Mimpi Zero Accident, Akankah Jadi Nyata?
Mimpi Zero Accident, Akankah Jadi Nyata?
Oleh: Khoila Ulin Ni’ma
Dosen STAI al-Fattah Pacitan
Negeri kita tercinta memiliki tradisi unik setiap tahunnya. Mudik hari raya. Kebiasaan mudik lebaran di Indonesia merupakan konsekuensi logis, mengingat mayoritas penduduknya merupakan masyarakat urban yang saling terpisah dengan keluarga besarnya. Kebanyakan dari mereka mencari pengahsilan di kota-kota besar atau kota lain yang dianggap lebih menjanjikan dibandingkan kota mereka sendiri. Nah, momen mudik lebaran tentunya sangat tepat dijadikan sebagai sarana menjalin silaturahim dengan sanak famili di kampung halaman. Di samping itu menjalin silaturahim dengan sanak famili merupakan hal yang sangat dianjurkan dalam islam sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Sembahlah Allah, janganlah berbuat syirik pada-Nya, dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan jalinlah tali silaturahmi (dengan orang tua dan kerabat).” (HR. Bukhari).
Namun di samping manfaat, tingginya arus mudik dan arus balik lebaran tak pelak menghasilkan banyak madharat. Mulai dari meningkatnya kemacetan, disambung dengan pemborosan BBM yang tentu saja terjadi karena semakin meningkat penggunaanya, lalu pemborosan waktu tempuh perjalanan hingga berkali-kali lipat dibanding hari biasa. Berita terakhir terdapat 18 pemudik yang meninggal karena kecapekan, stress, serangan jantung dll selama terjebak kemacetan parah di sepanjang ruas Tol Pejagan-Brebes pada Senin kemarin (antaranews.com, 4/7/2016). Kemacetan ini diperkirakan mencapai 60 km lebih sepanjang jalur pantura Kanci-Cirebon hingga memasuki Brebes Kota! Bisa kita bayangkan siapa yang tidak stress dan emosi tinggi menghadapi jalur mudik yang tak ubahnya ‘jalur neraka’ ini?! Bahkan saking geram dan marahnya, ada pemudik yang ingin meninggalkan mobilnya saja di sana lalu pulang naik KA. (kompas.com, 4/7/2016) Dampak lanjutan dari arus mudik dan balik ini adalah tingginya angka kecelakaan. Bahkan angka kecelakaan dari tahun ke tahun belum menunjukkan penurunan yang signifikan. Justru sebaliknya, jumlah kecelakaan sampai H-4 dibandingkan operasi tahun lalu ada kenaikan. Tahun lalu jumlah kecelakaan ada 13 kecelakaan. Sedangkan tahun ini sampai sekarang naik 192 persen menjadi 38 kasus,”(merdeka.com, 3/7/2016).
Badan Nasional Penanggulangan Bencana mengungkapkan jumlah korban kecelakaan selama mudik Lebaran melebihi korban bencana dalam satu tahun. Jika dibandingkan, total kecelakaan mudik Lebaran mulai 2011 hingga 2015 mencapai 3.631 jiwa meninggal dunia, 6.759 orang luka berat, dan 20.569 orang luka ringan. (antaranews.com, 30/6/2016).
Melihat realitas miris dari tahun ke tahun ini, pemerintah mencanangkan target pada arus mudik dan balik lebaran pada tahun ini yakni zero accident atau tanpa kecelakaan. Target tersebut sesuai dengan instruksi Presiden Joko Widodo. (viva.co.id, 16/7/2016).
Kementerian Perhubungan merespons dengan memeriksa kelayakan seluruh moda transportasi hingga 23 Juni 2016. Transportasi umum yang tidak layak jalan dilarang untuk beroperasi. Pastinya target zero accident ini sangat baik dan perlu diapresiasi. Namun dengan target yang begitu tinggi tanpa persiapan yang memadai, tentu target ini akan sulit tercapai.
Bukan Hanya Masalah Moda
Banyak faktor yang menyebabkan tingginya angka kecelakaan dan kematian saat mudik. Tak hanya kelayakan moda transportasi saja, namun juga kondisi alam, kondisi jalan, juga faktor kepadatan jumlah manusia di perjalanan. Semakin banyak warga yang mencari penghasilan di luar asal, maka semakin tinggi pula angka pemudik saat lebaran. Di terminal kampung rambutan misalnya, jumlah pemudik naik 100 persen (viva.co.id, 29/6/2016). Juga di Gunung Dempo, ribuan pemudik berebut naik kapal yang hanya mampu angkut 980 penumpang. Akibatnya anak dan bayi terjepit. (viva.co.id, 12/6/2016).
Bila benar pemerintah menargetkan zero accident pada mudik lebaran 2016 ini semestinya persiapan tidak hanya dilakukan beberapa waktu menjelang musim mudik. Juga tidak cukup dengan pengecekan moda transportasi dan pelarangan beberapa moda yang tidak layak beroperasi, namun perlu pembenahan menyeluruh mulai dari perbaikan infrastruktur, optimalisasi terminal sebagai pusat aktifitas pengontrolan pemerintah terhadap operator moda transportasi dan penyiapan-penyiapan teknis menghadapi arus perpindahan massa dalam jumlah besar agar tidak terlantar akibat minimnya fasilitas di jalan.
Jadi sangat tidak cukup memeriksa kelayakan moda kendaraan umum, sedangkan dari keseluruhan kecelakaan justru paling banyak didominasi kendaraan roda dua? Sementara angkutan lebaran kereta api, udara, laut, dan penyeberangan tidak pernah terjadi kecelakaan pada dua tahun terakhir. Demikian juga kecelakaan lalu lintas pada lebaran tahun ini didominasi sepeda motor, yakni sebesar 53 persen. (kompas.com, 5/7/2016) tak cukup hanya dengan memeriksa moda kendaraan, sedangkan angka urban ke luar daerah asal justru meningkat akibat ketidakmerataan ekonomi.
Bagaimana dulu negara khilafah mengatur arus mudik? Adakah teknologi mudik saat itu?
Persoalan transportasi sepertinya lebih banyak persoalan teknis, dan di zaman dulu teknologinya masih amat berbeda. Jumlah penduduk saat itu juga masih relatif sedikit, sehingga problema kemacetan yang parah seperti saat ini mungkin belum pernah ada.
Tetapi, bagi seorang Muslim pejuang syariah, pertanyaan apapun justru melecutnya untuk lebih mendalami syariat Islam beserta realitas empiris yang ada. Maka dalam persoalan infrastruktur mudik (transportasi), kita akan mendapati setidaknya tiga prinsip:
Pertama, prinsip bahwa pembangunan infrastruktur adalah tanggung jawab negara (bukan swasta). Bukan hanya karena sifatnya yang menjadi tempat lalu lalang manusia, tetapi juga karena terlalu mahal dan rumit untuk diserahkan ke investor swasta. Maka di sini negara sangat berperan penting dalam pembangunan infrastruktur jalan.
Kedua, prinsip bahwa perencanaan wilayah yang baik akan mengurangi kebutuhan transportasi. Ketika Baghdad dibangun sebagai ibu kota, setiap bagian kota direncanakan hanya untuk jumlah penduduk tertentu, dan di situ dibangunkan masjid, sekolah, perpustakaan, taman, industri gandum, area komersial, tempat singgah bagi musafir, hingga pemandian umum yang terpisah antara laki-laki dan perempuan. Bahkan pemakaman umum dan tempat pengolahan sampah juga tidak ketinggalan. Sebagian besar warga tak perlu menempuh perjalanan jauh untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya serta untuk menuntut ilmu atau bekerja, karena semua dalam jangkauan perjalanan kaki yang wajar, dan semua memiliki kualitas yang standar. Ini berbeda dengan kota-kota di Indonesia terutama Jakarta yang padat penduduk tidak sesuai dengan lahannya yang minim. Jadi, perlu adanya perataan area ekonomi. Sehingga tak ada penumpukan penduduk di area tertentu. Walhasil akan mengurangi resiko mudik besar-besaran saat lebaran.
Ketiga, negara membangun infrastruktur publik dengan standar teknologi terakhir yang dimiliki. Teknologi yang ada termasuk teknologi navigasi, telekomunikasi, fisik jalan hingga alat transportasinya itu sendiri.
Navigasi mutlak diperlukan agar perjalanan menjadi aman, tidak tersesat, dan bila ada masalah, dapat ditolong oleh patroli khilafah. Untuk itulah kaum Muslimin belajar astronomi dan teknik membuat kompas sampai ke Cina, dan mengembangkan ilmu pemetaan dari astronomi yang teliti. Ratusan geografer menjelajah seluruh penjuru dunia dan membuat reportase negeri-negeri yang unik. Hasilnya, saat itu perjalanan haji maupun dagang baik di darat maupun di lautan menjadi semakin aman.
Telekomunikasi dalam wujud yang sederhana juga makin berkembang. Pesan yang dikirim lewat merpati pos, atau sinyal cahaya atau asap dari pos-pos patroli semakin canggih. Para matematikawan bekerja keras membuat kode yang makin efisien dan aman dari penyadapan.
Teknologi & manajemen fisik jalan juga tidak ketinggalan. Sejak tahun 950, jalan-jalan di Cordoba sudah diperkeras, secara teratur dibersihkan dari kotoran, dan malamnya diterangi lampu minyak. Baru dua ratus tahun kemudian, yakni 1185, baru Paris yang memutuskan sebagai kota pertama Eropa yang meniru Cordoba.
Sedang untuk kendaraannya sendiri, sesuai teknologi saat itu, kaum Muslimin telah memuliakan jenis kuda dan unta yang makin kuat menempuh perjalanan. Untuk di laut mereka juga banyak mengembangkan teknologi kapal. Tipe kapal yang ada mulai dari perahu cadik kecil hingga kapal dagang berkapasitas di atas 1.000 ton dan kapal perang untuk 1.500 orang. Pada abad 10 M, al-Muqaddasi mendaftar nama beberapa lusin kapal, ditambah dengan jenis-jenis yang digunakan pada abad-abad sesudahnya.
Bahkan untuk transportasi udarapun ilmuwan Muslim sudah memikirkan. Abbas Ibnu Firnas (810-887 M) dari Spanyol melakukan serangkaian percobaan untuk terbang, seribu tahun lebih awal dari Wright bersaudara, sampai Sejarawan Phillip K. Hitti menulis dalam History of the Arabs, “Ibn Firnas was the first man in history to make a scientific attempt at flying.”
Yang menarik, hingga abad 19 Khilafah Utsmaniyah masih konsisten mengembangkan infrastruktur transportasi ini. Saat kereta api ditemukan di Jerman, segera ada keputusan Khalifah untuk membangun jalur kereta api dengan tujuan utama memperlancar perjalanan haji. Musim haji adalah musim ritual terbesar pergerakan manusia, baik yang untuk pergi haji ke Makkah maupun mudik ke kampung halaman. Di negeri-negeri timur tengah, libur saat lebaran haji lebih lama dan lebih meriah dari Idul Fitri (karena ada hari Tasyrik). Karena itu situasi mudik terjadi pada musim ini.
Tahun 1900 M Sultan Abdul Hamid II mencanangkan proyek “Hejaz Railway”. Jalur kereta ini terbentang dari Istanbul ibu kota khilafah hingga Makkah, melewati Damaskus, Jerusalem dan Madinah. Di Damaskus jalur ini terhubung dengan “Baghdad Railway”, yang rencananya akan terus ke timur menghubungkan seluruh negeri Islam lainnya. Proyek ini diumumkan ke seluruh dunia Islam, dan umat berduyun-duyun berwakaf. Kalau ini selesai, pergerakan pasukan khilafah untuk mempertahankan berbagai negeri Islam yang terancam penjajah juga sangat menghemat waktu. Dari Istanbul ke Makkah yang semula 40 hari perjalanan tinggal menjadi 5 hari!
Inilah yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah. Mulai dari merencanaan, pencegahan resiko buruk yang mungkin terjadi, lalu pelaksanaan secara teknis dipersiapkan secara matang. Dengan demikian, insyaaAllah mimpi zero accident akan menjadi nyata. Allahu a’lam bish-shawaab. [VM/adj]