Memahami & Menyikapi Perbedaan Pendapat (Ikhtilaf)
Memahami & Menyikapi Perbedaan Pendapat (Ikhtilaf)
Oleh: M. Taufik N.T
Perbedaan pendapat (ikhtilaf) merupakan hal yang pasti terjadi, bahkan hal ini juga terjadi dikalangan sahabat pada masa Rasulullah saw. masih hidup, seperti perbedaan pendapat saat Rasulullah memerintahkan sahabat pergi ke bani Quraidhoh, beliau mengatakan:
لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ
“Jangan sekali-kali salah seorang dari kalian shalat ‘Ashar keculi di perkampungan Bani Quraizhah.” Lalu tibalah waktu shalat ketika mereka masih di jalan, sebagian dari mereka berkata, ‘Kami tidak akan shalat kecuali telah sampai tujuan’, dan sebagian lain berkata, ‘Bahkan kami akan melaksanakan shalat, sebab beliau tidaklah bermaksud demikian’. Maka kejadian tersebut diceritakan kepada Nabi saw, dan beliau tidak mencela seorang pun dari mereka.” (HR. Bukhory dari Ibnu ‘Umar r.a)
Hanya saja tatkala perbedaan pendapat tidak disikapi dengan benar, maka hal ini menjadi pintu masuknya fitnah yang bisa dimanfaatkan oleh musuh Islam untuk mengadu domba antar umat Islam sehingga tidak ada lagi rasa pembelaan terhadap sesama saudara se’aqidah yang berbeda pendapat dengannya. Tulisan ini mencoba mengurai secara ringkas sebab-sebab perbedaan pendapat, memilah dan bagaimana menyikapinya.
1) Sebab-Sebab Ikhtilaf
Ikhtilaf bisa muncul karena hawa nafsu, atau karena ijtihad yang memang diizinkan syara’ (bagi yg layak untuk berijtihad). Ikhtilaf yang disebabkan karena hawa nafsu adalah ikhtilaf yang tercela, karena berarti menjadikan hawa nafsu sebagai dalil syara’[1], dan ikhtilaf karena hal ini tidak dianggap sebagai ikhtilaf yg ditolerir syara’[2].
Adapun ikhtilaf karena ijtihad yang diizinkan syara’ terjadi karena banyak sebab yang bisa dikembalikan kepada dua hal yakni: karena dalil atau karena kaidah-kaidah ushul yang berkaitan dengan dalil.
1.1) Sebab Ikhtilaf karena Dalil
Al Bathlayusy (w. 521 H) dalam kitabnya Al Inshâf, ikhtilaf dalam berdalil bisa karena beberapa hal, diantaranya:
1. Lafadz yg mengandung beberapa makna (musytarok) juga lafadz yg mengandung penakwilan. Seperti:
والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاثة قروء
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. (Al Baqarah : 228)
Quru’ diartikan suci oleh orang-orang Hijaz, dan diartikan haid oleh orang-orang ‘Iraq.
2. Lafadz yang mengandung makna hakiki dan majazi (kiasan).Semisal:
أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ …
Atau menyentuh perempuan. (QS. al-Maidah[5]: 6)
Yang dimaksud menyentuh di dalam ayat ini bisa berarti menyentuh dengan tangan atau jima’. Sehingga terjadi perbedaan pendapat apakah menyentuh dengan tangan membatalkan wudlu atau tidak.
3. Penggunaan dalil antara ‘umum dan khusus.
Semisal ayat لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ (tidak ada paksaan dalam beragama (untuk memeluk Islam)) apakah berlaku ‘umum untuk semua org kafir atau khusus untuk ahli kitab yang membayar jizyah.
4. Perbedaan qira’at (bacaan) al Qur’an dan pandangan terhadap periwayatan hadits. Semisal bacaan Al Qur’an:
وامسحوا برؤوسِكم وأرجلكم ..
Dan sapulah kepala kalian dan kaki kalian … (Al Ma’idah : 6).
Nafi’ dan Al Kisa’i membacanya dengan nashab (وأرجلَكم) sedangkan riwayat Al Walid bin Muslim bacaannya rofa’ (وأرجلُكم) ini adalah qira’atnya Al Hasan, adapun qira’atnya Abu ‘Amr, Ibnu Katsir dan Hamzah dengan khafdl وأرجلِكم)). Sehingga bagi yg membaca nashob maka mereka mengatakan yang wajib dalam wudlu adalah membasuh, bukan mengusap – ini adalah pendapat jumhur, sebaliknya yang membacanya khofdl menyatakan wajibnya adalah mengusap, bukan membasuh[3].
Termasuk juga perbedaan bisa terjadi saat menilai hadits, semisal Imam An Nawawi (w. 676 H), yang menilai hadits bahwa Rasul saw. tidak meninggalkan qunut shubuh sebagai hadits shahih (dalam Al Majmu’), sedangkan ahli hadits yang lain mendlo’ifkannya. Begitu juga semisal mengusap tangan ke wajah setelah berdo’a, Ibnu Hajar Al Asqalanymenilainya hasan (dalam Bulughul Maram), sedang ahli hadits yang lain banyak yang mendlo’ifkannya.
5. Adanya anggapan penghapusan hukum (nasakh) atau ketiadaannya[4]. Seperti:
Aku telah melarang kalian berziarah kubur. (Akan tetapi sekarang) silakan berziarah. (HR. Al Hakim dari Anas).
6. Terlupakan atau tidak terperhatikannya suatu hadits. Misalnya saat para shahabat mau menuju syam saat melewati daerah yang diserang wabah tha’un, sebagian ingin melewati saja dg alasan taqdir Allah, sebagian ingin kembali ke Madinah, sampai Abdurrahman bin ‘Auf datang dan berkata:
فَإِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلَا تَقْدَمُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ
Maka itu jika kalian mendengar ada wabah tersebut (tha’un) di suatu wilayah janganlah kalian memasuki wilayah tersebut dan jika kalian sedang berada di wilayah yang terkena wabah tersebut janganlah kalian mengungsi karena lari darinya (HR. Bukhory)
1.2) Sebab Ikhtilaf karena Kaidah-kaidah Ushul
Adalah sulit membatasi sebab-sebab ikhtilaf dalam hal ini, setiap kaidah ushul yang berbeda bisa menghasilkan pendapat yang berbeda, bahkan kaidah ushul yang sama pun bisa menghasilkan pendapat yang berbeda.
Termasuk dalam hal ini adalah memahami kata perintah dalam suatu dalil apakah perintah tersebut menimbulkan hukum wajib atau tidak, apakah berlaku mutlaq atau muqayyad (terikat), dll yang secara luas dibahas dalam ilmu ushulul fiqh.
Sebagai contoh tentang Isbal (memakai kain melebihi mata kaki), Rasulullah bersabda:
ما أسفل من الكعبين من الإزار ففي النار
“Apa yang berada di bawah mata kaki berupa sarung, maka itu tempatnya di neraka.” [Hadits Riwayat Bukhari dalam shahihnya]
Sedang dalam hadits lain beliau saw. bersabda:
مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Siapa yang menyeret pakaiannya karena sombong, Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat.” [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim]
Sebagian ‘ulama seperti syaikh Bin Baz[5] & Al Utsaimin memahami bahwa Isbal mutlaq haram, baik tanpa sombong, apalagi dengan sombong. Sedangkan mayoritas ‘ulama madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali[6] memandang Isbal yang haram hanyalah kalau disertai sikap sombong, termasuk Ibnu Taymiyyah (w. 728 H) dalam Syarh Al ‘Umdah hal. 366 menyatakan:
ولأن الأحاديث أكثرها مقيدة بالخيلاء فيحمل المطلق عليه وما سوى ذلك فهو باق على الإباحة وأحاديث النهي مبنية على الغالب والمظنة
Dan karena hadits-hadits (tentang isbal) lebih banyak yang muqayyad (terikat) dengan kesombongan, maka yang muthlaq itu mengandungnya (muthlaq namun mengandung makna terikat yakni krn sombong), dan selain hal itu (kalau tidak sombong) maka tetap hukumnya mubah, dan hadits-hadits yang melarangnya dibangun atas dasar keumuman (al gholib) dan sangkaan (madzonnah).
Selain itu perbedaan juga bisa terjadi karena perbedaan memahami fakta, atau salah faham dalam memahami fakta, atau mendefinisikan sesuatu. Sebagai contoh ada kalangan X yang menuduh bahwa kalangan Y membolehkan melihat gambar porno karena kesalahan dalam memahami apa yang dimaksud oleh kalangan Y sebagai gambar porno, misalnya kalangan Y memahami bahwa melihat aurat secara langsung berbeda hukumnya dengan melihat gambar aurat karena kaidah “hukum asal benda adalah mubah”, melihat rambut/leher wanita non mahrom adalah haram, baik tanpa syahwat, apalagi dengan syahwat. Namun kalangan Y menjelaskan bahwa gambar aurat (semisal gambar kartini dalam uang 10 ribuan, yg kelihatan rambutnya) boleh dilihat, bahkan di simpan karena uang 10 ribuan adalah benda, bukan aurat wanita. Adapun dalam kasus gambar – gambar porno “xxx” berlaku kaidah : “al washilatu ila al haroomi haroomun” yakni wasilah yang mengantarkan kepada yang haram maka hukumnya adalah haram.
2) Lapangan Ikhtilaf
Ikhtilaf yang dibenarkan syara’ hanya terjadi pada nash-nash yang memang karakternya mempunyai beberapa makna (penunjukan maknanya tidak pasti) atau nash-nash yang sumbernya dipertentangkan (keshahihannya). Oleh karena itu, perbedaan pendapat dalam nash-nash yang pasti (qoth’iy) sumber maupun penunjukan maknanya, maka perbedaan seperti ini tidak dianggap sebagi ikhtilaf, namun lebih pantas disebut penyimpangan.
3) Ikhtilaf Tidak Ada Lagi Ketika Penguasa Memutuskan
Dalam hal ini ada kaidah yang masyhur:
حكم الحاكم في مسائل الاجتهاد يرفع الخلاف
Ketetapan Al Hâkim dalam masalah ijtihad mengangkat perselisihan[7].
Khalifah Abu Bakar ra. menetapkan jatuhnya ucapan talak tiga (dalam satu waktu) tetap sebagai talak satu, dan kaum muslim pada saat itu mengikutinya. Akan tetapi, ketika Umar ra. berkuasa, beliau menetapkan hukum yang berbeda dengan menyatakan ucapan talak tiga (dalam satu waktu) sebagai tiga kali talak, dan kaum muslimin juga mengikutinya.
4) Menyikapi Ikhtilaf
Dalam menghadapi ikhtilaf, kita dituntut untuk hanya mengambil satu pendapat diantara pendapat-pendapat tersebut. Bagi orang yang tidak memenuhi syarat ijtihad, manakah pendapat yang harus diambil? dalam hal inipun ternyata juga terjadi ikhtilaf, sebagian ‘ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah menyatakan dia boleh mengambil pendapat mujtahid manapun, sedangkan mayoritas ulama Syafi’iyyah, Hanafiyyah, Malikiyyah dan Hanabilah menyatakan bahwa ia harus mencari pendapat yang terkuat (menurutnya). Juga ada yang lain menyatakan hendaklah diambil pendapat yg paling berat, ada yg menyatakan paling ringan, ada yg menyatakan ambil yang paling dia tahu[8]. Al Ghazali menyatakan: hendaklah ia mengambil pendapat orang yang lebih afdlol menurutnya, dan yang lebih benar menurut dugaan hatinya[9].
Setelah ia mantap mengambil pendapat yang dia pilih, maka hendaklah ia tidak menganggap pendapat mujtahid lain sebagai sesat apalagi kafir, atau dia menjauhi orang yang tidak sependapat dengannya, atau memutuskan silah ukhuwwah dengan yang tidak sependapat dengannya.
Al-Imam Yunus bin Abdul A’la Ash-Shadafi rahimahullah (salah seorang murid/sahabat Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah) berkata : ” Aku tidak mendapati orang yang lebih berakal (lebih cerdas) daripada Asy Syafi’i. Suatu hari pernah aku berdiskusi (berdebat) dengan beliau, lalu kami berpisah. Setelah itu beliau menemuiku dan menggandeng tanganku seraya berkata : ” Hai Abu Musa! Tidakkah sepatutnya kita tetap bersaudara, meskipun kita tidak sependapat dalam satu masalah (ijtihad) pun? [10].
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : ”Seandainya setiap kali dua orang muslim yang berbeda pendapat dalam suatu masalah itu saling menjauhi dan memusuhi, niscaya tidak akan tersisa sedikitpun ikatan ukhuwah diantara kaum muslimin” [11].
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah pernah shalat shubuh di masjid dekat makam Imam Abu Hanifah rahimahullah dan tidak melakukan qunut (sebagaimana madzhab beliau), dan itu beliau lakukan ”hanya” karena ingin menghormati Imam Abu Hanifah. Padahal Imam Abu Hanifahrahimahullah telah wafat tepat pada tahun Imam Asy-Syafi’i rahimahullahlahir (lihat: Al-Inshaf : 110).
Khalifah Harun Ar-Rasyid rahimahullah berbekam lalu langsung mengimami shalat tanpa berwudhu lagi (mengikuti fatwa Imam Malik). Dan Imam Abu Yusuf rahimahullah (murid dan sahabat Abu Hanifahrahimahullah) pun ikut shalat bermakmum di belakang beliau, padahal berdasarkan madzhab Hanafi, berbekam itu membatalkan wudhu (Majmu Al-Fatawa : 20/364-366). Allahu Ta’ala A’lam.
_____________________
[1] Al Ghazali (w. 505 H), Ihya’ ‘Ulumiddin, 1/42.
[2] Asy Syathibi (w. 790 H), Al Muwâfaqat, 4/222 – 224
[3] Al Qurthuby(w. 671 H), Al Jâmi’ li Ahkâmil Qur’an, 6/86
[4] Asy Syathibi (w. 790 H), Al Muwâfaqat, 4/213
[5] Majalah Ad Da’wah hal 218
[6] Al Muntaqa, 7/226, Al Fawâkih, 2/310 (Maliki), Asnal Matholib, 1/278, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 4/338 (Syafi’i), Kasyful Qina’, 1/277, Matholib ‘Ulin Nuha, 1/348
[7] أنوار البروق في أنواع الفروق , 3/334, المنثور في القواعد
[8] At Taqrir Wat Tahbir, 3/249. Irsyâdul Fuhul, 271
[9] Al Qisthôsul Mustaqîm, hal 87
[10] Siyaru A’lam An-Nubala’ : 10/16-17
[11] Majmu’ Al-Fatawa : 24/173