
Pemimpin Negara bukan Sebatas Bisa Membaca Al-Qur’an tapi Harus Terapkan Isinya
Ilustrasi, Capres 2019. Foto: Mata Mata Politik
Oleh : Rafilah
MUSTANIR.COM – Ikatan Dai Aceh mengundang dua kandidat calon Presiden RI untuk uji baca Al Quran. Salah satu alasannya karena dua Capres sama sama beragama Islam dan penting bagi umat Islam untuk tahu kualitas calon presidennya. “Tes baca Al Quran bagi seorang calon pemimpin yang beragama Islam sangat wajar dan sangat demokratis. Justru publik makin tahu kualitas calonnya,” ujar Ridlwan Habib peneliti radikalisme dan gerakan Islam di Jakarta.
Ridlwan menjelaskan, jika seorang beragama Non Muslim lalu dipaksa tes membaca Al Quran barulah bisa disebut melanggar Pancasila dan asas demokrasi. Namun baik Joko Widodo dan Prabowo Subianto sama sama muslim. “Membaca Al Quran adalah ibadah harian yang sangat lazim dilakukan oleh jutaan muslimin setiap hari di Indonesia. Saya yakin pak Jokowi dan pak Prabowo tidak ada masalah dengan itu,” ujar Ridlwan. Justru, tambahnya, kemampuan membaca Al Quran menambah trust atau rasa percaya dari masing-masing voter atau kelompok pemilih. “Misalnya pak Prabowo kan diusung oleh ijtima ulama, tentu sangat wajar kalau ummat ingin tahu dan ingin mendengar bacaan Al Quran pak Prabowo,” katanya.
Lagipula, di Indonesia ada jutaan Taman Pendidikan Al Quran (TPA) yang setiap hari mendidik anak anak untuk bisa membaca Al Quran. “Tes baca Al Quran akan sangat memotivasi anak anak itu untum bercita-cita tinggi. Apalagi kalau disiarkan live di televisi, “kata Ridlwan. Soal lokasi, lanjutnya, tidak harus di Aceh, bisa saja dilakukan di Jakarta dengan para penguji yang didatangkan dari Aceh. “Kalau alasan kesibukan dan teknis itu gampang sekali. Ada ribuan masjid di Jakarta yang bisa dipakai misalnya Istiqlal atau masjid Sunda Kelapa,” kata Ridlwan.Tes baca Al Quran juga akan mengakhiri perdebatan soal kualitas beragama masing masing calon .”Ini justru peluang emas bagi masing masing kubi untuk mendapatkan simpati dari kelompok pemilih Islam, “kata Ridlwan.
Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menilai tes baca tulis Alquran tak perlu dilakukan oleh kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden. Menurut BPN, yang lebih penting ialah pengamalan nilai kitab suci dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.”Tapi yang sangat dan lebih penting adalah pemahaman terhadap isinya dan bagaimana mengamalkanya secara demokratis dan konstitusonal di NKRI yang berdasar Pancasila dan UUD 45,” kata Juru Debat BPN Prabowo-Sandiaga, Sodik Mudjahid saat dikonfirmasi Okezone, Minggu (30/12/2018).
Sodik membandingkan tes baca Alquran bagi paslon capres-cawapres dengan tes calon Ketua Umum Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI). Menurut dia, kandidat Ketum PSSI tidak dites cara menendang dan men-dribble bola. Tetapi, kata Sodik, seorang Ketum dilihat visi misi dan programnya. “Prinsip itu yang lebih penting bukan hanya mampu membacanya dalam bahasa Arab. Seperti waktu tes calon ketua umum PSSI. Apakah di lakukan tes cara menendang bola, cara stop bola dan cara dribble bola? Tidak kan? Tapi visi-misi dan programnya dalam memajukan sepakbola,” tutur Ketua DPP Gerindra itu.
“Memahami Alquran dan kitab kitab suci lain penting sebagai seorang capres. Kemampuan membaca Alquran bukan syarat tapi sebagai advantage saja. Sehingga tes baca tulis tidak perlu dilakukan. Tes, amati cermati pemahamannya terhadap Alquran. Tapi tidak melalui tes khusus karena bisa tampak dalam debat, dalam pidato dan dalam pendapat dan pikirannya selama ini,” ucap Sodik.
Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf, Hajriyanto Thohari angkat bicara soal usulan tes mengaji dan tulis Alquran bagi calon presiden dan wakil presiden. Menurutnya syarat dari Komisi Pemilihan Umum sudah cukup, tak perlu ditambah lagi. “Melihat syarat-syarat capres dan cawapres sebagaimana tercantum dalam UUD 1945, di dalam aturan tentang Pilpres dan di dalam peraturan-peraturan KPU, itu sudah lebih dari cukup untuk menjadi syarat bagi seorang capres,” kata Hajriyanto ditemui Restoran Pulau Dua, Senayan, Jakarta Pusat, Minggu (30/12).
Katanya, prasyarat formal calon pemimpin tak perlu dikembangkan lebih lanjut. Sebab, syarat formal menjadi pemimpin Indonesia sudah diatur ketat dalam UUD 1945 dan UU tentang Pemilu. Meskipun begitu, dia mengaku tak ingin membatasi syarat per individu ketika ingin memutuskan memilih calon pemimpin. “Tentu kalau secara pribadi-pribadi silakan dikembangkan bagi seorang calon pemilih untuk menambah persyaratan-persyaratan tertentu. Tapi itu berlaku bagi diri pribadi pemilih masing-masing bukan lalu harus ditambahkan secara formal dalam bentuk persyaratan-persyaratan yang sebagaimana tercantum dalam UUD dan UU tadi,” pungkasnya.
Sementara itu politisi PDI Perjuangan (PDIP) Maruarar Sirait meyakini, bila test tersebut jadi digelar maka pasangan calon presiden nomor urut 01 Jokowi-Ma’aruf siap untuk melaksanakannya. “Saya rasa Pak Jokowi itu siap saja, menghormati selama itu diatur dengan aturan UU siap saja,” katanya. Lebih lanjut pria yang kerap disapa Ara ini pun menganggap, mantan gubernur DKI Jakarta itumemiliki sosok yang agamis dan juga nasionalis. Sehingga tak perlu diragukan lagi bila tes tersebut jadi dilakukan. “Pak Jokowi sangat jelas seorang yang agamis sekaligus seorang yang nasionalis,” katanya.
Al-Quran dan Hadits sebagai pedoman hidup umat Islam sudah mengatur sejak awal bagaimana seharusnya kita memilih dan menjadi seorang pemimpin., kepemimpinan dalam pandangan Al-Quran bukan sekedar kontrak sosial antara sang pemimpin dengan masyarakatnya, tetapi merupakan ikatan perjanjian antara dia dengan Allah swt. Kepemimpinan adalah amanah, titipan Allah swt, bukan sesuatu yang diminta apalagi dikejar dan diperebutkan. Sebab kepemimpinan melahirkan kekuasaan dan wewenang yang gunanya semata-mata untuk memudahkan dalam menjalankan tanggung jawab melayani rakyat.
Seorang pemimpin tidak hanya dibisakan dalam hal membaca Al-Quran saja, tetapi juga dapat memahami isi kandungannya dan mengamalkannya agar dapat menciptakan sebuah negara yang menerapkan kehidupan masyarakat yang islami dan tidak mudah melakukan sebuah kesalahan yang ddiluar dari ajaran Islam.
Kepemimpinan dalam pandangan Al-Quran bukan sekedar kontrak sosial antara sang pemimpin dengan masyarakatnya, tetapi merupakan ikatan perjanjian antara dia dengan Allah swt. Kepemimpinan adalah amanah, titipan Allah swt, bukan sesuatu yang diminta apalagi dikejar dan diperebutkan. Sebab kepemimpinan melahirkan kekuasaan dan wewenang yang gunanya semata-mata untuk memudahkan dalam menjalankan tanggung jawab melayani rakyat.
Dalam proses pengangkatan seseorang sebagai pemimpin terdapat keterlibatan pihak lain selain Allah, yaitu masyarakat. Karena yang memilih pemimpin adalah masyarakat. Konsekwensinya masyarakat harus mentaati pemimpin mereka, mencintai, menyenangi, atau sekurangnya tidak membenci. Di lain pihak pemimpin dituntut untuk memahami kehendak dan memperhatikan penderitaan rakyat. Sebab dalam sejarahnya para rasul tidak diutus kecuali yang mampu memahami bahasa (kehendak) kaumnya serta mengerti (kesusahan) mereka. []