
Nativisasi: Politik Budaya Kolonial
MUSTANIR.net – Di masa kolonial, nativisasi digunakan sebagai politik budaya kaum penjajah untuk membendung pengaruh/gagasan dari luar, terutama pengaruh Islam. Mengapa Islam? Karena Islam tegas menolak praktik kolonialisasi dan tidak pernah mau berkompromi dengan penjajah. Tujuannya mereka sangat jelas yaitu untuk meneguhkan eksistensi penjajahannya di negara kita.
Nativisasi dilakukan di berbagai daerah di Indonesia antara lain di tanah Batak, Sunda, Jawa, Minahasa, dan Bali. Prosesnya pun beragam bergantung kondisi sosial masyarakat daerah masing-masing. Sebagai contoh di tanah Jawa dan Sunda, kaum kolonial melakukan nativisasi melalui proses budaya. Masyarakat pulau Jawa yang saat itu identik dengan masyarakat Islam dipaksa untuk mengenang kembali kejayaan masa lalu yaitu di masa kerajaan Hindu dan Budha. Dihembuskanlah bahwa berbagai macam tradisi Jawa seperti membuat patung, sesajen, candi adalah warisan kerajaan Hindu Budha.
Padahal di masa itu, masyarakat Jawa tidak mendapat kontribusi yang signikan dari kerajaan Hindu Budha. Candi besar yang dibanggakan, sebenarnya sudah dilupakan masyarakat Jawa dan terkubur lama selama beberapa abad. Situs tersebut digali dan ditemukan oleh kaum kolonial dan direstorasi kembali sebagai peninggalan sejarah. Masyarakat kasta rendah dipaksa untuk membangun candi-candi besar sebagai tempat tinggal para raja dan bangsawan. Setelah bangunan berdiri, hanya para raja dan bangsawan yang menempatinya.
Benarlah apa yang disampaikan Buya Hamka, “Agama Islam meninggalkan peradaban di Indonesia. Masjid-masjid yang dibangun menjadi pusat perabadan sebagai masyarakat hingga saat ini. Sedangkan candi-candi yang dibangun umat Hindu hanya ditempati oleh para raja.”
Islam memang tidak meninggalkan bangunan megah tapi Islam mewariskan kultur masyarakat dan tradisi ilmu yang bisa kita rasakan hingga saat ini.
Menjadi bingung, jika ada yang berkata bahwa pribadi yang menerapkan ajaran Islam seperti memakai jilbab, memanjangkan jenggot, dan semua berbau islam dianggap tidak ‘Indonesia’. Dan jangan kaget, kalau ada yang berbau Islam selalu disangkutpautkan dengan tradisi Arab. Jangan pula aneh, jika ada kepala daerah yang membangun patung di mana-mana dan berkata kalau ini sebenarnya melestarikan budaya leluhur.
Kini, saatnya kita membuka kembali dan memahami sejarah bangsa kita dengan benar. Jangan sampai apa yang kita lakukan justru mewarisi praktik kaum kolonial. []
Sumber: Dwi Ardiyanto