Pancasila Bukan Hasil Kesepakatan Bersama

MUSTANIR.netSebagian orang menganggap bahwa Pancasila adalah hasil kesepakatan dari para pendiri bangsa, termasuk dalam hal ini adalah para ulama. Sehingga Pancasila seolah menjadi patung yang dikeramatkan, tidak boleh ada yang mengkritik dan menentang. Padahal, seandainya kita mau jujur saja dengan sejarah, niscaya kita akan menemukan fakta bahwa sebenarnya Pancasila bukanlah hasil kesepakatan bersama.

Mari kita cerna sejarah!

Dahulu, menjelang hari kemerdekaan Indonesia, dibentuklah Tim BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada 29 April 1945, untuk menegaskan jati diri Indonesia, mau menjadi negara apa pasca kemerdekaannya. Tim ini terdiri dari 59 Anggota yang didominasi oleh orang asli Indonesia.

Singkat cerita, Tim BPUPKI dikerucutkan menjadi 9 orang, sebagian dari kalangan nasionalis dan sebagian lagi dari kalangan agamis, yang sering dikenal sebagai Panitia Sembilan. Terdiri dari Sukarno, Mohammad Hatta, Achmad Soebardjo, M Yamin, Wahid Hasjim, Abdoel Kahar Moezakir, Abikusno Tjokrosoejoso, Haji Agus Salim, dan AA Maramis.

Setelah melalui perdebatan panjang dalam perundingan yang alot pada sidang Panitia Sembilan, tanggal 22 Juni 1945, maka lahirlah rumusan dasar negara Indonesia yang dikenal sebagai Piagam Jakarta atau Jakarta Charter, yang terdiri dari:

1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Sayangnya, setelah semua menyepakati 5 rumusan dasar negara tersebut, pasca kemerdekaan Soekarno mengubah kalimat dalam sila yang pertama menjadi hanya “Ketuhanan yang Maha Esa”. Artinya, Soekarno menghapus kalimat tentang kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya. Ia mempersilakan kalangan agamis untuk memperjuangkannya kembali di pemilu (perdana), tahun 1955.

Anggota Tim Sembilan dari kalangan Islam pun tidak terima. Mereka bersatu membentuk partai (Masyumi), yang dipimpin oleh KH Hasyim Asy’ari, untuk mengembalikan sila pertama yang dihilangkan secara semena-mena. NU, Muhammadiyah dan kelompok Islam lainnya pun bergabung dalam partai ini untuk memperjuangkan itu. Meskipun pada akhirnya NU membentuk partai sendiri, namun tetap saja NU pun berjuang untuk mengembalikan Piagam Jakarta, bukan Pancasila.

Ketika umat Islam hampir memenangkan suara di pemilu yang pertama, dan tinggal selangkah lagi mereka menjadikan Indonesia sebagai negara Islam, dengan alasan yang dibuat-buat kemudian Soekarno membubarkan Masyumi. Syariat Islam yang diperjuangkan para ulama pun kembali kandas untuk ditegakkan. Sementara Pancasila tetap bertahan seperti halnya yang sekarang.

Jika kita mau jujur, sesungguhnya konsep Pancasila bukanlah hasil kesepakatan para pendiri bangsa, melainkan hasil paksaan Soekarno dan Hatta. Para ulama di Tim Sembilan dipaksa untuk menerimanya. Padahal mereka hanya menghendaki syariat Islam sebagaimana yang tertuang di dalam Piagam Jakarta.

Andai memang benar para ulama sepakat dengan Pancasila, niscaya mereka tidak akan bersusah payah memperjuangkan Piagam Jakarta di parlemen negara. Tetapi faktanya mereka tetap memperjuangkan kembalinya Piagam Jakarta, meskipun Pancasila sudah ditetapkan pihak istana. Bahkan ada pula yang kemudian berjuang di luar konstitusi negara, dengan membentuk Negara Islam Indonesia (NII).

Nahdlatul Ulama sendiri baru menerima Pancasila pada tahun 1983, ketika Gus Dur menjadi pimpinannya. Berarti puluhan tahun ke belakang sebelum itu NU masih anti Pancasila. Mereka masih menghendaki Piagam Jakarta. Ini pula yang pernah disampaikan Gus Sholah pada tahun 2013 di pesantrennya.

Maka buka mata, buka telinga!

Stop mempolitisasi Pancasila untuk menolak syariah dan khilāfah. Apalagi para pendiri bangsa sendiri pun belum pernah menyatakan kata sepakat atas keabsahannya.

Apabila dikatakan bahwa Pancasila sesuai dengan ajaran Islam, maka jangan halang-halangi mereka yang memperjuangkan tegaknya syariat Islam. Jika masih saja tetap menghalangi dengan mengatasnamakan Pancasila, maka wajar saja apabila kalangan agamis di Tim Sembilan dahulu ternyata begitu semangat untuk menggantikannya.

Allāhu ʾakbar. []

Sumber: Irkham Fahmi al-Anjatani

About Author

Categories