Murji’ah dan Penguasa

MUSTANIR.net – Seperti apa yang telah dikatakan Ibnu Taimiyah dalam al-Inhirafat al-‘Aqdiyah wal Amaliyah halaman 119-120,  bahwa orang-orang Murji’ah telah melakukan kesalahan yang nyata. Mereka mengira bahwa iman cukup dengan pembenaran, penguatan hati serta pernyataan dengan lisan saja.

Akibat dari pemahaman seperti ini sangatlah fatal. Orang Murji’ah menyangka bahwa seseorang akan menjadi kamilul iman hanya dengan hati saja, di sisi lain dia mencela Allah, Rasul-Nya dan melaksanakan segala hal yang membatalkan keIslamannya. Tak ayal jika pemahaman seperti ini akan merusak Islam dari dalam dan ternyata berkembang di era ini.

Penguasa-penguasa negara di era ini kebanyakan atau bahkan seluruhnya menggunakan sistem dan hukum wad’iy (buatan manusia). Hukum-hukum Allah yang telah final dan memang diperuntukkan manusia dibuang dan diganti dengan hukum gagasan manusia sendiri. Seolah manusia lupa bahwa hanya Allah Maha Tahu apa yang terbaik buat mereka.

Akan tetapi, terang-benderangnya hal ini—penggunaan hukum wad’iy—ternyata ada kelompok yang membelanya dan tetap menjadikannya ulil amri. Kelompok ini berpendapat bahwa penguasa adalah pemimpin yang sah dan wajib ditaati. Para penguasa tetaplah muslim, mereka waliyyul amr (pemegang urusan kita) yang berhak ditaati, walaupun mereka merampas harta dan mencambuk punggung kita. Umat ini tetap harus berkata, “Kami ridha.” Ya, mereka tetap Muslim, walaupun mengambil harta rakyat dan mencambuk punggung.

Kelompok ini lebih melonggarkan lagi kepada mereka dengan tambahan; walaupun para penguasa melecehkan harga diri dan menumpahkan darah kita; walau mereka berteriak dengan kata dan perbuatan seperti para pendahulunya sesumbar, “Dan Fir’aun berseru kepada kaumnya (seraya) berkata, ‘Hai kaumku, bukankah kerajaan Mesir ini kepunyaanku dan (bukankah) sungai-sungai ini mengalir di bawahku’; maka apakah kamu tidak melihat(nya)?'” (az-Zukhruf: 51)

Walaupun, para penguasa tersebut terang-terangan mengatakan ketidakcocokan hukum syariah untuk zaman sekarang. Walaupun mereka mengangkat pelindung dari musuh-musuh Allah. Walau mereka berperang dan memberangkatkan tentara untuk berperang di bawah panji-panji Yahudi dan Nasrani untuk membunuh muslimin. Dan walau…walau… yang lain.

Murji’ah Menyenangkan Penguasa

Dapat kita bahasakan dengan mudah dan gamblang bahwa Murji’ah adalah paham yang menganut politik menyenangkan penguasa. Ibnu Asakir meriwayatkan melalui jalur an-Nadhar bin Syumail, berkata, “Saya masuk ke tempat al-Ma’mun, lalu dia bertanya, ‘Bagaimana kabarmu pagi ini, wahai Nadhar?’ Saya menjawab, ‘Baik-baik saja, wahai Amirul Mukminin.’ Dia bertanya lagi, ‘Apakah Murji’ah itu?’ Saya menjawab, ‘Murji’ah adalah agama yang menyesuaikan para raja. Mereka mendapatkan kekayaan dunia dengan agama dan mengurangi agama mereka.’ Al-Makmun berkata, ‘Kamu benar.’”

Kelompok ini juga mengira ketika seorang penguasa masih sholat atau masih memperbolehkan syiar Islam walaupun penguasa itu berhukum dengan hukum wad’iy maka tetap wajib ditaati. Secara tidak sadar bahwa kelompok ini telah terjerumus dalam pemahaman Murji’ah yang memberi kelonggaran walau telah melakukan salah satu nawaqidul iman.

Seorang pemimpin disebut ulil amri dan wajib ditaati ukuran utamanya adalah dalam pelaksanaan hukumnya. Adapun masih membolehkan syiar Islam atau masih shalat bukanlah menjadi tolok ukur utama.

Padahal telah jelas diukir dalam al-Quran suratan-Nisa ayat 59 tentang ulil amri. Ayat ini memberikan konsep yang gamblang bahwa kedaulatan dalam pemerintahan Islam ada di tangan syariah. Ada dua penjelasan yang dapat kita simpulkan, yaitu:

Pertama, perintah untuk menaati Allah SWT dan Rasulullah SAW, yakni tunduk dan patuh pada segala ketentuan dalam al-Quran dan as-Sunnah. Ketetapan ini meniscayakan, semua hukum dan undang-undang yang diberlakukan wajib bersumber dari keduanya. Memang benar, selain diperintahkan taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, kaum Muslim juga diperintahkan taat kepada ulil amri. Namun, ketaatan itu bukan tanpa batasan sama sekali. Kewajiban taat itu berlaku jika perkara yang diperintahkan ulil amri bersesuaian dengan hukum syariah. Jika perkara yang diperintahkan menabrak syariah, kaum Muslim tidak boleh taat.

Lebih dari itu, ulil amri juga menjadi pihak yang wajib tunduk pada syariah. Sebab, mereka termasuk yang diseru ayat ini. Ungkapan minkum pada kata wa ulî al-amri minkum menunjukkan bahwa mereka juga termasuk dalam bagian al-ladzîna âmanû. Karena itu, mereka pun wajib menaati Allah SWT. Bahkan kedudukan mereka sebagai ulil amri adalah dalam rangka menjalankan ketaatan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya (syariah).

Ke dua, ayat ini menetapkan, setiap perselisihan yang terjadi wajib dikembalikan pada syariah. Firman Allah SWT, Fa in tanâza’tum fî syay’[in] faruddûhu ila Allâh wa ar-Rasûl, jelas menunjukkan makna demikian.

Sudah terbantahkan paham Murji’ah dalam hal ulil amri ini. Doktrin-doktrin yang ada dalam paham Murji’ah menggiringnya untuk bertindak politik ‘menjilat ‘ penguasa. Politik Murji’ah hanyalah untuk menyenangkan penguasa saja. Gelap mata melaksanakan politiknya walau nash al-Quran telah menjelaskan dengan sempurna.

Hal yang paling menakutkan adalah apa yang telah kita singgung jika ada kelompok masa kini yang terjangkiti ‘virus’ Murji’ah. Mereka tidak sadar bahwa apa yang dilakukan selama ini bersinggungan dengan paham Murji’ah. Segeralah muhasabah diri dan selalu berdoa agar dijauhkan virus berbahaya ini. []

Sumber: Dhani el Ashim

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories