Pancasila, Alat Sekuler dan Komunis Menjegal Islam

MUSTANIR.net – Ada dua kubu besar dalam Sidang Konstituante (1955-1959) yakni Blok Pancasila dan Blok Islam. Blok Pancasila anggotanya adalah koalisi antara partai sekuler dan komunis-sosialis. Sedangkan Blok Islam seluruh anggotanya hanya dari partai-partai Islam (lihat Komposisi Sidang Konstituante [1956-1959]).

Apa sebab komunis bisa menjadi sekutu bergandengan tangan dengan sekuleris dalam kubu Pancasila? Yang dengan persekutuan itu komunis dan sekuleris menjegal dan menghalangi perjuangan menjadikan Islam sebagai dasar negara? Jawabannya karena sekuleris dan komunis mempunyai kesatuan pemikiran bahwa dalam hal dasar negara harus netral agama. Jadi kata kuncinya adalah netral agama, alias sekularisme. Apa yang dimaksud netral agama? Itulah sekularisme.

Kesamaan pemikiran antara kaum sekuler dan komunis dijelaskan oleh Syekh Taqiyuddin an-Nabhānī dengan ungkapan, “…Mereka —baik yang mengakui eksistensi-Nya (sekuler) maupun yang tidak mengakui eksistensi-Nya (komunis)— hanya memfokuskan bahwa tidak ada hak bagi Pencipta untuk campur tangan dalam kehidupan. Jadi sama saja kedudukannya bagi mereka yang mengakui keberadaan atau mengingkari-Nya, yaitu memisahkan agama dari kehidupan.”

Wongsonegoro seorang tokoh mistik Jawa dari Partai Indonesia Raya (PIR) menafsirkan Pancasila sila pertama dengan panteisme (ajaran yang menyamakan Tuhan dengan kekuatan-kekuatan dan hukum-hukum alam semesta).

Aidit, Njoto, Sakirman, dari Partai Komunis Indonesian (PKI) menafsirkan ketuhanan di dalam Pancasila sebagai “kebebasan beragama” termasuk di dalamnya kebebasan untuk tidak memeluk suatu agama tertentu, termasuk pula untuk berkeyakinan adanya Tuhan namun kepercayaan ini tidak dengan agama tertentu. Bagi mereka keberadaan agama-agama di Indonesia adalah sesuatu realitas semata, dan soal agama adalah urusan privat.

Nur Sutan Iskandar dari Partai Nasional Indonesia (PNI) menafsirkan Pancasila dari sudut pandang sekuler. Ada pun penafsiran Pancasila dari sudut pandang mistik Jawa juga diajukan oleh Karkono Partokusumo, sedangkan penafsiran Pancasila dari sudut pandang Kristiani diwaakili oleh tokoh Kristen PNI Arnold Mononutu.

Tokoh-tokoh partai ini menafsirkan Pancasila dengan sudut pandang sekularisme, yakni memisahkan agama dengan negara, atau agama hanya untuk urusan privat masing-masing individu. Hal ini sebagaimana yang disampakan oleh JCT Simorangkir dalam pidato Konstituante.

Sudjatmoko dari Partai Sosialis menafsirkan Pancasila dari sudut pandang teosofi. Yang unik PKI juga menurunkan ‘ulama’-nya yang menjadi anggota partai tersebut yakni Kiai Dasuki Siradj. PKI, kata Kyai Dasuki “tidak pernah anti Islam”, PKI hanya “anti Masyumi”.

Ruslan Abdulgani dari PNI dalam menafsirkan Pancasila dengan mengutip pendapat Kahin yang menyatakan bahwa Pancasila adalah sebuah sintesis dari gaagasan Islam modern, ide demokrasi, dan marxisme.

Maka ketika Konstituante dibubarkan oleh Soekarno dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang kemudian adalah diberlakukannya tafsir Pancasila ala Orde Lama. Tafsir Pancasila ala Soekarno lagi-lagi mendapat pembenaran dari partai-partai sekuler dan komunis.

Pembubaran Konstituante mendapat dukungan dari PNI dan PKI. Bagaimana Soekarno menafsirkan Pancasila? Mengapa tafsiran Pancasila ala Soekarno bisa diterima oleh partai sekuler dan komunis?

Bagi Soekarno, Pancasila bisa diperas menjadi Trisila yakni sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi dan sosio-ekonomi. Kemudian Trisila ini dapat diperas menjadi Ekasila, yakni gotong-royong. Kata Pancasila merujuk pada tulisan Empu Prapanca dalam bukunya, Nagarakṛtāgama, suatu catatan sejarah tentang kerajaan Hindu Majapahit (1296-1478 M). Soekarno mengambil terma Pancasila ini dari buku Nagarakṛtāgama tersebut dengan memberinya pemaknan baru.

Menurut M Yamin (tokoh sekuler/PNI), Pancasila adalah hasil galian Soekarno. Soekarno menyatakan bahwa Pancasila hasil galiannya dari masa jauh sebelum Islam. Salah satu prinsip ketuhanan Pancasila galian Soekarno ini tidak ada kaitan organik dengan doktrin sentral agama mana pun. Dengan kata lain konsep ketuhanan menurut Soekarno bersifat sosiologis sehingga konsep ketuhanan Pancasila ini bersifat relatif, oleh karenanya bisa diperas menjadi konsep gotong-royong.

Nasakom

Melihat gagasan ketuhanan ala Soekarno di atas maka wajar dan bisa dimengerti golongan sekuler dan komunis bisa menerima Pancasila, karena memang sejalan dengan penafsiran mereka tentang Pancasila yang bercorak netral agama (sekuler). Pemahaman ini secara politik dijalankan Soekarno dengan kekuasaannya (1959-1965) menafsirkan Pancasila dengan doktrin Nasakom (nasionalis, agama dan komunis).

Bahkan dengan tegas Soekarno berkata: “Siapa yang setuju dengan Pancasila, harus setuju kepada Nasakom. Siapa yang tidak setuju kepada Nasakom, sebenarnya tidak setuju kepada Pancasila! Sekarang saya tambah, siapa setuju kepada UUD ’45 harus setuju kepada Nasakom, siapa tidak setuju kepada Nasakom, sebenarnya tidak setuju kepada UUD ’45.”

Pada perkembangannya, Pancasila menjadi alat legitimasi bagi kekuasaan Orde Lama. Pancasila tafsiran Soekarno menjadi “Aku Indonesia, Aku Pancasila” ala Soekarno. Sudut pandang tafsiran sekuler Pancasila semakin kokoh ketika pada 16-20 Februari 1959 diadakan seminar Pancasila ke-1.

Seminar ini diselenggarakan oleh Liga Pancasila bertempat di Sasono Hinggil Dwi Abad, Yogyakarta. Seminar ini dihadiri sekira 1.250 peserta anggota Liga Pancasila dari seluruh Indonesia, para sarjana, para undangan dan wakil organisasi. Dengan menghadirkan pemateri: Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu Prof. Priyono, Muhamad Yamin, Prof. Drijarkoro, Prof. Notonagoro dan Ruslan Abdulgani.

Hasil seminarnya menyimpulkan demokrasi terpimpin adalah hasil dari ajaran Pancasila, bahkan konsekuensi dari ajaran Pancasila. Tokoh Katolik Drijarkoro menafsirkan Pancasila dengan tafsiran sekularisme, sebagaimana tokoh-tokoh sekuler pada masa Konstituante, yakni menolak agama (Islam) menjadi dasar negara.

Tafsir sekuler Pancasila rezim Orde Lama semakin hegemonik dengan Manipol/USDEK. USDEK adalah (U) UUD 1945, (S) Sosialisme, (D) Demokrasi Terpimpin, (E) Ekonomi Terpimpin, (K) Kepribadian Indonesia. Bagi rezim Orde Lama, Manipol USDEK yang berisikan Nasakom adalah tafsir resmi Pancasila.

Tafsir Orde Baru

Pasca tumbangnya Orde Lama, muncul Orde Baru. Orde Baru ini mengoreksi total tafsir Pancasila ala Orde Lama. Walaupun keduanya masih sama-sama orde yang sekuler, namun bedanya Orde Baru mengeluarkan komunisme dari bagian Pancasila.

Dan pada Orde Baru dimunculkan istilah Demokrasi Pancasila sebagai tafsir Pancasila resmi ala Orba, sekaligus sebagai koreksi Demokrasi Terpimpin ala Orde Lama. Apa itu tafsir Pancasila ala Orde Baru?

Orde Baru, sebagaiman Orde Lama, menggunakan Pancasila sebagai alat untuk melegitimasi kekuasannya. Pada masa Orde Baru ini, Pancasila dijadikan sebagai pandangan hidup, sumber dari segala sumber hukum, bahkan ideologi negara. Dan memaksakan asas tunggal Pancasila kepada masyarakat.

Dengan mesin politiknya Golkar dan kekuatan militer membawa Pancasila semakin menuju sekularisme. Hal ini bisa dilihat dari pernyataan tokoh Orde Baru, yang juga tokoh lembaga pemikir sekuler Centre for Strategic and International Studies (CSIS), sekaligus sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada masa kurun waktu Orde Baru, yakni Daoed Joesoef.

Daoed Joesoef sebagai intelektual Orba mengarahkan pendidikan negeri ini ke sekularisme, termasuk menafsirkan Pancasila dengan visi sekularisme. Daoed termasuk pengagum Mustafa Kamal Atatürk (agen Inggris yang menghapuskan sistem khilāfah), sebagaimana Soekarno juga mengagumi Mustafa Kamal.

Dengan visi sekulernya ini, kebijakan rezim Orba menjadi sekuler. Bahkan sampai pelarangan kerudung dan jilbab dipakai pelajar, mahasiswa, dan pegawai. Pancasila dinativisasi dengan membawa negeri ini ke masa Hindu-Budha, yakni masa sebelum kedatangan Islam.

Dan tampaknya rezim hari ini dengan pendekatan lebih mutakhir mencoba mengulangi kembali dua orde sebelumnya. Mereka mencoba menyematkan kembali kepada lawan politiknya dengan tuduhan mematikan berupa “Anda anti Pancasila”, walaupun tidak jelas Pancasila macam apa yang mereka maksud.

Dan dengan di balik tudingan anti Pancasila, semakin membawa negeri ini ke arah sekuler. Dan akhirnya semuanya akan tumbang, sebagaimana dua orde yang sebelumnya. sementara umat Islam senantiasa beregenerasi untuk melahirkan pengemban dakwah di masa yang selanjutnya. []

Sumber: Pristian Surono Putro

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories