Apakah Harta Bisa Kena Zakat Dua Kali?

Apakah Harta Bisa Kena Zakat Dua Kali?

Pertanyaan :

Assalamualaikum..

Langsung ke pokok pertanyaan ya ustadz, dalam satu tahun misal seseorang berpenghasilan bersih Rp. 1M, dan dalam tahun tsb sudah menzakati penghasilan tsb,

Pertanyaan kami, jika untuk tahun berikutnya orang tsb tidak berpenghasilan sama sekali, akan tetapi masih ada sisa uang penghasilan tahun sebelumnya itu dan jumlahnya masih melebihi standar kewajiban zakat, apakah dia masih berkewajiban mezakatinya lagi?

Terima kasih pencerahannya

Wassalaamualaikum.

Jawaban :

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Harta yang kita miliki bisa berbeda-beda wujud fisiknya. Perbedaan wujud fisik harta itu melahirkan perbedaan ketentuan zakatnya. Maka kita wajib tahu perbedaan karakteristik dan jenis harta kita, mana yang wajib dikeluarkan zakatnya, dan mana yang tidak.

Sebagian jenis harta ada yang tidak terkena zakat, sedangkan sebagian lainnya terkena zakat. Dan harta yang terkena zakat itu ada dua macam lagi, ada yang terkena zakat hanya sekali saja dan ada yang terkena zakat tiap tahun.

1. Harta Yang Tidak Terkena Kewajiban Zakat

Harta yang berbentuk rumah tingga, tanah kosong, atau kendaraan yang tiap hari dipakai kesana kemari, bahkan juga termasuk perabot rumah tangga, meski kalau dinilai secara rupiah cukup besar nilainya, namun pada dasarnya semua bentuk harta itu tidak ada kewajiban zakatnya.

Baik ketika membelinya, selama memiliki atau ketika menjualnya kembali, tidak ada kewajiban untuk mengeluarkan zakatnya.

Kalau ada ijtihad modern di masa sekarang, baru ada zakatnya manakala aset-aset itu disewakan dan menghasilkan uang pemasukan bagi pemiliknya.

b. Harta Yang Terkena Zakat

Ada jenis harta tertentu yang terkena kewajiban untuk dikeluarkan zakatnya. Dan  sebagian dari yang terkena zakat itu ada yang hanya sekali saja terkena zakat, seperti zakat pertanian, rikaz dan ma’adin. Namun ada juga yang terkena zakat tiap tahun, seperti zakat emas, perak, hewan ternak, uang simpanan, serta aset-aset yang diperdagangkan.

Dan ketentuan dasar dalam zakat emas adalah tiap tahun wajib dikeluarkan, selama masih di atas nishab.

Dasarnya adalah hadits berikut :

مَنْ وَلَّى يَتِيْماً لَهُ مَالٌ فَلْيَتَّجِرْ لَهُ وَلاَ يَتْرُكْهُ حَتىَّ تَأْكُلُهُ الصَّدَقَةُ

Seorang yang menjadi wali anak yatim berharta hendaklah dia dagangkan untuknya, jangan sampai harta itu dimakan oleh zakat. (HR. At-Tirmizy)

Hadits ini menyebut istilah harta dimakan zakat. Oleh para ulama ditafsirkan bahwa yang dimaksud harta disini bentuknya adalah emas dan perak, dimana tiap tahun keduanya tetap terus terkena zakat, selama jumlahnya masih di atas nishab.

Maka pertanyaan Anda itu tidak bisa dijawab secara umum, kecuali setelah ditetapkan terlebih dahulu, apa jenis hartanya.

Sebelum menjawab pertanyaan anda di atas, mari kita buat sedikit ilustrasi. Misalnya seorang petani yang mendapat hasil panen melebihi nishab. Pada saat itu tentu dia wajib mengeluarkan zakat sebesar 5-10%. Kemudian hasil panennya dijual dan dia membeli emas yang jumlahnya melebihi nishab. Setelah setahun emas itu dimiliki, apakah emasnya itu terkena zakat atau tidak?

Jawabnya mudah sekali, tentu emasnya itu terkena zakat.  Dalam hal ini, tidak ada kaitannya dari mana uang untuk membeli emas, apakah dari menjual hasil panen yang telah dikeluarkan zakatnya, atau dari uang warisan orang tua.

Pokoknya, siapa saja yang menyimpan emas melebihi nishabnya (85 gram) selama setahun, dia wajib keluarkan zakatnya.

Nah, begitu pula dengan kasus yang Anda tanyakan di atas. Ketika seseorang menerima gaji, memang dia telah mengeluarkan zakat profesinya. Namun kalau uangnya ditabungkan selama setahun dan jumlahnya melebihi nilai 85 gram emas, maka dia terkena kewajiban untuk mengeluarkan zakat tabungan (simpanan) uang.

Dalam hal ini, zakatnya sama persis dengan zakat emas. Karena emas di masa lalu tidak lain adalah uang yang fungsinya untuk alat tukar.

Sumber Masalah : Tumpang Tindih Dengan Zakat Profesi

Namun harus diakui ada sebagian pendapat ulama yang membebaskan zakat atas uang simpanan, apabila sewaktu menerima uang (gaji) sudah dikeluarkan zakatnya.

Alasannya, karena harta yang dimiliki seseorang tidak harus dikeluarkan zakatnya dua kali. Prinsipnya dalam hal uang gaji atau zakat profesi ini, cukup sekali saja uang itu terkena zakat.

Sumber masalahnya bermula dari tumpang tindihnya satu zakat dengan zakat yang lain, sehingga satu harta jadi harus terkena zakat dua kali. Padahal kalau kembali kepada aslinya, tentu tidak akan terjadi tumpang tindih.

Zakat yang sering mengakibatkan tumpang tindih itu tidak lain adalah zakat profesi. Zakat ini oleh mereka yang tidak mendukugnya dianggap sebagai zakat yang tidak original, hasil transplantasi (cangkok), dan sekedar buatan tangan manusia.

Walau pun kalau dilihat dari semangatnya, zakat profesi ini sebenarnya cukup mulia, yaitu ingin menegakkan keadilan antara orang miskin yang wajib bayar zakat dengan orang kaya yang tidak terkena kewajiban zakat. Cuma yang jadi masalah, ketika merumuskan seperti apa bentuk dan ketentuannya, terjadilah kerancuan yang seringkali malah melahirkan kontradiksi besar.

Salah satu dampaknya zakat profesi ini malah jadi tumpang tindih dengan zakat aslinya. Misalnya pada kasus yang sedang kita bicarakan, yaitu zakat uang simpanan yang sifatnya original harus tumpang tindih dengan zakat profesi yang sifatnya hanya zakat buatan.

Zakat yang original dan asli bukan zakat profesi, melainkan zakat uang tabungan, karena merupakan bentuk modern dari zakat emas dan perak. Perbedaannya antara zakat uang simpanan dengan emas perak amat sedikit, yaitu hanya pada wujud fisik saja. Sedangkan dari sisi fungsi dan lainnya, bisa disimpulkan bahwa zakat uang simpanan itu tidak lain adalah zakat emas dan perak juga.

Sedangkan zakat profesi adalah zakat yang kontroversial sejak awalnya dirumuskan. Dr. Abdul WAhhab Khallaf (1888-1906) dan Dr. Abu Zahrah (1898-1974) sebagai orang yang disebut-sebut pencetus zakat ini sebenarnya belum tuntas ketika membicarakan perlunya dibentuk satu jenis zakat baru yang sejak zaman Nabi SAW tidak pernah ada.

Dan ketika murid mereka, Dr. Yusuf Al-Qaradawi mencoba merincinya lebih detail dalam disertasi doktornya : Fiqhuz Zakah, juga belum terlalu tuntas dan baku.

Setidaknya kita masih menemukan banyak ulama yang kurang mendukung diluncurkannya zakat profesi. Syeikh Binbaz, Al-Utsaimin bahkan Dr. Wahbah Az-Zuhaili penulis Al-Fiqhul Islami wa adillatuhu pun termasuk kurang setuju.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc., MA

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories