Matinya Fitrah Ibu
Matinya Fitrah Ibu
Mustanir.com – Kiranya kapan berita miris ini tak lagi terdengar di telinga: ibu membuang bayi, bunuh diri bersama anaknya, memutilasi buah hatinya dan sejenisnya. Rasanya tidak masuk akal membaca berita-berita kekejaman ibu terhadap darah dagingnya. Tapi, itulah fakta. Terjadi di negeri muslim terbesar di dunia.
Dahulu, kisah kekejaman ibu seperti itu, mungkin hanya bagi ibu tiri. Kini, ibu kandung. Dulu, kisah kekejaman ibu hanya dilakukan orang tak beragama. Kini, ibu muslimah. Pasti, ada tekanan luar biasa yang menyebabkan ibu tega melakukannya. Apa itu?
Fitrah Ibu
Kasih ibu (harusnya) tak terhingga. Seandainya anak bisa mengungkapkan isi hati terdalamnya, ibu adalah sosok terpenting baginya. Sepanjang sejarah, fitrah ibu adalah pelindung bagi anak-anaknya. Ibarat induk ayam yang akan menerjang siapa saja yang mengancam anak-anaknya.
Jangan tanya pengorbanan ibu demi melihat anak tercintanya bahagia. Ibu rela berlapar-lapar demi menunggu anak-anaknya kenyang. Perut ibu cukup menjadi ‘tong sampah’, menghabiskan sisa-sisa suapan anaknya.
Jika anak sakit, ibu berbisik lirih dalam hatinya: “lebih baik aku saja yang sakit, jangan anakku”. Jika ibu yang sakit, tiada kata cuti baginya. Curahan perhatian tetap pada anak tercinta. Begitulah kasih dan sayang seorang ibu kepada anaknya yang tak bisa di balas atau ditandingi dengan apapun di dunia ini.
Ibu menjadi sosok pelindung bagi bayinya yang lemah. Mengalirkan kehangatan, kenyamanan dan kedamaian dalam dekapan. Maka sungguh mengherankan jika firah ini tak lagi mengalir dalam darah kaum ibu masa kini. Padahal sejak Hawa diciptakan, demikianlah karakternya. Tiada berubah. Lantas apa gerangan yang sanggup mencongkel fitrah indah ini?
Kekalahan Opini
Sosok ibu hari ini diakui setengah hati. Peran strategisnya tidak didukung oleh peradaban yang baik. Penerapan ideologi sekuler kapitalis bukan mensupport terlakasananya tugas keibuan dengan baik, sebaliknya, menggerus fitrah mulianya.
Bagaimana tidak, penerapan sekulerisme di berbagai bidang kehidupan hanya menimbulkan lingkaran setan permasalahan. Memicu persoalan pelik baik bagi elemen individu, keluarga maupun negara. Secara individu, ibu dihadapkan pada pilihan-pilihan yang terkadang menekan fitrah kewanitaannya.
Ini karena terpropagandakannya opini: perempuan punya hak kebebasan. Jangan mau ditindas laki-laki. Harus memperjuangkan kesetaraan. Harus mandiri ekonomi. Bebaskan berekspresi. Dll. Fitrah ibu dicabut atas nama kesetaraan gender dengan laki-laki. Ibu mengalami pergulatan batin yang keras atas pilihan: di rumah atau di publik.
Akhirnya, kekalahan opini ini membuat kaum ibu menyerah. Tertekan jiwanya. Saat memilih jadi ibu, terasa tidak ikhlas, masih ingin terbang bebas. Jika memilih berkeliaran bebas, batin pun tersiksa atas nama rasa bersalah. Dilema yang melahirkan depresi tiada akhir.
Sementara itu, rumah tangga yang dibangun, tak lepas dari guncangan. Badai itu bernama: mahalnya biaya hidup; mewahnya ongkos pendidikan; melangitnya dana kesehatan; tak terjangkaunya harga perumahan, dst. Bagaimana rumah tangga tidak was-was. Jika kebutuhan terus meningkat, sementara sistem sekuler menyulitkan orang untuk mengakses sumber-sumber pendapatan.
Akhirnya, suami kerja keras banting tulang demi mencukupi keluarga. Waktu terasa tak ada untuk bercengkerama bersama. Ditambah lagi, kemenangan opini-opini di luaran sana tentang profil ibu terkini. Yang harus gaul, konsumtif, hedonis, dll. Membuat tuntutan hidup melangit. Merasa tak cukup memenuhi sandang, pangan, papan.
Makan-minum mungkin murah saja. Yang mahal itu biaya gaya hidupnya. Tapi, demi mengupayakan gengsi, kaum istri diberdayakan untuk menopang problem keuangan. Padahal di pundaknya sudah terpikul beragam beban, mulai masalah kerumah-tangaan hingga tumbuh-kembang anak. Repotnya sudah luar biasa.
Masih untung kaum ibu tidak gila, tetapi stres masal sukses melanda. Ibu-ibu banyak yang tidak sabar. Minta cerai. Anak terlantar. Putus asa. Membunuh anak. Bunuh diri. Semua adalah lingkaran setan akibat penerapan peradaban buruk yang terus dipertahankan.
Kegagalan Negara
Masyarakat, dengan elemen individu di dalamnya, adalah tanggung jawab negara. Maka, problem yang menimpa individu pada dasarnya bermuara pada kemampuan negara dalam mengayomi dan mengatur warga negaranya.
Negara yang mampu menciptakan situasi dan kondisi yang baik, akan melahirkan individu-individu terbaik. Hari ini, negara yang menerapkan ideologi sekuler, telah gagal mencetak individu-individu yang memiliki kemampuan menjadi problem solver.
Termasuk, gagal mengkondisikan ibu sebagai problem solver bagi keluarganya. Bagaimana mau menyelesaikan masalah, sedangkan problem keluarga demikian ruwetnya. Sementara banyak ibu yang rendah pendidikannya, lemah pemahamannya, kurang ketakwaannya, dll.
Negara akhirnya juga gagal membentuk keluarga-keluarga sebagai elemen terkecil dalam memecahkan masalah. Lihatlah! Banyak keluarga-keluarga yang mengumbar persoalan ke ranah publik. Keluarga yang berakhir bubar. Kawin cerai.
Hal ini tidak terlepas dari kegagalan negara dalam menanamkan ketakwaan dan kesalehan massal pada warga negaranya. Individu-individu terlalu dibiarkan bebas mengembarakan aspek spiritualnya, tidak diakomodasi sama sekali oleh negara. Sistem pendidikan, sistem sosial, sistem ekonomi, peradilan dan pemerintahan tidak mengakomodasi kepentingan individu untuk pengembangan kepribadian terbaiknya.
Sungguh jauh berbeda dengan sejarah penerapan Islam yang panjang selama lebih 13 abad lamanya. Hampir tidak pernah kita baca sejarah tentang kekejaman para muslimah, terlebih terhadap darah dagingnya. Hal ini tak lepas dari penerapan sistem Islam secara kafah yang mengekomodasi kebutuhan seluruh warga negaranya.
Adanya kedamaian, kenyamanan dan kesejahteraan hidup, menghilangkan potensi stres masal. Termasuk, mencegah ibu-ibu mengalami depresi. Sehingga, tidak ada yang tega melakukan kekejian, terlebih terhadap buah hatinya. Ibu yang ridho menjalankan fitrahnya (Kholda).