan yang dipublikasikan pada Senin (23/11/2020) mengatakan Netanyahu bertemu Pangeran MBS di Neom, sebuah kota di Laut Merah. Netanyahu didampingi kepala badan intelijen Israel (Mossad) Yossi Cohen. Pertemuan berlangsung selama lima jam. Pompeo, Menlu AS, pada Senin, turut mengumumkan bahwa dia telah melakukan pertemuan dengan Pangeran MBS di Neom. Dia mengatakan, melakukan pembicaraan konstruktif. “Kemitraan keamanan dan ekonomi kami kuat dan kami akan terus memanfaatkannya untuk memajukan upaya untuk melawan pengaruh buruk Iran di Teluk, tujuan ekonomi di bawah rencana Visi 2030, dan reformasi Hak Asasi Manusia (HAM),” tulis Pompeo melalui akun Twitter pribadinya.

Bidang Pariwisata, Hiburan, dan Sosial

Pure Beach, pantai privat di kawasan King Abdullah Economic City, Arab Saudi, menjadi sorotan dunia. Pasalnya, di sini para turis perempuan dibebaskan memakai bikini dan berpelukan dengan pasangannya. Pure Beach terletak sekitar 125 kilometer dari kota internasional Jeddah. Pemandangan tak biasa di kerajaan penampung situs tersuci umat Islam ini adalah gebrakan MBS untuk mencitrakan negaranya menjadi bebas. Tak seperti dulu.

Asma (32 tahun), salah satu turis perempuan dan warga Arab Saudi, mengatakan kepada AFP bahwa menghabiskan hari di pantai Arab Saudi bersama kekasihnya tak pernah terpikirkan sebelumnya. Sebabnya, negara itu dikenal sangat ketat. Ia bahkan bisa berdansa dengan pasangannya di atas pasir putih di tepi Laut Merah, diiringi dentuman musik dari pengeras suara. Pantai ini memiliki taman terapung yang membentuk tulisan ‘Arab Saudi’ dalam bahasa Inggris, jika dilihat dari atas. Untuk masuk ke sini, tiap orang harus mengeluarkan kocek 300 riyal Saudi atau sekitar Rp 1,1 juta (asumsi Rp 3,772/riyal), untuk menikmati musik dan tarian sekaligus bermain air.

Pada saat yang sama, Arab Saudi juga melegalkan minuman keras. Pihak Kerajaan telah membuka diri kepada dunia melalui reformasi ekonomi dan sosial yang luas. Rencana pengembangan hiburan dalam negeri ini sudah diumumkan pada bulan April. Disebutkan bahwa Pemerintah Arab Saudi berencana membangun kota hiburan di pinggir kota Riyadh seluas 334 kilometer persegi. Pengembangan industri hiburan asli dalam negeri dan pariwisata berpotensi mendatangkan pemasukan US$ 22 miliar atau sekitar Rp 293 triliun.

Angka itu didapat dari penghitungan jumlah uang yang dibelanjakan oleh warga Arab Saudi di luar negeri, antara lain untuk tujuan pariwisata dan hiburan. Di sana akan ditawarkan beragam kegiatan seperti kebudayaan, olah raga dan hiburan, termasuk taman rekreasi dengan wahana permainan serta taman safari. Aturan tersebut akan berlaku di kota megafuturistik baru milik Saudi (Neom). Ini dikaitkan dengan pembukaan sebuah resor pantai di Neom tahun 2023 mendatang, Sindalah. Neom merupakan tonggak perubahan bagi Arab Saudi di bawah pemimpin de facto, MBS, di negaranya. Sebagian bertujuan untuk menarik turis asing dan mendorong pengusaha asing untuk tinggal dan bekerja di sana.

Bukan hanya alkohol, gambar pengembangan Sindalah tertanggal Juni juga memuat gambar-gambar wanita berbikini dan pria bertelanjang dada. Mereka dibuat bersantai di kapal pesiar dan mandi di kolam renang tanpa batas. Sebelumnya, isu perizinan alkohol di Arab Saudi sudah beredar sejak Mei lalu. Kepala pariwisata Neom Andrew McEvoy kepada surat kabar nasional Abu Dhabi mengatakan undang-undang proyek akan sesuai dengan ‘target menarik warga asing untuk bekerja dan tinggal di wilayah itu’. “Alkohol jelas tidak lepas dari kebiasaan,” ujarnya kala itu.

Apa kata pemerintah Arab Saudi? Meski demikian, perwakilan Neom belum memberikan konfirmasi terbaru soal ini. Pada bulan Mei, pemerintah Arab Saudi sempat membantah sebagian dari isu. Dikatakan, Neom akan tunduk pada kedaulatan Arab Saudi, tetapi memiliki undang-undang ekonomi khusus. “Jawaban singkatnya adalah kami akan melanjutkan undang-undang kami saat ini,” kata Asisten Menteri Pariwisata, Putri Haifa binti Mohammed al-Saud. Ia mengatakan itu pada diskusi panel di Forum Ekonomi Dunia. “Kami telah mengungguli secara global dalam hal pariwisata dengan apa yang saat ini kami tawarkan hari ini,” tegasnya lagi (cnbcindonesia.com/news/20220921064027-4-373714/raja-salman-izinkan-alkohol-bikini-di-arab-ini-kronologinya)

Di bidang hiburan lainnya, pesta Halloween diizinkan. Otoritas Hiburan Umum Arab Saudi telah menggelar perayaan Halloween publik terbesar sepanjang sejarah, yaitu pada 27-29 Oktober 2022 lalu. Perayaan bertajuk ‘Akhir Pekan Menakutkan’ yang berlangsung di Riyadh Boulevard ikut meramaikan Riyadh Season. Masyarakat beramai-ramai mengenakan kostum menyeramkan untuk bersenang-senang. Perayaan Halloween di Arab Saudi digelar dua hari sebelum perayaan serupa di Amerika Serikat, 31 Oktober. Kepala Otoritas Umum untuk Hiburan, Penasihat Royal Court Arab Saudi, Turki al-Sheikh mengatakan melalui akun Facebook-nya, “Suasana di akhir pekan menakutkan.”

Ironisnya, justru Arab Saudi melarang peringatan Maulid Nabi ﷺ. Pemerintah Arab Saudi melarang perayaan Maulid Nabi Muhammad ﷺ karena dianggap tidak sesuai dengan sunnah alias bid’ah. Meski demikian, pemerintah tetap membolehkan jika ada orang yang memperingati maulid secara individu.

Seiring itu pula berlaku beberapa kebijakan sosial seperti pencabutan aturan wajib hijab. Pemerintah Arab Saudi kini membolehkan wanita melepaskan hijab di tempat umum. Wanita juga punya hak yang sama dalam dunia kerja. Sejak 2018 lalu, sesuai Visi 2030 yang dirancang MBS, Arab Saudi menegaskan visinya untuk tidak saja menjadi pusat dunia Arab dan Islam, tetapi juga sebagai kekuatan investasi dunia dan pusat yang menghubungkan benua Asia, Afrika, dan Eropa. Hal tersebut berdampak di segala bidang dan menyentuh semua kalangan, termasuk kaum perempuan. Para wanita mendapatkan kesempatan untuk membantu menyukseskan program pembangunan di berbagai bidang.

Di sisi lain, sebuah pembunuhan mengerikan akibat narkoba memikat media di Arab Saudi pada April 2022, ketika seorang pria di Eastern Province (Provinsi Timur) negara itu membakar rumah keluarganya sebelum berbuka puasa dan menewaskan empat anggota keluarganya. Polisi mengatakan dia berada di bawah pengaruh sabu-sabu, metafetamin, menurut surat kabar setempat. Arab Saudi kembali dicap menjadi ‘surga’ narkoba di Timur Tengah usai pihak berwenang menyita pil puluhan juta pil narkotika pada akhir Agustus 2022. Mengapa sebutan itu muncul? Sebutan itu kembali santer terdengar setelah kepolisian Saudi mengamankan hampir 47 juta pil narkoba jenis amfetamin. Jutaan pil ini tersembunyi dalam paket pengiriman tepung di sebuah gudang di Riyadh.

Direktorat Jenderal Pengendalian Narkotika menyatakan operasi itu sebagai penyelundupan tunggal terbesar di Saudi. Begitu besar penyitaan ini, Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Urusan Narkoba dan Kriminal (UNODC) sampai buka suara. “Laporan penyitaan amfetamin dari negara-negara Timur Tengah terus merujuk pada tablet bertuliskan logo captagon,” demikian pernyataan UNODC yang dikutip CNN. Pengamat Brookings Institution di Washington DC, Vanda Felbab-Brown, menyebut captagon beredar di Arab Saudi sejak 15 tahun lalu. Lima tahun terakhir, pemakaian obat itu makin intensif. “Mungkin jadi setara dengan ganja. Hal ini karena ada banjir pasokan yang kini sebagian besar datang dari Suriah,” kata Felbab-Brown.

Di Suriah, obat-obatan itu memang diproduksi dalam skala industri di pabrik kimia rezim Presiden Bashar al-Assad. Saudi kini disebut menjadi tujuan utama penyelundupan narkoba dari Suriah dan Lebanon. Para ahli menyebut negeri kilang minyak itu sebagai salah satu wilayah terbesar dan paling menguntungkan untuk peredaran narkoba. Menurut jurnal International Addiction Review, Captagon bisa dijual antara US$ 10 hingga US$ 25 atau sekitar Rp 148 ribu hingga Rp 371 ribu perbutir di Saudi.

Banyak orang juga mencari obat jenis amfetamin karena dianggap bisa menjadi pelarian untuk warga yang stres di tengah kelaparan dan krisis pangan. “Serta mendorong euforia yang disebut membantu mengatasi stres traumatis. Disebut pula, sifat yang sama dari captagon itu dicari pekerja asing di negara Teluk,” kata analisis senior dari New Lines Institut, Caroline Rose.

Jelaslah, pencabutan kewajiban menutup aurat di pantai dan tempat kerja, legalisasi miras, pesta Halloween dan narkoba adalah bertentangan dengan syariah Islam.

Bidang Dakwah dan Kebebasan Sipil

Banyak penangkapan dan pemenjaraan ulama dan mereka yang bersikap kritis terhadap berbagai kebijakan MBS.

Pengadilan Banding Arab Saudi menjatuhkan hukuman 10 tahun penjara kepada Syaikh Shalih ath-Thalib, seorang imam dan pengkhutbah terkemuka di Masjidil Haram di Makkah. Melansir Middle East Monitor, Rabu (24/8/2022), Pengadilan Banding membatalkan putusan Pengadilan Kriminal Khusus yang membebaskan Syaikh ath-Thalib dari tuduhan terhadap dirinya. Ath-Talib yang berusia 48 tahun ditangkap pada Agustus 2018.

Namun, tidak ada penjelasan resmi yang dikeluarkan untuk penangkapannya. Yang jelas, dia adalah seorang imam di Makkah pada saat itu. Sebuah kelompok advokasi media sosial, Prisoners of Conscience, yang memantau dan mendokumentasikan penangkapan para pengkhutbah dan ulama Saudi, mengatakan bahwa ath-Thalib ditangkap setelah ia menyampaikan khutbah tentang kewajiban dalam Islam untuk berbicara menentang kejahatan di depan umum.

Perlu diketahui, Arab Saudi telah menangkap puluhan ulama sejak musim panas 2017. Beberapa di antaranya karena secara terbuka menyerukan rekonsiliasi antara negara-negara Teluk ketika Saudi mempelopori pengepungan di negara tetangga Qatar. Lebih dari setahun sejak berakhirnya boikot, para ulama tetap di penjara. Arab Saudi sejauh ini telah menangkap setidaknya empat ulama yang dianggap mengancam kekuasaan kerajaan. Yang terbaru, kerajaan Saudi mengerahkan 20 intelijen untuk menangkap ulama perempuan Aisha al-Muhajirri. Ia ditangkap di kediamannya karena berdakwah dan mengajar ngaji.

Menurut Prisoners of Conscience (POC) yang melaporkan penangkapan dan penindasan pemerintah Saudi terhadap aktivis, al-Muhajiri ditangkap bersama tokoh masyarakat dan dua wanita lainnya. Selain al-Muhajirri, berikut deretan ulama yang sebelumnya ditangkap otoritas Arab Saudi. Di antaranya:

▪ Syaikh Abdullah Basfar

Beliau adalah qari (pembaca al-Quran) yang ditangkap pada Agustus 2020 lalu. Basfar ditahan namun tidak disebutkan alasan penahanannya. Sebagian orang menganggap penahanan itu sebagai tindakan keras atas dugaan ekstremisme di kerajaan. Upaya tersebut sejalan dengan rencana MBS yang akan menghapus identitas agama di Arab Saudi. Dilansir Middle East Monitor, Basfar merupakan seorang profesor di Departemen Syariah dan Kajian Islam di King Abdul Aziz University di Jeddah. Dia juga mantan Sekretaris Jenderal Organisasi Kitab dan Sunnah Dunia.

▪ Syaikh Saud al-Funaisan

Juga ditangkap pada bulan Maret 2020. Tak berbeda dengan Basfar, penangkapan al-Funaisan diduga sebagai bagian tindakan ekstremisme di Kerajan Saudi. Ia merupakan seorang profesor universitas dan mantan Dekan Fakultas Syariah di Universitas al-Imam di Riyadh.

▪ Syaikh Shalih ath-Thalib

Pada Agustus 2018, Arab Saudi dikabarkan menangkap Shalih ath-Thalib lantaran khutbahnya yang dinilai mengkritik kebijakan kerajaan. POC menyebut Thalib menyampaikan ceramah yang menyebut Islam harus melawan godaan-godaan setan dalam lingkup masyarakat, termasuk godaan berkumpul antara kaum laki-laki dan perempuan di tempat publik. Berdasarkan laporan Khaleej Online, dalam khutbahnya, Thalib mengkritik kebijakan yang mulai mengizinkan kaum perempuan dan laki-laki berkumpul di acara-acara publik seperti festival musik hingga pertandingan olah raga.

▪ Syaikh Sulaiman Dweesh

Salah satu cendekiawan terkemuka, Sulaiman Dweesh juga ditangkap setelah mengkritik Pangeran Mohammed. Seminggu sebelum penangkapan Thalib, Dweesh dikabarkan tewas akibat disiksa selama berada dalam penahanan otoritas Saudi.

▪ Syaikh Salman al-Awda

Awda merupakan salah satu orang yang ditangkap otoritas Saudi dalam penggerebekan terhadap penentang pemerintah, pada September 2017. Kelompok pemerhati HAM, Amnesty Internasional, menyatakan Awda ditangkap tak lama setelah mengunggah pendapatnya di Twitter yang mendukung laporan yang memuat kemungkinan rekonsiliasi antara Saudi dan Qatar. Sejak Juni 2017, Saudi menutup hubungan diplomatik, ekonomi dan segala akses yang berhubungan dengan Qatar. Awda sempat dibawa ke rumah sakit setelah hampir lima bulan ditahan di penjara isolasi. Oleh otoritas Saudi, pihak keluarganya tidak diperkenankan berkomunikasi dengan Awda sejak ditahan.

Sikap ini semua menggambarkan pembungkaman atas sikap kritis dan amar maruf nahi mungkar yang diperintahkan oleh syariah Islam.

Bidang Pemerintahan

Pemerintah AS tidak menjatuhkan sanksi atau menghukum putra mahkota Arab Saudi, MBS, dalam kasus pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi. Padahal laporan intelijen Amerika menyalahkan calon raja Saudi tersebut. Gedung Putih membela keputusannya untuk tidak secara langsung memberi sanksi kepada MBS ketika kritik bermunculan sebelum Washington akan mengumumkan kebijakan baru terhadap Riyadh pada hari Senin (1/3/2021).

Juru bicara Gedung Putih, Jen Psaki mendukung langkah untuk tidak menargetkan putra mahkota MBS dalam sebuah wawancara pada hari Minggu, meskipun kelompok HAM dan beberapa politisi senior Demokrat menyatakan kekecewaannya. Psaki mengatakan keputusan Pemerintah Biden ini sebagai bagian dari diplomasi. “Kami yakin ada cara yang lebih efektif untuk memastikan hal ini tidak terjadi lagi dan juga dapat memberikan ruang untuk bekerja dengan Saudi di area di mana ada kesepakatan bersama—di mana terdapat kepentingan nasional untuk Amerika Serikat. Seperti itulah bentuk diplomasi,” kata Psaki kepada CNN.

Joe Biden tidak menjelaskan apa yang akan diumumkan pada hari Senin. Ia hanya mengatakan bahwa pendekatan umum ke Arab Saudi itu akan menjadi ‘signifikan’ dan menjelaskan bahwa ‘peraturan sedang berubah’. “Kami akan meminta pertanggungjawaban mereka atas pelanggaran HAM,” kata Biden kepada Univision. Dia mengaku telah memperingatkan Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud tentang pengumuman itu dalam percakapan telepon pada hari Jumat. Gedung Putih mengatakan bahwa pihaknya memandang raja berusia 85 tahun itu sebagai rekan Biden daripada putra mahkota berusia 35 tahun, yang memiliki kendali atas kebijakan sehari-hari.

CNN mengutip dua pejabat pemerintah yang tidak disebutkan namanya yang mengatakan bahwa memberi sanksi kepada Pangeran MBS bukanlah pilihan karena akan membahayakan kehadiran AS di Arab Saudi, di mana Amerika memiliki lima pangkalan. Akibatnya, Departemen Luar Negeri bahkan tidak diminta memberikan opsi untuk memberikan sanksi kepada Pangeran Muhammad bin Salman.

Dengan publikasi laporan intelijen AS tentang pembunuhan Khashoggi tahun 2018, pemerintahan Biden mengatakan pihaknya memberlakukan pembatasan visa pada 76 orang Saudi yang terlibat dalam pembunuhan. Sanksi terhadap 76 warga Saudi itu dikenal sebagai ‘Khashoggi ban’. Tidak dijelaskan secara eksplisit bahwa Pangeran MBS tidak ada dalam daftar 76 warga Saudi yang terkena sanksi, tetapi pernyataan Psaki pada hari Minggu terlihat mengesampingkan hal itu.

Jelas, pembunuhan politik tanpa ada dasar hukum sebagaimana pemenjaraan para lawan politik adalah tindakan yang bertentangan dengan Islam.

Masa Depan Arab Saudi

Melihat berbagai kebijakan dan langkah-langkah yang dilakukan MBS sebagai penguasa de facto Arab Saudi, sulit melihat akan ada perubahan Islami. Yang terjadi adalah makin menderasnya sekularisasi dan liberalisasi.

Satu peluang terakhir adalah membangun pemahaman dan opini umum yang berbasis kesadaran politik umum dari masyarakat, para tokoh ulama, dan masyarakat. Mereka semua tidak boleh diam. Melalui dakwah kolektif berkarakter intelektual dan politis, yang meneladani Rasul ﷺ dan para Sahabat, peluang bagi tegaknya syariah Islam secara kaaffah dalam naungan Khilafah Islamiyah adalah keniscayaan.

Jangan biarkan Arab Saudi terus menjadi tragedi!

WalLâhu a’lam. []

Sumber: Dr. Riyan M.Ag (Pengamat Politik Islam)

Catatan kaki:

[1] Arab Saudi adalah tragedi, bermakna negara yang di dalamnya ada dua kota suci: Mekkah (ada Ka’bah kiblat umat Islam sedunia dan Masjidil Haram yang penuh berkah) dan Madinah (ibu kota negara Islam pertama, dan terdapat makam Rasul ﷺ). Tidak lagi menjadi kiblat untuk persoalan politik sebagaimana sebelumnya. Orang beribadah dengan khusyu’ di dua kota ini, tetapi di kota lain mereka dihadapkan pada kemaksiatan yang luar biasa.

[2] Pada 3 Maret 1938, para ahli geologi yang melakukan pengeboran berhasil menemukan ladang minyak di Arab Saudi untuk pertama kalinya. Temuan ini juga berhasil mencatatkan rekor sebagai ladang minyak mentah terbesar di dunia saat itu. Sekaligus meyakinkan para peneliti bahwa masih banyak ladang minyak lainnya yang belum terungkap. Ini adalah buah dari kerjasama yang dilakukan Raja Abdul Aziz dengan perusahaan AS yang bergerak di bidang perminyakan, Socal. Kelak, Socal menjelma menjadi California Arab Standard Oil Company (CASOC), cikal bakal Saudi Arabian American Oil Company (Aramco)—salah satu perusahaan minyak terbesar dan tersukses di dunia.

[3] Keenam projek raksasa yang sedang dijalankan Arab Saudi, sebagaimana dilansir dari Arab News, Kamis (14/10/2021). Di antaranya: (1) Perusahaan Pengembangan Laut Merah, bertujuan menjadi pemimpin dunia dalam pariwisata regeneratif, Proyek Laut Merah adalah proyek pariwisata berkelanjutan yang mewah di situs seluas 28.000 kilometer persegi di pantai barat kerajaan. (2) Qiddiya, menjadi pusat hiburan, olah raga, dan seni. Proyek ini dibangun di atas lima pilar utama: Olah raga dan kesehatan, alam dan lingkungan, taman dan atraksi, gerak dan mobilitas, serta seni dan budaya. (3) Proyek Pengembangan Aseer, untuk mengembangkan wilayah Aseer barat daya dengan US$ 13 miliar untuk menarik lebih dari 10 juta pengunjung pada tahun 2030. (4) Otoritas Pengembangan Gerbang Diriyah, proyek raksasa untuk mengembangkan kembali tempat kelahiran kerajaan (Nejdi) untuk menjadi tujuan kelas dunia. Senilai US$ 50 miliar ini akan menampilkan beberapa restoran dan hotel termewah di dunia, dengan semua struktur dibangun dengan gaya arsitektur tradisional Nejdi. (5) Neom, Neo-Mustaqbal (Masa Depan Baru), adalah  proyek raksasa, kota berbasiskan teknologi yang terletak di barat laut Arab Saudi, di pantai Laut Merah, Neom kini sedang mencari kontraktor dan investor. (6) Amaala, adalah proyek ultra-mewah di pantai Laut Merah Arab Saudi, yang berfokus pada kesehatan, hidup sehat, dan meditasi. Proyek ini akan menawarkan fasilitas dan layanan kepada tamu yang memberikan pengalaman mewah di berbagai bidang seperti seni, budaya, mode, kesehatan, dan layanan olahraga.

[4] MBS melakukan konsolidasi dengan menyingkirkan lawan politiknya, yaitu mantan putra mahkota Pangeran Muhammad bin Nayef. Kemudian, sebanyak 11 pangeran dan 4 menteri Arab Saudi ditangkap atas dugaan terlibat korupsi. Dilansir dari Reuters, Minggu (5/11/2017), penangkapan dilakukan pada Sabtu (4/11) malam. Putra mahkota merupakan pemimpin dari Komite Anti-Korupsi baru Saudi yang baru saja dibentuk di hari yang sama. Salah satunya adalah Alwaleed bin Talal, pangeran yang termasuk daftar orang terkaya dunia. Dilansir dari Arab News, Minggu (5/11), penangkapan 4 menteri membuat Raja Salman melakukan reshuffle kabinet. Dua perubahan penting tersebut adalah digantinya Menteri Garda Nasional, Miteb bin Abdullah oleh Pangeran Khaled bin Ayyaf, serta Menteri Ekonomi, Adel Fakieh yang digantikan oleh Mohammed al-Tuwaijri.

[5] Pembunuhan wartawan The Washington Post, Jamal Khashoggi, kembali menjadi sorotan setelah Amerika Serikat resmi merilis dokumen intelijen yang menuding keterlibatan putra mahkota Arab Saudi, MBS dalam kasus tersebut. Pemerintahan Presiden Joe Biden merilis dokumen intelijen terkait penyelidikan kematian Khashoggi, yang menunjukkan peran Muhammad bin Salman dalam kasus pembunuhan itu. Dokumen itu sudah ada sejak pemerintahan Presiden Donald Trump. Namun, Trump disebut menolak merilis dokumen itu demi mempertahankan relasi AS dan Saudi. Sebelum menjadi warga AS, Khashoggi pernah menjabat sebagai penasihat Pangeran Turki al-Faisal, mantan kepala intelijen dan duta besar Saudi untuk Amerika Serikat dan Inggris. Selama menjadi wartawan, Khashoggi kerap mengkritik kepemimpinan MBS di Saudi. Dia menyoroti kedekatan Saudi dengan pemerintahan AS di era pemerintahan Trump. Da juga menentang keterlibatan Saudi dalam perang sipil di Yaman. Khashoggi hilang saat hendak mengurus sejumlah dokumen pernikahannya di konsulat Saudi di Istanbul pada 2 Oktober 2018. Tunangan Khashoggi, Hatice Cengiz, ikut menemaninya dan menunggu di luar konsulat. Sejak itu, Cengiz tak pernah melihat tunangannya itu keluar dari gedung itu. Lihat lebih detail: bbc.com/indonesia/dunia-49874546

About Author

2 thoughts on “Menguak Liberalisasi Arab Saudi

  1. Thank you for your sharing. I am worried that I lack creative ideas. It is your article that makes me full of hope. Thank you. But, I have a question, can you help me?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories