Palestina Butuh Penguasa yang Melindungi, Bukan yang Hanya Pintar Basa-basi
MUSTANIR.net – Sudah hampir sebulan kaum Muslim Palestina dibantai secara keji oleh Zionis Yahudi. Sudah sekitar 10 ribu korban syahid. Ribuan di antaranya adalah bayi/anak-anak. Puluhan ribu lainnya terluka parah. Semua akibat puluhan ribu ton bom yang dijatuhkan oleh Zionis Yahudi, khususnya di Gaza. Selain korban jiwa, ratusan gedung runtuh dan rata dengan tanah. Bahkan sejumlah rumah sakit pun tak lepas dari sasaran bom-bom Zionis Yahudi.
Namun demikian, rupanya kaum Zionis Yahudi memang sudah tak punya hati. Tak lagi memiliki rasa kemanusiaan. Mereka sudah seperti binatang. Bahkan lebih keji dari binatang yang paling buas sekalipun. Semua mereka bom. Termasuk instalasi listrik dan instalasi air yang amat vital bagi kebutuhan dasar rakyat Palestina.
Tentu tragedi Palestina yang terus berulang amat menyayat hati. Yang lebih menyayat hati adalah menyaksikan sikap para penguasa Arab dan Muslim yang tak pernah berubah dalam merespon tragedi di Palestina dari dulu sampai sekarang. Mereka hanya pintar mengecam dan mengutuk. Sebagian lainnya diam membisu. Bahkan yang sangat memuakkan, beberapa penguasa Arab dan Muslim tetap menjalin hubungan diplomatik dengan Israel.
Sebagian penguasa Arab dan Muslim memang mengirim bantuan kemanusiaan. Namun, kita sangat paham, itu semua hanya pencitraan. Terutama di hadapan rakyat yang sudah mulai jengah dan tampak marah. Sebabnya, mereka sangat kecewa terhadap para penguasanya yang tak pernah mengambil opsi militer. Tak pernah mau mengirim pasukan untuk menggempur kaum Zionis Yahudi. Mereka semua pengecut. Padahal jelas, kaum Zionis Yahudi sungguh amat lemah. Kaum Zionis Yahudi tampak kuat lebih karena sikap pengecut para penguasa Arab dan Muslim. Mereka lebih memilih berdiam diri.
Untuk Apa Berkuasa?
Pertanyaannya: Lalu untuk apa para penguasa Arab dan Muslim itu berkuasa? Untuk apa pula mereka saling berebut kekuasaan? Toh pada akhirnya kekuasaan mereka tak berguna untuk melindungi umat Islam. Kekuasaan mereka pun tak berguna untuk menegakkan syariah Islam secara kâffah. Apalagi untuk mengemban risalah Islam ke berbagai penjuru dunia dengan dakwah dan jihad fi sabilillah.
Menegakkan Islam dan Melindungi Kaum Muslim
Dalam Islam kekuasaan tentu sebuah keniscayaan. Bahkan Islam dan kekuasaan tak dapat dipisahkan. Karena itu tepat ungkapan para ulama saat menjelaskan pentingnya Islam berdampingan dengan kekuasaan:
اَلدِّيْنُ وَ السُّلْطَانُ تَوْأَمَانِ وَ قِيْلَ الدِّيْنُ أُسٌّ وَ السُّلْطَانُ حَارِسٌ فَمَا لاَ أُسَّ لَهُ فَمَهْدُوْمٌ وَ مَا لاَ حَارِسَ لَهُ فَضَائِعٌ
Agama dan kekuasaan itu ibarat dua saudara kembar. Dikatakan pula, agama adalah fondasi, sementara kekuasaan adalah penjaganya. Apa saja yang tidak berfondasi bakal hancur. Apa saja yang tidak memiliki penjaga akan lenyap (Abu Abdillah al-Qali, Tadrîb ar-Riyâsah wa Tartîb as-Siyâsah, 1/81).
Terkait pentingnya kekuasaan untuk menegakkan Islam, Allah SWT berfirman:
وَقُلْ رَبِّ أَدْخِلْنِي مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِي مُخْرَجَ صِدْقٍ وَاجْعَلْ لِي مِنْ لَدُنْكَ سُلْطَانًا نَصِيرًا
Katakanlah, “Tuhanku, masukkanlah aku dengan cara yang benar, dan keluarkan (pula) aku dengan cara yang benar, dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.” (TQS al-Isra’ [17]: 80).
Kekuasaan “yang menolong” adalah kekuasaan yang mampu menegakkan Islam. Imam Ibnu Katsir, seraya mengutip Qatadah (w. 117 H), saat menjelaskan frasa “kekuasaan yang menolong”, menyatakan: “…(yakni kekuasaan) untuk membela Kitabullah, menerapkan hukum-hukum-Nya, melaksanakan berbagai kewajiban dari-Nya dan menegakkan agama-Nya.” (Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-Azhîm, 5/111).
Faktanya, pasca hijrah ke Madinah dari Makkah, Rasulullah saw. berhasil menegakkan kekuasaan Islam, yakni dengan mendirikan Negara Islam. Di dalam institusi Negara Islam inilah beliau menggunakan kekuasaannya—sebagai kepala negara—untuk menegakkan syariah Islam secara kâffah dalam seluruh aspek kehidupan.
Kekuasaan itu pun beliau gunakan untuk melindungi kaum Muslim. Karena itulah pada masa kekuasaan Rasulullah saw. pula kaum Yahudi, misalnya, diperangi dan diusir dari Madinah. Pasalnya, mereka secara berani membunuh seorang lelaki Muslim yang membela kehormatan seorang Muslimah yang dilecehkan oleh seorang Yahudi.
Pasca Rasulullah saw. wafat, Khulafaur Rasyidin dan para khalifah setelah mereka juga benar-benar memerankan diri mereka sebagai pelindung sejati kaum Muslim.
Alhasil, penting dan wajib bagi kaum Muslim berkuasa. Namun demikian, lebih penting dan lebih wajib lagi menjadikan Islam berkuasa, yakni dengan menjadikan syariah Islam sebagai satu-satunya aturan untuk mengatur negara, bukan yang lain. Hanya dengan kekuasaan Islamlah akan tercipta keadilan di tengah-tengah manusia. Saat keadilan tercipta, kezaliman pun pasti sirna. Hanya dengan kekuasaan Islam pula kaum Muslim di manapun bisa terlindungi dari segala ancaman. Juga hanya dengan kekuasaan Islam, risalah Islam bisa diemban ke seluruh dunia dengan dakwah dan jihad fi sabilillah. Dengan begitu Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin betul-betul bisa terwujud di seluruh penjuru bumi. Itulah realitas yang benar-benar terjadi saat kekuasaan itu berada di tangan Baginda Rasulullah saw., Khulafaur Rasyidin dan orang-orang shalih setelah mereka.
Kekuasaan adalah Amanah
Allah SWT berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا اْلأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ
Sungguh Allah menyuruh kalian memberikan amanah kepada orang yang berhak menerimanya, juga (menyuruh kalian) jika menetapkan hukum di antara manusia agar kalian berlaku adil (TQS an-Nisa’ [4]: 58).
Imam Ibnu Katsir menjelaskan, “Pada dasarnya, amanah adalah taklif (syariah Islam) yang harus dijalankan dengan sepenuh hati, dengan cara melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Jika ia melaksanakan taklif tersebut maka ia akan mendapatkan pahala di sisi Allah. Sebaliknya, jika ia melanggar taklif tersebut maka ia akan memperoleh siksa.” (Ibnu Katsir, Tafsîr Ibnu Katsîr, III/522).
Terkait amanah kekuasaan, Imam ath-Thabari, dalam Tafsîr ath-Thabarî, menukil perkataan Ali bin Abi Thalib ra., “Kewajiban penguasa adalah berhukum dengan hukum yang telah Allah turunkan dan menunaikan amanah…”
Terkait amanah kekuasaan, Rasulullah saw. juga bersabda, “Tidaklah seorang penguasa yang diserahi urusan kaum Muslim, kemudian ia mati, sedangkan ia menelantarkan urusan tersebut, kecuali Allah mengharamkan surga untuk dirinya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Mengenai hadis di atas, Imam Fudhail bin Iyadh rahimahulLâh, sebagaimana dikutip oleh Imam an-Nawawi rahimahulLâh dalam Syarh Shahîh Muslim, menuturkan, “Penelantaran itu bisa berbentuk tidak menjelaskan urusan-urusan agama kepada umat, tidak menjaga syariah Allah dari unsur-unsur yang bisa merusak kesuciannya, mengubah-ubah makna ayat-ayat Allah dan mengabaikan hudûd (hukum-hukum Allah). Penelantaran itu juga bisa berwujud pengabaian terhadap hak-hak umat, tidak menjaga keamanan mereka, tidak berjihad untuk mengusir musuh-musuh mereka dan tidak menegakkan keadilan di tengah-tengah mereka. Setiap orang yang melakukan hal ini dipandang telah berkhianat kepada umat.”
Jelas sekali, penguasa khianat—termasuk yang berdiam diri dan enggan membela kaum Muslim yang tertindas di mana pun, khususnya di Palestina saat ini—sesungguhnya telah diancam oleh Rasulullah saw. melalui hadis di atas.
Mewujudkan Kembali Pesan Rasulullah saw.
Penjajahan, pendudukan dan pembantaian umat Islam Palestina oleh Zionis Yahudi seharusnya mengingatkan kembali para penguasa Arab dan Muslim pada tiga Hadis Nabi saw. berikut ini:
Pertama, Hadis Nabi saw. tentang perlindungan darah dan harta kaum Muslim. Beliau bersabda pada Hari Arafah:
إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ كَحُرْمَة يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا
Sungguh darah dan harta kalian itu haram (suci) seperti sucinya hari kalian ini, di negeri kalian ini dan pada bulan kalian ini (HR Muslim).
Artinya, tak boleh sedikit pun darah kaum Muslim tertumpah tanpa haq. Konsekuensinya, tak boleh pula bagi siapapun, apalagi para penguasa Muslim, membiarkan ada darah seorang Muslim pun, di mana saja di dunia ini, ditumpahkan tanpa ada pembelaan.
Ke dua, Hadis Nabi saw. tentang persatuan dan kesatuan kaum Muslim sedunia berdasarkan akidah Islam, bukan atas dasar kebangsaan (nasionalisme), termasuk sekat-sekat negara-bangsa (nation state):
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَلاَ إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ أَلاَ لاَ فَضْلَ لِعَرَبِىٍّ عَلَى أَعْجَمِىٍّ وَلاَ لِعَجَمِىٍّ عَلَى عَرَبِىٍّ وَلاَ لأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ وَلاَ أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلاَّ بِالتَّقْوَى
Wahai manusia, ingatlah, Tuhan kalian satu. Bapak kalian juga satu. Ingatlah, tidak ada keutamaan bagi orang Arab atas non-Arab, juga bagi orang non-Arab atas orang Arab, dan tidak ada keutamaan bagi orang berkulit merah atas kulit hitam, juga bagi orang berkulit hitam atas kulit merah, kecuali karena ketakwaannya (HR Ahmad).
Ke tiga, Hadis Nabi saw. tentang kewajiban adanya Imam/Khalifah sebagai perisai/pelindung umat. Rasulullah saw. bersabda:
إنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
Sungguh Imam/Khalifah (Kepala Negara) itu laksana perisai; (orang-orang) akan berperang di belakang dia dan berlindung kepada dirinya (HR al-Bukhari dan Muslim).
Yang terakhir ini bermakna, kaum Muslim sedunia wajib menegakkan kembali Khilafah. Dengan itu kaum Muslim sedunia bisa memiliki kembali seorang khalifah yang akan benar-benar menjadi perisai/pelindung mereka yang hakiki. Bukan yang sekadar pintar basa-basi.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []
Sumber: Buletin Kaffah