Lima Abad Kejayaan Islam Masa Abbasiyah yang Runtuh

Lima Abad Kejayaan Islam Masa Abbasiyah yang Runtuh

Mustanir.com – Hanya dengan kekuatan 200.000 tentara dan berlangsung hanya dalam waktu 40 hari Kekhalifahan Abbasiyah yang bertahta selama 500 tahun dengan segala kebesarannya lenyap dari muka bumi.

Baghdad luluh lantak dihancurkan. 1,8 juta kaum muslimin di Baghdad disembelih dan kepalanya disusun menjadi gunung tengkorak. Tua, muda bahkan kanak-kanak. Laki-laki maupun perempuan, hingga janin di dalam kandungan semua dipenggal.

Khalifah dibantai beserta 50.000 tentara pengawalnya. Sejak pembantaian itu selama 3,5 tahun umat Islam hidup tanpa Khalifah. Tentara yang biadab memusnahkan ribuan perpustakaan yang memuat jutaan kitab-kitab, manuskrip-manuskrip sebagai khazanah peradaban di Baghdad dengan mencampakkannya ke dalam laut sehingga berwarna kehitaman. Siapa pelakunya?

Mereka yang bengis itu disebut Bani Qantura dengan ciri-ciri fisik bermuka lebar dan bermata kecil yang telah diisyaratkan kemunculannya oleh Nabi Muhammad saw. Kita mengenalnya sebagai bangsa Mongol atau Tartar yang kala itu dipimpin oleh Hulagu Khan, cucu dari Jengis Khan.

Ketika itu, seluruh negeri Islam yaitu Baghdad, Syria dan Asia Tengah sudah jatuh ke tangan tentara Mongol. Hanya tinggal tiga negeri Islam yang belum dimasuki yaitu Makkah, Madinah dan Mesir. Maka Hulagu Khan terus merangsek berupaya menaklukkan negeri yang lain.

Ambisi selanjutnya adalah menaklukan  Mesir dan mengutus delegasi Mongol ke Mamluk Mesir, dimana pemimpin saat itu adalah Sultan Syaifuddin Muzaffar al Quthuz. Delegasi ini datang dengan membawa surat dari Hulagu Khan yang isinya,

“Dari Raja Raja Timur dan Barat, Khan Agung. Untuk Quthuz Mamluk, yang melarikan diri dari pedang kami. Anda harus berpikir tentang apa yang terjadi pada negara-negara lain dan tunduk kepada kami. Anda telah mendengar bagaimana kami telah menaklukkan kerajaan yang luas dan telah memurnikan bumi dari gangguan yang tercemar itu. Kami telah menaklukkan daerah luas, membantai semua orang. Anda tidak dapat melarikan diri dari teror tentara kami. kemana Anda lari? Jalan apa yang akan Anda gunakan untuk melarikan diri dari kami?

Kuda-kuda kami cepat, panah kami tajam, pedang kami seperti petir, hati kami sekeras gunung-gunung, tentara kami banyak seperti pasir. Benteng tidak akan mampu menahan kami, lengan Anda tidak dapat menghentikan laju kami. Doa-doa Anda kepada Allah tidak akan berguna untuk melawan kami. Kami tidak digerakkan oleh air mata atau disentuh oleh ratapan. Hanya orang-orang yang mohon perlindungan akan aman. Mempercepat balasan Anda sebelum perang api dinyalakan.

Menolak dan Anda akan menderita bencana yang paling mengerikan. Kami akan menghancurkan masjid Anda dan mengungkapkan kelemahan Tuhanmu, dan kemudian kami akan membunuh anak-anak dan orang tua Anda bersama-sama. Saat ini Andalah satu-satunya musuh yang mesti kami hadapi.”

Isi surat tersebut jelas-jelas melecehkan kedaulatan Islam, cuma ada dua opsi, menyerah atau berperang. Syaifuddin Quthuz tidak gentar sedikitpun, malah beliau dengan berani menempeleng delegasi Mongol itu dan membunuh mereka karena tertangkap tangan melakukan tindakan spionase. Dengan segera ia menggerakkan pasukannya dan memancing Mongol untuk bertempur di Ain jalut.

Kemudian Al Quthuz segera memobilisasi tentaranya maka terbentuklah pasukan berjumlah 20. 000 orang tentara dan bergerak menuju Ain Jalut di Palestina untuk menantang tentara Mongol. Bahkan istri sang sultan ikut berjuang dan memilih jalan jihad bersama kekasihnya.

Pada malamnya Quthuz dan pasukan Islam melakukan tahajud dan memohon dari Allah demi kemenangan pasukan Islam dalam pertempuran esok hari. Malam itu adalah malam jum’at 25 Ramadhan, mereka menghabiskan malam mereka dengan tahajud dan doa serta menyerahkan diri kepada Allah. Semoga Allah menerima mereka sebagai hamba-Nya dan memberikan kemuliaan kemenangan atau syahid di medan pertempuran esok hari. Hari di mana mereka menebus semua kematian jutaan umat Islam di tangan Mongol. Hari dimana kekhalifahan Islam akan sirna selamanya jika Mongol berhasil mengalahkan mereka.

JUM’AT, 25 RAMADHAN 658 H

Sultan Quthuz berdiri gagah, ia hendak memotivasi seluruh tentara gabungan Mesir, Syam dan Turki, serta seluruh rakyat Mesir untuk bergerak menuju jihad di jalan Tuhan. Suaranya begitu lantang dan keras, membuat jiwa bergetar, dan mengalirkan air mata, kata-katanya terdengar nyaring, menyerukan jihad paling menentukan dalam sejarah.

“Jika Mongol memiliki kuda, panah, tameng, dan manjanik. Maka kita punya yang tak terkalahkan oleh apapun, kita punya Allaaaaah,,,,,Azza wa Jalla.”

Suara takbir bergemuruh, semangat pasukan terbakar, dan rakyat  berjanji akan bertempur bersama sultan mati-matian, hingga darah penghabisan.

Bertemulah Kedua kekuatan tersebut di Medan perang Ain jalut, Pasukan Mamluk dengan mengandalkan pasukan kavaleri sebagai kekuatan utama di pimpin oleh Jendral Baibars dengan Sultan Quthuz mengamati dari dataran tinggi sementara Pasukan Mongol dipimpin langsung oleh jendral tangan kanan dan kepercayaan Hulagu Khan, Qitbuka Noyan.

Baibars yang memiliki jumlah pasukan kaveleri yang lebih sedikit menggunakan taktik “hit and run” dalam melawan pasukan Mongol hingga terjadi pertempuran selama berjam-jam sampai pada akhirnya pasukan Mongol jatuh ketengah-tengah perangkap pasukan Mamluk.

Melihat lawannya sudah masuk kedalam perangkap, pasukan Mamluk yang bersembunyi mulai keluar dan langsung menghujani pasukan Mongol dengan panah dan meriam kecil dalam penyerangan ini.

Ketika pasukan lawannya sudah berada dalam posisi terdesak, pasukan kavaleri Mamluk lain yang juga bersembunyi serta kemudian disusul oleh Infantrinya langsung menyerbu lawannya dalam empat posisi, menutup jalan keluar bagi pasukan Mongol.

Qitbuka yang menyadari bahwa pasukannya tidak mempunyai harapan lagi untuk melawan pasukan Kaveleri utama pimpinan Baibars dan memenangkan pertempuran, serta pasukannya terpojok ditengah-tengah, segera memerintahkan keseluruhan sisa pasukan yang dimilikinya untuk memfokuskan penyerangan ke posisi sayap kiri pasukan Mamluk pimpinan Al-Mansur Mohammad yang dirasa paling lemah, untuk membuka jalan keluar bagi pasukan yang dipimpinnya. Setelah digempur secara gencar akhirnya posisi sayap kiri pasukan Mamluk menjadi goyah.

Dari dataran tinggi, Sultan Quthuz yang mengamati jalannya pertempuran, melihat posisi sayap kiri pasukannya mulai terbuka akan dijebol pasukan Mongol, seketika itu pula ia membuang topeng bajanya ke tanah hingga wajahnya dapat terlihat oleh seluruh pasukannya, Sambil mengacungkan senjata Ia menggebrak kudanya ke arah posisi sayap kiri pasukannya,dan berteriak keras-keras,

“Demi Islam!..Demi Islam!”

Melihat sultannya menuju ke arah mereka, seketika itu pula moral dan semangat bertempur pasukan sayap kiri Mamluk meningkat, mereka kembali meningkatkan pertahanan dan tekanan kepada pasukan Mongol, satu-persatu pasukan Mongol berjatuhan terbunuh termasuk Qitbuka.

Pasukan yang tak pernah terkalahkan akhirnya takluk oleh pejuang Islam yang pemberani dan panji-panji Islam kembali ditegakkan.

Sultan Syaifuddin Muzhaffar al Quthuz meninggal dunia hanya lima puluh hari setelah kemenangan Ain Jalut. Kekuasaannya hanya berusia 11 bulan dan 17 hari. Tidak genap satu tahun!

Berbagai peristiwa bersejarah yang agung, persiapan yang bagus, pendidikan yang tinggi, kemenangan gemilang, hasil yang luar biasa dan dampak yang besar. Ya, semua ini dicapai kurang dari satu tahun di bawah pemerintahan pemuda legendaris ini.

Lalu. Bagaimana dengan kita? Di penghujung Ramadhan ini, apakah yang telah kita persiapkan, korbankan bahkan perjuangkan untuk menegakkan keadilan dan mencegah kemungkaran di sepanjang hidup kita?

Ramadhan adalah bulan perjuangan. Mulai dari perang Badar, perang Tabuk, menggali parit untuk perang Khandaq, penaklukkan Makkah, penaklukkan Andalusia, serta banyak peperangan terjadi di bulan ini termasuk perang Ain Jalut. Maka bukan kebetulan juga jika kemerdekaan bangsa ini diproklamirkan pada hari jum’at 9 Ramadhan.

Semoga cerita tersebut diatas menginspirasi kita semua, untuk terus bersiap siaga menjaga kehormatan diri, agama.

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories