Mana yang Berlaku, Masa ‘Iddah Berdasarkan Agama atau Negara?
Mana yang Berlaku, Masa ‘Iddah Berdasarkan Agama atau Negara?
Assalaamu’alaikum wr. wb.
Ustaz, saya ingin menanyakan berdasarkan hukum agama apabila suami telah memberi talak satu kepada isteri kemudian isteri menjalani masa iddah selama 3 bulan, dan setelah menjalani masa iddah tersebut apakah si isteri tersebut boleh menikah lagi dengan pria lain?
Tetapi disini isteri tersebut baru menyelesaikan proses perceraiannya lewat Pengadilan Agama, dimana yang kita tahu sendiri proses pengadilan agama itu membutuhkan waktu berbulan-bulan lamanya.
Dan manakah yang berlaku masa iddah berdasarkan agama yang dihitung sejak jatuhnya talak satu secara syar’i, ataukah masa iddah berdasarkan negara yang dihitung sejak jatuhnya ketukan hakim?
Terima kasih atas jawabannya.
Jawaban
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Prinsip dasar yang harus kita pegang teguh dalam menjalankan agama Islam adalah bahwa semua hukum syariah, termasuk dalam urusan pernikahan dan perceraian, asalnya dari Allah SWT. Sebagaimana mana Allah mengaturnya, seperti itulah kita menjalankannya.
Dan menjadi kaidah dasar bahwa kita berkewajiban menjaga dan memelihara keaslian hukum-hukum yang telah Allah turunkan, bukannya malah mengubah, merusak, memelintir, atau menambahi dan menguranginya, dengan seribu satu alasan.
Beda Masa Iddah Versi Agama dan Pengadilan Agama (PA)
Kita bersyukur meski negara NKRI resminya tidak mengakui syariat Islam sebagai dasar negara, namun setitik dua titik dari hukum syariah ini, masih ada dijalankan secara resmi, yaitu apa yang dijalankan oleh Pengadilan Agama lewat Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Meski tidak semua syariah Islam ditegakkan, tetapi beberapa bagian sudah dijalankan. Di antaranya masalah nikah, talak, rujuk, bagi waris dan harta wakaf. Tentu sangat sedikit jumlahnya bila dibandingkan dengan semua item hukum Islam yang ada. Tetapi yang sedikit sudah lebih baik dari pada tidak ada sama sekali. Dan kita tetap wajib mensyukurinya.
Namun yang masih disayangkan justru pada wilayah yang sedikit itu masih ada saja kelemahan disana-sini. Misalnya pada tentang kapankah jatuhnya talak. Di dalam kitab Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang selalu dijadikan ‘kitab suci’ oleh Pengadilan Agama, seorang wanita baru resmi dianggap ditalak manakala putusan hakim pengadilan agama menyatakan sah.
Meskipun suaminya sudah lebih setahun yang lalu mengucapkan lafadz talak secara sharih, tapi manakala Bapak Hakim yang terhormat itu belum menganggapnya talak, dan belum ketuk palu, maka dianggap bukan talak.
Nah, fenomena ini tentu sangat dilemmatis. Bagaimana tidak?
Seolah-olah kita merasa sudah menjalankan hukum Islam dengan merujuk kepada KHI, tetapi kalau kita teliti lebih dalam, justru kita menemukan begitu banyak kelemahan. Di antaranya adalah bahwa ketetapan dari KHI ini malah 180 derajat bertentangan dengan nash-nash yang shahih dari sabda Rasulullah SAW, dan juga bertentangan ijma’ seluruh ulama sepanjang zaman.
1. KHI Bertentangan Dengan Hadits Nabi SAW
Rasulullah SAW sebagai utusan resmi dari Allah telah menetapkan hukum bahwa suami bila menjatuhkan talak, walaupun hanya bercanda atau main-main, maka talak itu jatuh.
Dan untuk itu belilau SAW bersabda dalam hadits yang shahih :
ثَلاَثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ : النِّكَاحُ وَالطَّلاَقُ وَالرَّجْعَةُ
Tiga perkara yang apabila dilakukan dengan serius maka hukumnya menjadi serius, namun bila dilakukan dengan main-main maka hukumnya tetap serius, yaitu : nikah, talak dan rujuk. (HR. Tirmizy)
Ketentuan ini diajarkan oleh beliau SAW 14 abad yang lalu dan dipahami seperti itu sampai hari ini. Seluruh umat Islam yang pernah belajar ilmu syariah pasti tahu, main-main atau serius, kalau suami bilang kepada istrinya,”Kamu saya talak”, maka jatuhlah talak itu.
Lalu berlalu lah masa 14 abad hingga umat Islam dikalahkan di berbagai belahan dunia. Masuklah para penjajah kafir yang ingin mendongkel hukum Islam dari bumi Allah. Allah SWT mencabut ilmu agama dengan wafatnya para ulama, dan yang tersisa hanya para tokoh yang kurang paham syariah Islam.
Dan hari ini kita menyaksikan bagaimana ilmu syariah itu tercerabut dari akar-akarnya yang asli, lalu sedikit demi sedikit diotak-atik dan diganti dengan hukum buatan manusia. Anehnya, yang melakukan perbuatan naif itu bukan orang kafir, tetapi justru anak-anak biologis dari umat Islam sendiri.
Bagaimana mungkin apa yang telah beliau SAW tetapkan sebagai syariat Islam, justru kita tolak mentah-mentah. Dikatakan ‘menolak mentah-mentah’, karena konten KHI yang satu ini justru sejalan dengan produk hukum ala penjajah, yaitu dengan mensyaratkan bahwa talak itu harus ada saksinya, bahkan harus di depan Pengadilan Agama segala.
Lebih lucu lagi dan bikin kita tertawa terpingkal-pingkal adalah bahwa bila pihak istri tidak bersedia dijatuhi talak, tetapi Pengadilan Agama terlanjur menerima talak dari suami, istri bisa naik banding ke level Pengadilan yang lebih tinggi. Wah, mirip pengadilan kriminal saja pakai naik banding segala.
Kalau lah seandainya cerai itu harus dilakukan di depan Pengadilan, seharusnya Rasulullah SAW dan para ulama sepanjang 14 abad ini pun memerintahkannya, setidaknya mengisyaratkannya. Padahal 14 abad lewat ini kita lalui dalam format hukum Islam yang berdaulat, punya pengadilan yang sangat kuat. Tetapi tidak pernah ada sejarahnya cerai itu harus di depan Pengadilan.
Kalau kita mau jujur, sebenarnya hukum ini termasuk bid’ah dhalalah kalau mau dipaksakan sebagai produk hukum Islam. Sebab tidak pernah ada nash atau pun contoh, baik dari zaman salafunasshalih, apalagi dari masa Rasulullah SAW sendiri.
Kelemahan Alibi
Biasanya selalu saja ada alasan yang dibuat-buat. Salah satunya yang paling sering dijadikan alasan adalah agar jangan sampai kasus perceraian merebak, lantaran masyarakat kita terlalu awam dan tidak tahu bahwa bilang cerai ke istri sudah jatuh talak.
Jadi karena masyarakat kita awam, maka hukumnya dirubah. Coba bayangkan, betapa lucunya logika hukum seperti ini, bukannya keawaman masyarakat itu yang diantisipasi, tetapi malah hukumnya yang disesuaikan.
Kalau kita buat ilustrasi, ibarat kata umumnya masyarakat tidak tahu bahaya naik motor kebut-kebutan dan berboncengan tiga orang lebih tanpa helm, lalu bukannya masyarakat yang disadarkan dan para pelanggarnya ditertibkan, tetapi malah larangannya yang dicabut atau diringankan menjadi boleh. Aneh sekali, bukan?
Sejak dulu saya agak kesulitan memahami logika bengkok seperti ini. Masak sih karena alasan masyarakat kurang paham bahaya zina dan minuman keras, lalu larangan zina dan minuman keras itu diubah menjadi boleh?. Aneh dan tidak masuk akal, bukan?
Coba pakai logika ‘ajaib’ itu buat kasus korupsi. Dengan alasan masih banyak masyarakat yang kurang paham bahwa korupsi, gratifikasi, money loundry itu merugikan rakyat, maka semua diperbolehkan secara resmi. Dan semua pasal yang menjerat perilaku korupsi dihapus. Lucu sekali, bukan?
Lama-lama, dengan alasan banyak orang yang tidak kenal agama Islam, keluar fatwa bahwa selain agama Islam juga boleh dianut, yang penting hatinya baik. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.
2. KHI Bertentangan Dengan Ijma’ Seluruh Ulama
Selain bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah, syariah Islam itu juga dijabarkan dengan sangat rinci dan detail di dalam kitab-kitab turats warisan para ulama.
Kalau bicara syariah Islam dan hukum-hukum fiqih, maka rujukan kita tidak akan keluar dari kitab para ulama.
Sayangnya, logika hukum aneh bin ajaib ala KHI yang menolak cerai kecuali harus di depan Pengadilan Agama dan setelah ketuk palu hakim, sama sekali tidak pernah disebut-sebut oleh satu pun ulama di masa lalu.
Mulai dari para shahabat yang jumlahnya menjadi 124 ribu lebih, hingga ke masa para tabi’in dan tabi’it-tabi’in, lalu masa para ulama mazhab dan seterunsya sampai 1400 tahun kemudian, tak satu pun ulama yang pernah berpendapat aneh seperti itu.
Semua kitab fiqih versi semua mazhab, tidak ada satu pun yang menyebutkan bahwa jatuhnya talak itu manakala hakim mengetuk palu. Tetapi jatuhnya talak itu ketika suami mengucapkannya. Bahkan tidak perlu pakai saksi segala. Suka atau tidak suka, memang itulah kenyataannya. Begitulah literatur fiqih yang diajarkan kepada kita sejak zaman dahulu. Siapapun yang pernah belajar fiqih, pasti tahu hal itu.
Sekarang ini dengan adanya Kompilasi Hukum Islam (KHI), seorang suami yang setiap hari bilang cerai pada isterinya, tetap saja dianggap belum sah cerainya, selama belum ada putusan hakim.
Dan anehnya, masa iddah perceraian itu dihitung justru dari sejak tanggal putusan dari hakim yang menceraikan. Ini ajaib sekali.
Sejak kapan seorang hakim punya hak menentukan cerai tidaknya suatu pasangan? Dimana bisa dirujuk masalah ini? Kitab fiqih manakah yang menyebutkan keterangan ‘aneh’ ini?
Sementara kita tahu bahwa cerai itu datangnya dari suami, kapanpun seorang suami mengucapkan lafadz sharih tentang perceraian, maka saat itulah jatuh talak 1 kepada isterinya.
Kesimpulan :
- Kalau ingin jawaban secara syar’i, maka apa yang sudah dibahas di atas itu sudah 100% benar. Jadi tidak perlu menunggu sidang, apalagi putusan dari hakim. Bila masa ‘iddah secara agama sudah selesai, pada dasarnya seorang wanita boleh menikah lagi dengan laki-laki lain.
- Hanya saja karena pertimbangan mashlahat dokumen pernikahan, dimana surat cerai dari Pengadilan Agama itu dibutuhkan untuk pernikah beriktnya, maka masalah ini perlu diimbangi juga dengan resiko kerepotan di kemudian hari. Meski secara agama sudah sah untuk menikah lagi, tetapi bila belum punya dokumen resmi untuk menikah, karena statusnya di surat resmi masih isteri orang, maka akan sulit dilaksanakan pencatatan akad nikah secara formal.
- Kalau pun tetap nikah juga, hukumnya halal, karena cerai sudah terjadi dan masa iddah sudah lewat. Tapi secara prosedur formal, bisa saja di masa mendatang akan muncul berbagai problem dokumen yang agak merepotkan. Jadi memang dilemmatis juga pengadilan agama kita ini. Sudah tidak lengkap, masih saja ada kelemahan di sana-sini.
Jadi mohon maklum saja.
Koreksi Lamanya Masa Iddah
Masa iddah buat wanita yang ditalak suaminya bukan tiga bulan, tetapi yang lebih tepat adalah tiga kali quru’ atau tiga kali masa suci dari haidh. Masa ini khusus buat masa iddah wanita yang ditalak oleh suaminya. Sebagaimana petunjuk langsung dari Allah dan rasul-Nya.
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوَءٍ
Wanita-wanita yang dithalak hendaklah menahan dini (menunggu) selama tiga masa quru’. (Al-Baqarah: 228)
Lama masa quru` ada dua pendapat. Pertama, masa suci dari haidh. Kedua, masa haid sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW
“Dia (isteri) ber’iddah (menunggu) selama tiga kali masa haid.“ (HR Ibnu Majah)
Demikian pula sabda beliau yang lain:
“Dia menunggu selama hari-hari quru’nya.“ (HR Abu Dawud dan Nasa’i)
Jadi kira-kira memang sebanding dengan masa 3 bulan, akan tetapi belum tentu tepat betul. Yang menjadi patokan adalah lama 3 kali masa suci dari haidh. Dan sebagaimana kita tahu, bahwa tiap wanita punya keadaan yang berbeda-beda, yang berpengaruh juga pada lama masa haidhnya. Maka bisa saja seorang wanita menjalani masa iddah atas talaknya tidak sampai masa sebulan, atau sebaliknya malah lebih lama dari 3 bulan.
Sebagai ilustrasi, mari kita gunakan pendekatan dalam mazhab As-Syafi’i. Dalam mazhab itu disebutkan bahwa haidh seorang wanita paling cepat sehari semalam. Dan masa suci dari haidh paling cepat 15 hari. Maka kalau seorang wanita kebetulan punya masa haidh yang cepat dan masa suci dari haidh yang cepat juga, bisa saja masa iddahnya hanya sekitar 19 hari saja.
Logikanya, ketika diceraikan dia sedang berada pada hari terakhir dari masa sucinya. Ini sudah dihitung sekali masa suci. Lalu dia haidh sehari dan suci selama 15 hari. Ini sudah suci yang kedua, padahal jumlah harinya baru 1 + 1 + 15 = 17 hari. Bila dia haidh lagi selama 1 hari dan suci lagi, maka pada hari pertama dari sucinya, telah habis masa ‘iddahnya. 17 + 1 + 1 hari = 19 hari.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.